Langit kota Hangzhou mulai berubah menjadi oranye tepat di jam yang sudah menunjuk pukul 4 sore. Bell sekolah sedari tadi sudah berdering nyaring membubarkan siswa dari waktu belajarnya, namun aku masih berdiri kokoh di depan halaman sekolah sembari menggiring sepedaku. Mataku mulai mencari kesana kemari sosok Jianghan.
"Kemana dia? Sejak tadi pagi aku tak melihatnya dan sepedanya." desis lirihku dengan mata yang terus menyidik mencari batang hidung sosok Jianghan, aku ingin pulang bersama dengannya lagi seperti sore itu, apakah bisa?
Tiba-tiba hatiku mulai berdegup kencang ketika melihat Jianghan keluar dari sebuah ruangan, dengan jaket kulit yang membalut tubuhnya ia keluar dengan penuh wibawa dan pesona. Aku mulai terperangah takjub memandang sosok insan yang kini tengah berjalan dengan aura yang menyilaukan lebih silau daripada intan, lebih berkilau dari emas dan lebih mahal dari mutiara dalam lautan, bagaimana bisa Tuhan menciptakan sosok pria sesempurna seperti dirinya. Benar-benar sebuah anugerah dan nikmat Tuhan yang Maha Kuasa.
"Jianghan, tunggu!" teriakku yang membawa lari sepedaku hingga membuat langkah Jianghan terhenti.
"Apa? Apa kau ingin menendang kakiku lagi seperti saat kau makan siang tadi?" sindirnya yang mulai menatap dingin tanpa ekspresi.
"Jadi, kau masih marah karena aku menendang kakimu di kantin siang tadi, ya? Kalau begitu maafkan aku. Aku tak bermaksud begitu, aku hanya kesal padamu." dugaku yang menatap sosok pria berwajah datar tanpa senyum ini.
"Tidak." jawabnya dengan singkat yang mulai melanjutkan Langkah kakinya, tanpa putus asa aku masih terus mengikutinya dan memanggil-manggil namanya dengan keras hingga membuatnya menoleh sekali lagi.
"Aku hanya bercanda, Jianghan. Jadi, tolong maafkan aku, ya?" pintaku yang kini menghadang jalannya dengan sepedaku.
Jianghan hanya menghela napas panjangnya seperti biasanya seakan ada sesuatu yang kembali menyesakan dadanya. Ia mulai berjalan menghiraukanku, terlihat ia juga menggantungkan headset putih di telinganya.
"Menyingkirlah." pintanya padaku kali ini ia mencoba tuk menyingkirkan sepedaku namun kutahan.
"Tunggu dulu, mana sepedamu? Apa kau tak membawa sepeda?" tanyaku dengan mata terbelalak mengingatkannya tentang sepedanya.
"Sepedaku rusak karena ulah cerobohmu kemarin." jawabnya yang terus menatap tajam mataku. Benar, tatapan matanya melumpuhkan segalanya, aku tak bisa berkata-kata lagi. Tatapan matanya adalah kelemahanku.
Aku mulai meringis mendengar ucapannya yang cuek namun menakutkan. Ia mulai menggeser tubuhku dan pergi menjauhiku. Aku mulai menaiki sepedaku dan berjalan mengikutinya. Aku tak mau melepaskan Jianghan begitu saja.
"Aku akan menemanimu, Jianghan." desisku yang terus mengayuh sepedaku di belakangnya. Jika kulihat dari belakang Jianghan juga sangat menganggumkan melihat punggungnya yang bidang rasanya juga menyenangkan. Lagi-lagi aku tersenyum-senyum sendiri memikirkan hal aneh yang kusebut sebagai cinta. Kurasa karena cinta segala hal kecil menjadi menyenangkan bahkan hal gila juga akan disebut sebagai bentuk cinta, termasuk apa yang aku lakukan saat ini mengikutinya dari belakang tanpa alasan dan tujuan yang jelas dan mungkin saja ia juga takkan meresponku. Aku tahu, dia akan selalu bersikap dingin padaku, tapi aku tak peduli apapun akan kulakukan asalkan itu membuatku senang dan bisa melihat Jianghan setiap saat.
