Jika mencintai adalah sebuah anugerah, maka dicintai adalah sebuah keberuntungan. Apakah kau pernah merasakan betapa beratnya mencintai seseorang, kau berjuang untuk terlihat baik di depannya, namun ia tetap menutup mata dengan semua tindakan kasihmu. Ia memilih buta dan tuli terhadap semua hal tentang dirimu. Perih? Itulah yang kurasakan selama aku mengenal sosok Jianghan.
"Yuan Lin!" teriak seseorang dengan lantangnya dari sudut lapangan sembari tangannya terus melambai-lambai memintaku untuk menghampirinya. Mataku terus menyidik sosok yang memanggil namaku dengan lantang.
"Kemarilah!" teriaknya seseorang itu sekali lagi, aku mulai melangkahkan kakiku untuk menghampirinya. Ternyata mereka adalah Shu In dan Fen yang sedari tadi duduk menyaksikan pertandingan sepak bola antara kelas 2A dengan kelas 2F.
Jadwal pertandingan hari ini adalah pertandingan antara kelasku dengan kelas A ya benar kelas A adalah kelas Jianghan. Sorak-sorak gembira mengiringi setiap menit jalannya pertandingan, lapangan sekolah mulai dipenuhi siswa siswi yang duduk dan berdiri tuk sekedar memberi dukungan, keramaiannya mulai terasa ketika goal mulai tercipta. Suasana sekolah kali ini bergemuruh seperti stadion sepak bola, botol-botol berisi batu mulai dipukul bagai drum seakan memberikan semangat kepada para pemain yang tengah bertanding dengan sengit.
"Go Jianghan!!" teriak para siswi dari lantai dua yang suaranya nyaring keras di telinga.
"Apa yang mereka lakukan? Mengapa berteriak-teriak seperti itu? Memalukan." sindir sinisku pada mereka dengan kepala yang menengadah menatap segerombol gadis yang berteriak menyebut nama Jianghan berkali-kali di lantai dua.
"Kau ini, Lin. Kau pasti cemburu, kan melihat gadis-gadis itu menyemangati Jianghan sementara kau hanya diam menatap tanpa pergerakan?" ledek Shu In yang mulai menyenggol lenganku sembari terhias senyuman nakal yang tersungging di bibirnya
.
"Aku cemburu?"
Shu In mulai mengangguk sembari memainkan kedua alisnya seakan ia masih terus meledekku.
"Tidak mungkin, aku takkan cemburu dengan pria aneh seperti Jianghan. Kau tahu, semalam aku dibuat kesal olehnya, dia menyebalkan."
"Walaupun dia selalu membuatmu kesal, tapi tetap saja kau menyukainya." sahut Fen yang menggeleng-gelengkan kepala sembari menatapku dengan tajam.
"Tidak, kurasa kali ini ia akan membenciku karena ulah burukku semalam." jawabku dengan nada lirih hingga membuat Shu In dan Fen menoleh dengan kedua bola mata yang terbelalak seakan ingin ikut melompat.
"Apa maksudmu dia membencimu, Lin?" tanya Fen yang kali ini mulai menyidik penasaran.
Aku mulai menghela napas panjang seakan ada suatu hal yang berat mulai datang menyesakan dada. Kuberanikan diri untuk memulai bercerita tentang runtutan kejadian yang kualami semalam dari pulang sekolah dan bersepeda bersama hingga aku menelepon Jianghan dan mencoba memarahinya.
"Jianghan diam saja dan mendengarkan makianmu, Lin?" sidik Fen yang nampaknya mulai tak yakin dengan kisahku.
Aku mulai mengangguk mengiyakan.
"Jianghan memang pria yang baik walaupun sikapnya seperti batu, tapi kuakui dia pria yang unik walaupun harus mencuri sepedamu hari itu, tapi kurasa ia sangat mengagumkan jika kau benar-benar bisa menarik hatinya." tambah Fen yang membuat kepalaku terangkat naik dan meliriknya.
