Jika senja itu indah, hadirmu justru lebih bergairah. Jika datangnya hujan itu menyejukan, senyummu justru lebih menyegarkan. Apa yang bisa kusampaikan lagi padamu, kurasa semuanya sudah jelas tergambar bagaimana eksotisnya dirimu dan bagaimana agungnya rasa cintaku padamu.
"Andai saja aku bisa memilih jalan takdirku, aku akan memilih untuk tak mencintaimu sedalam ini hingga membuat luka separah ini." gumamku sembari menyekat air mata yang terus jatuh membasahi pipiku.
"Kau tak bisa memilih takdir, tapi kau bisa mengubahnya dengan usaha dan kerja kerasmu." sahut seseorang dengan suara serak basah dengan langkahnya yang mulai menghampiriku yang tengah duduk menyendiri pada sebuah kursi taman.
" Zhai Lian?" panggilku dengan nada tak percaya melihat sosok Lian berdiri menjulang di hadapanku. Zhai Lian adalah teman satu kelas Jianghan, dia anak dari salah satu konglomerat ternama di Beijing.
"Kau tahu, mencintai itu adalah hal yang manusiawi dan kau tak bisa menghalangi atau menolak kedatangannya, cinta hadir tak memandang kasta dan datang di waktu yang tak terduga. Tapi, ajaibnya karena cinta hidup kita bisa menjadi lebih berwarna. Tapi, terkadang cinta juga membutakan mata, Lin. Apapun yang indah di dunia ini tak akan ada artinya jika kau bersedih hanya karena putus cinta, cinta itu sederhana tapi penuh dengan warna." ucap Lian dengan menatapku yang tengah duduk di sampingnya. Aku hanya bisa menelan ludahku, bagaimana bisa Lian berbicara cinta dengan kata yang bermakna dalam seperti ini.
"Kau jangan menatapku seperti itu, Lin. Lihat air matamu mengalir deras, hapuslah." ucap Lian dengan menyodorkan sekotak tisu padaku. Aku mulai tersenyum dan mencoba menghapusnya.
"Terima kasih, Lian. Bagaimana bisa kau berada disini?"
"Aku biasanya selalu datang kemari untuk melihat senja, kau tahu melihat senja di taman ini membuatku lebih tenang." jawab Lian yang membuatku mengangguk setuju.
"Lin?"
"Ya, Lian?" Aku mulai menolehkan kepalaku menatapnya yang tengah duduk dengan jaket hitam yang membalut tubuhnya.
"Janganlah bersedih. Ibuku bilang jika hari ini kau bersedih, maka Tuhan akan membuatmu bahagia hari esok, jadi kesedihanmu hari ini akan segera berubah menjadi kebaikan di hari esok, teruslah semangat dalam menjalani hari, Lin, jangan sampai karena cinta kau menjadi lemah tak berdaya seperti ini, kau wanita paling kuat dan unik yang pernah kukenal." nasihat Lian padaku dengan mengelus pundakku sebagai bentuk dukungannya padaku.
"Terima kasih, Lian."
Lian hanya tersenyum sembari mengangkat bahunya dan mengajakku pulang menyusuri jalanan kota Hangzhou yang sudah gelap di telan malam. Lian, dia pria yang baik yang membuatku tak lagi kesepian di sepanjang jalan derita.
"Lin, ada suatu hal yang ingin kutanyakan padamu, tapi janji kau jangan marah padaku." ucap Lian yang membuatku penasaran.
"Kau ingin bertanya tentang apa, Lian?"
"Aku dengar kau sangat menyukai Jianghan, apa rumor itu benar?" tanya Lian dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku mulai terbelalak kaget, darimana Lian mendengar rumor itu.
"Oh itu." jawabku dengan singkat sembari menggaruk belakang kepalaku memikirkan apa yang harus kukatakan padanya, bagaimana caraku untuk menceritakan semuanya dan bagaimana aku memulainya. Suasana diantara kami menjadi sedikit canggung karena pertanyaan Zhai Lian yang menyinggung soal Xiao Jianghan.
"Lin, mengapa kau melamun?" senggol Lian yang mencoba membuka topik pembicaraan yang hampir saja hening.
"Iya, maaf Lian, aku hanya bingung bagaimana aku mengatakannya padamu tentang perasaanku pada Jianghan, aku tak bisa menjelaskannya, rasanya sangat sulit untuk kuutarakan, hanya aku dan Tuhan-lah yang maha tahu segala hal yang kupendam dalam hatiku, Lian." jawabku dengan menundukan pandanganku sembari menatap jalanan beraspal yang tersentuh cahaya jingga lampu jalanan.
"Sudahlah, Lin aku tak memaksamu untuk bercerita, aku hanya ingin menanyakan hal itu. Tapi, sudahlah lupakan saja, kita ganti topik pembicaraan lain yang lebih menyenangkan. Membicarakan cinta takkan ada habisnya." respon Lian yang membuatku tersenyum bahagia menatapnya. Nampaknya, Lian sudah paham jika aku tak nyaman dengan pembahasannya tentang Jianghan.