Tiba-tiba langkah Jianghan mulai terhenti, ia mulai menoleh dan menatap tajam diriku yang sedari tadi tersenyum sendiri, senyum dibibirku kini mulai memudar seiring tatapan matanya yang terus memandang.
"Apa yang kau lakukan? Mengapa kau terus mengikutiku, Lin?" Jianghan mulai kesal dengan semua tingkah lakuku yang nampaknya mulai mengganggu kedamaian jiwanya.
"Aku hanya ingin pulang bersamamu, aku kasihan dan tak tega melihatmu berjalan kaki sendirian seperti ini." jawabku yang mulai menggigit bibir bawahku.
Jianghan mulai mencabut headset putihnya, dan mulai berjalan menghampiriku. Aku mulai terbelalak melihatnya berdiri dengan menggenggam keranjang sepedaku.
"Lalu, apa yang kau inginkan? Pulang bersamaku?" tanyanya yang kali ini terus menatap mataku. Sungguh aku tak kuasa jika aku terus melihat tatapan indahnya ini, sinar matanya mengalahkan indahnya jingga kota Hangzhou.
"Iya, aku ingin pulang bersamamu." jawabku dengan lirih sembari memalingkan pandanganku ke arah lainnya. Terlihat bibir Jianghan mulai menyunggingkan sedikit senyuman tipis ke arahku.
"Mengapa ia tak berhenti memandangiku, aku sudah tak kuat lagi jika harus memandanginya dengan cara dekat seperti ini, jantungku sudah berdegup kencang sekali. Aku takut jika aku jatuh pingsan karena menahan gejolak rasa dalam dada ini." gumamku dalam hati yang mulai memejamkan mata dan tanganku mulai meremas seragam sekolahku.
"Kalau begitu, turunlah." pinta Jianghan yang mulai mengantongi headset putihnya ke saku celananya sontak perkataannya membuat kepalaku terangkat kaget.
"A..apa?" Aku mulai bingung dengan ucapan Jianghan.
"Tadi kau bilang kau ingin pulang bersamaku, kalau begitu turunlah dari sepedamu." ucapnya yang membuatku semakin bingung dengan maksud ucapannya, aku turun dari sepeda? Apa maksudnya? Hatiku terus bertanya-tanya, apakah ia akan mengerjaiku lagi?
"Cepat turun." ujarnya sekali lagi.
Aku menuruti semua perkataannya dan turun dari sepedaku, setelah kuturun dari sepeda dengan sigap Jianghan mulai menaiki sepedaku tanpa permisi, aku mulai terbelalak kaget melihat kejadian ini. Jianghan mengambil sepedaku.
"Mengapa kau melotot seperti itu? Cepat naiklah!" ucap Jianghan yang mulai menatapku yang tengah berdiri mematung di sebelahnya.
"Aku?"
"Iya, kau bilang ingin pulang bersamaku, bukan? Cepat naik, sebelum aku berubah pikiran." ujar Jianghan. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, aku mulai duduk di kursi belakang sepedaku.
"Tolong, pegang tasku." pintanya yang mulai menyodorkan tas hitamnya padaku. Aku mulai meraih tas itu mendekap tas punggungnya dalam dadaku. Hatiku seperti ada suatu hal yang bermekaran, rasa bahagia, ingin berteriak dan menangis bercampur menjadi satu. Tak kusangka bahwa sore ini, aku bisa pulang bersama lagi dengan Jianghan dan berboncengan sepeda menikmati matahari terbenam di pinggiran kota.
"Apa kau sudah siap?" tanya Jianghan yang mencoba untuk melirikku yang tengah duduk di kursi belakang sepeda.
"Iya." jawabku yang membuat Jianghan mengangguk dan mulai mengayuh pedal sepeda.