"Kali ini aku setuju denganmu, Fen, Jianghan memang pria yang tak bisa ditebak alurnya dan kau harus bisa membuatnya terkesan padahal sebelumnya aku berpikir bahwa dia akan mematikan teleponmu saat kau memarahinya. He's a gentleman." sahut Shu In dengan melempar sedikit senyum dan tepukan semangat untukku, namun senyum dibibirnya mulai memudar dan matanya mulai terbelalak kaget ketika aku menceritakan bahwa Jianghan juga menutup teleponnya karena ucapanku yang nampaknya agak menyinggung perasaan dan hatinya.
"Tapi, ia juga sempat mematikan teleponku karena aku mengatakan bahwa aku membencinya dan membenci segala hal tentangnya. Aku hilang kendali malam itu hingga membuatku berbicara kasar padanya, Jianghan sepertinya marah besar dan ia juga mengirimkanku pesan yang sangat singkat. Ketika kucoba menghubunginya lagi dan mencoba menjelaskan segalanya, tapi ia malah mematikan ponselnya. Kurasa sekarang Jianghan benar-benar akan membenciku karena ucapan burukku semalam." ucapku yang mulai menundukan kepala dengan penuh penyesalan.
"Kau berkata seperti itu padanya? Kau ini bodoh atau bagaimana, Lin? Kau mengatakan bahwa kau membencinya, padahal sebelumnya ia sudah pulang bersamamu dan menggodamu dengan mencuri sepedamu." kejut Shu In yang mulai mengusap wajahnya dengan rasa tak percaya bahwa aku sudah melakukan hal konyol dalam menghadapi masalah cinta. Aku hanya mengangguk pasrah tanpa bisa berkata lagi sembari mataku terus memandangi sosok pria dibalik seragam biru bernomor punggung 9 yang tengah berlarian di lapangan.
"Apa kau sadar bahwa kau baru saja membunuh rasa cintamu, Lin." tambah Shu In yang kali ini menghela napas panjangnya dan mencoba sabar menyikapi sikap cerobohku.
"Lalu, apa yang harus kulakukan? Beri aku saran. Aku tak mau cintaku pergi begitu saja, aku sungguh menyesal, aku tak bisa mengontrol diriku semalam." pintaku kali ini yang menatap dengan mata penuh harap pada Shu In dan Fen.
"Kurasa kau harus meminta maaf padanya, Lin walaupun kau tidak sepenuhnya salah. Ada satu hal yang harus kau ingat, jangan memutuskan apapun ketika kau sedang marah dan sedih, maka kau akan menyesal. Marah boleh, tapi tetap perhatikan ucapanmu kalau sudah seperti ini, menyesal sudah tiada arti." nasihat Fen yang kali ini ikut menatap para pemain yang ada di lapangan sekolah sembari tangannya merangkul dan mengelus lembut pundakku. Aku hanya mengangguk lesu menyesali segala perbuatan bodohku.
Hari ini, kulihat Jianghan berlarian mengejar bola di lapangan, rambutnya yang terbang terhembus angin memberikan nuansa indah pada Jianghan, teriakan suaranya yang meminta untuk mengoper bola terdengar berirama di gendang telinga. Pertandingan ini sangat menegangkan dimana skor goal seri antara dua kelas ini terjadi, namun seseru apapun pertandingan jika kuteringat bahwa Jianghan marah padaku tetap saja tak asyik. Pandanganku hanya tertuju padanya, bukan pada pertandingan yang sedang berlangsung.
"Seandainya kau tahu bagaimana rasaku hari ini, aku mencintaimu tapi kau marah padaku. Aku memang bodoh, kau tahu aku tak sepenuhnya membencimu, aku hanya terbawa emosi karena sikap menyebalkanmu itu, Jianghan." gumamku dalam hati sembari memandangi Jianghan yang terus berlarian menggiring dan mengoper bola.
Pertandingan dua kelas yang saling bertolak belakang ini, akhirnya berakhir seri, 2:2. Beberapa pendukung mulai menghela napas kecewa ketika bunyi peluit akhir pertandingan dibunyikan, nampaknya ini merupakan pembukaan pertandingan yang menyenangkan.
"Yuan Lin." panggil seseorang dengan suara serak basah khas miliknya, akupun menoleh kearah suara itu berada. Sosok pria mulai menghampiri dimana aku dan kedua sahabatku tengah duduk bercengkrama.
"Apa kau tadi melihat aksiku, Lin?" tanya pria itu dengan wajah yang sumringah menatap teduh diriku.
"Iya, aku melihatnya, Jin. Kau terlihat mengagumkan, aku suka dengan aksimu ketika kau menjebol gawang. Itu sangat luar biasa!" jawabku yang mulai mengapresiasi aksi Jin dalam pertandingan sepak bola beberapa menit yang lalu. Namun, mataku masih terus menatap Jianghan yang tengah duduk sembari menenggak minuman botolnya bersama teman satu timnya.
"Lin, apa kau baik-baik saja?" tanya Jin yang mulai membangunkanku dari lamunanku menatap Jianghan di sudut lapangan.
"Tidak, aku baik-baik saja." jawabku yang mulai tersenyum menatap Jin yang berdiri menjulang di depanku.
"Kalau begitu, mari kita makan bersama." ajak Jin padaku dan mulai menggandeng jari jemariku. Mataku masih terus terarah pada Jianghan, dalam hatiku berharap Jianghan melihatku dan mengajakku untuk makan bersama. Namun, aku salah ia tetap mengabaikanku walaupun sebelumnya ia telah melihatku yang duduk di pinggir lapangan menyaksikan pertandingannya.
Hari ini adalah hari paling buruk untukku, moodku hancur berantakan hanya karena masalah percintaan yang bertepuk sebelah tangan hingga suara bell tanda akhir pelajaran berdering, aku masih tetap tak bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Kali ini, aku akan menyusuri jalan senja seorang diri seperti biasanya, tanpa teman dan tanpa sepeda.
"Lin, kau pulang dengan siapa sore ini?" tanya Fen yang tengah berjalan di sebelahku dengan menggiring sepedanya keluar dari tempat parkir sekolah.
"Seperti biasa, aku akan pulang dengan diriku sendiri." jawabku dengan menendang bebatuan yang ada di depan sekolah.
"Bagaimana jika kau kuantarkan pulang, Lin? Aku akan menemanimu sampai rumah." tawar Jin padaku yang tengah menggiring sepedanya dengan penuh perhatian.
"Tidak usah, Jin. Aku bisa pulang sendiri, aku ingin pergi ke taman kota hari ini. Kau pulang saja." perintahku padanya yang menolak tawaran baik miliknya.
"Tapi, kau sendirian, Lin." Jin yang mulai memasang wajah panik seakan ia tak tega jika melihatku berjalan sendirian di tengah hari yang hampir malam.
"Sudahlah, aku tak apa, aku sudah terbiasa. Terima kasih karena kau telah perhatian padaku." ujarku dengan menepuk pundak Jin sembari melempar senyuman manis padanya.
"Baiklah, kalau begitu, aku pulang dan jaga dirimu, Lin. Jika ada sesuatu hal yang terjadi hubungi aku. Aku janji, aku akan datang menemuimu." ucap Liao Jin dengan sorot mata yang tulus, bisa kurasakan bahwa Jin menyimpan banyak kasih dalam hatinya.
"Terima kasih banyak, Jin. Kau selalu perhatian denganku." jawabku yang masih menatap teduh wajahnya. Bisa kulihat Jin membalasnya dengan senyum sumringah dari mata dan bibirnya. "Aku pulang dulu ya, Lin." teriak Fen dengan lantangnya dengan melambaikan tangannya sembari ia mengayuh sepeda putihnya.
"Hati-hati di jalan!" teriakku pada Jin dan Fen dengan melambaikan tanganku padanya.
Sore ini aku akan menyusuri jalanan sore sendirian, tak apalah saat ini yang kubutuhkan hanyalah kesendirian, aku akan menghabiskan waktuku di taman kota sembari merenungkan apa yang telah terjadi hari ini. Kulihat taman kota hampir sepi tanpa pengunjung, bangku-bangku taman kosong tanpa ada orang yang singgah seperti hatiku yang kosong dan hampa tanpa hadirnya sang pemilik cinta. Hatiku mulai sesak tanpa sadar air mata mulai berderai bercucuran, penyesalan itu datang dalam hati. Kali ini, aku tak bisa menahan air mataku, kubiarkan semuanya pecah dalam rintihan yang tak berdarah.
Cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan, tapi entah mengapa aku masih terus bertahan. Aku tak bisa melupakan secercah ingatanku tentangmu. Kau terlalu indah dan akan selamanya indah dalam hatiku.