Angin yang berhembus sepoi-sepoi dan cahaya oranye yang menghiasi langit memberikan suasana romantis remaja 90-an, aku jadi teringat dengan kisah Ayah dan Ibuku yang berkencan dan mengelilingi kota hanya dengan bekal sepeda saja. Perasaanku kali ini tak bisa kugambarkan, Jianghan benar-benar memboncengku. Ini romatis sekali dan sebuah kejadian langka yang mungkin hanya terjadi sekali dalam seribu wanita yang memiliki kasus sama dalam mencintai pria diam-diam.
"Lin?" panggil Jianghan yang menyebut namaku.
"Ya, apa kau memanggilku, Jianghan?" tanyaku.
"Aku heran, tubuhmu sangat kecil tapi sangat berat juga, ya." ledek Jianghan yang mulai memancing masalah baru.
"Jadi, kau bilang aku gendut, begitu?" decak kesalku kali ini dengan memukul keras punggung Jianghan.
"Apa yang kau lakukan? Pukulanmu itu sakit tahu, kurasa punggungku ini memar karena pukulan kerasmu, Lin." keluh Jianghan yang mulai menarik rem sepeda hingga membuat kami berhenti di depan taman bunga dekat perbatasan kota.
"Kau yang mencari masalah denganku, aku mau kau turun dari sepedaku sekarang." tegasku kali ini yang mulai berdiri kokoh mengerutkan dahi di hadapannya sembari menyerahkan tas gendong miliknya. Jianghan mulai tersenyum sinis dan mulai mengayuh pedal sepeda meninggalkanku.
"Jianghan! Sepedaku!" teriakku dengan lantang sembari berlari mengejarnya, namun apalah dayaku, ia mengayuh sepeda dengan sangat cepat.
"Sampai jumpa, Yuan Lin." balas Jianghan yang mulai melambaikan tangannya sembari kedua kakinya terus mengayuh sepedaku.
"Aku membencimu, Jianghan!" kesalku kali ini dengan berteriak dan menendang batu jalanan. Benar-benar keterlaluan, Jianghan membawa lari sepedaku. Ini menyebalkan, pria itu benar sudah tak punya sopan santun terhadap wanita.
Aku mulai menyusuri jalanan kota yang hampir malam sendirian tanpa ada seorang teman di sisiku, sepedaku dibawa lari oleh Jianghan, dia benar-benar keterlaluan, bahkan ia tak putar balik untuk menjemput dan memboncengku lagi. Dasar pria yang tak tahu diri. Ditolong bukannya berterima kasih malah pergi meninggalkan.
"Lihat saja, akan kubuat kau membayar semua ini, Jianghan. Aku takkan tinggal diam, aku akan membalas perbuatanmu." desisku dengan menahan api amarah yang kini bergejolak dalam hatiku.
Jam di tangan sudah menunjuk pukul 5 sore tepat dimana aku sampai di rumah, tiba-tiba tanpa angin dan hujan kumelihat sepedaku terparkir manis di halaman rumah. Mataku kembali menyidik dan mencari batang hidung sosok pria pencuri sepeda itu.
"Lin, kemana saja kau?" tanya Ibuku yang mulai membuka pintu rumah menyambut kedatanganku.
"Ibu, bagaimana bisa sepedaku ada disini?" tanyaku dengan penuh keheranan melihat sepedaku terparkir rapi di halaman.
"Iya, temanmu baru saja datang membawa sepedamu kemari, anak itu bilang bahwa kau yang memintanya untuk membawa sepedamu ke rumah, karena kau ingin menikmati senja, bukan?" jawab Ibuku.
Aku mulai menghela napasku, kali ini Jianghan benar-benar mempermainkan aku, sampai-sampai ia berbicara aneh tentang diriku di depan Ibuku.
"Anak itu sangat tampan dan punya senyum yang manis, kalau tak salah ia bernama Xiao Jianghan. Apa kau mengenalnya dengan baik, Nak?" tambah Ibuku yang membuat hatiku semakin memanas mendengar nama Jianghan. Aku mulai masuk tanpa mendengarkan ucapan Ibuku.
"Lin? Yuan Lin? Apa yang terjadi sebenarnya?" panggil Ibuku yang nampaknya mulai heran dengan sikapku sore ini.