Sepanjang perjalanan dengan langit gelap berhiaskan ribuan bintang yang tergantung manja di angkasa, aku dan Lian menyusuri jalanan malam dengan membahas banyak hal dari mulai hobi, klub sepak bola, musik dan bahkan kami juga membahas masalah film yang baru saja rilis bulan ini, amat menyenangkan rasanya berbicara banyak dengan Zhai Lian ditemani hembusan angin yang sejuk menerpa wajahku, ia meringankan segala beban yang ada di dadaku, kurasa ia bisa membuatku lupa dengan masalahku.
"Terima kasih, Lian telah menemaniku pulang."
"Tak masalah, jaga dirimu baik-baik, Lin." Aku hanya membalasnya dengan senyuman padanya sembari memandanginya yang tengah mengayuh sepeda hingga menghilang di telan jarak. Kubuka gerbang rumahku, kali ini aku pulang bukan dengan Jianghan melainkan bersama Lian, teman satu kelasnya.
"Lin, darimana saja kau?" tanya Ibuku dengan lantangnya dengan tangan yang melipat di dadanya. Aku pasti dimarahinya karena pulang terlambat.
"Aku dari taman kota menikmati senja, Bu." Aku mulai tertunduk tak berdaya.
"Apa kau tidak tahu bahwa sore tadi ada temanmu datang kemari dan menunggu kepulanganmu, tapi kau tak datang-datang juga, satu jam lebih ia menunggu kepulanganmu, Lin." ujar Ibuku yang mulai meluapkan rasa kesalnya.
"S..siapa, Bu?" tanyaku dengan mata yang terbelalak.
"Jianghan, Xiao Jianghan, pria tampan itu datang kemari dan mencarimu. Mengapa kau tak pulang dengannya? Apa yang terjadi sebenarnya?" ujar Ibuku yang tengah menuangkan teh panas pada gelasnya.
"Jianghan? Dia kemari, Bu?" ucapku yang tak percaya dengan semua hal yang terjadi.
"Iya, bahkan ia juga menitipkan pesan pada Ibu bahwa jika kau pulang kau harus mengirimkannya pesan, ia berkata bahwa ada suatu hal penting yang ingin ia bicarakan padamu."
Aku mulai menelan ludahku dan langsung masuk ke dalam kamarku dan menguncinya. Kulihat Ibuku mulai terheran-heran dengan tingkah lakuku yang semakin lama semakin meresahkan. Kurasakan detakan jantung yang berdetak kencang di setiap kumendengar nama indahnya, kuhirup udara yang bercampur dengan angan-anganku dengannya.
"Tak kusangka bahwa cinta bisa seindah ini, seperti ada kupu-kupu dalam hatiku." ucap lirihku yang tengah duduk menyandarkan tubuhku pada pintu kamar sembari tangan kananku menyentuh tempat dimana jantungku berdetak dahsyat ketika mendengar namanya.
Kuraih ponsel yang terselip dalam tasku, kucari nama Xiao Jianghan disana. Kumencoba untuk menghubunginya untuk kesekian kalinya. Aku mulai mengatur napasku baik-baik agar tak terdengar gerogi di hadapannya.
"Baik, Lin kau bisa melakukannya." ucapku yang meyakinkan diriku untuk tetap percaya diri tuk menelepon Jianghan.
Kutekan nomornya dan dering telepon mulai terdengar, aku masih menggigit bibirku dengan gerogi dalam hatiku berharap semoga Jianghan merespon panggilanku. Aku mulai menggigit jariku karena khawatir.
"Halo?" ucap salah seorang dengan suara basah khasnya merespon panggilanku.
"Jianghan? Apa ini kau?"
"Ya. Ada apa, Lin? Mengapa kau menghubungiku?" tanyanya dengan suara khas miliknya, aku mulai tersenyum bahagia, akhirnya aku bisa mendengar suaranya setelah satu hari ini aku kehilangan arahku.
"Itu… em itu Jianghan.."
"Kau ini ingin bicara apa? Berbicaralah dengan jelas, jika tidak akan kuakhiri panggilan ini." ancam Jianghan dari dalam telepon.
"Tunggu dulu. Aku hanya ingin bicara, apa kau datang ke rumahku sore tadi?"
"Ya, lalu?"
"Apa ada suatu hal yang ingin kau bicarakan padaku? Ibuku bilang bahwa kau ingin mengatakan sesuatu padaku."
"Ya, benar."
"Lalu, apa yang ingin kau katakan padaku, Jianghan?" tanyaku yang masih menggigiti kuku jariku.
"Aku hanya ingin mengatakan, belajarlah Yuan Lin kau ini sudah kelas dua!"
"Halo? Halo, Jianghan?" ucapku padanya. Panggilan sudah terputus, lagi-lagi aku dipermainkan oleh Jianghan. Apa maksud dari semua ini? Apa yang sebenarnya ia inginkan dariku? Menyebalkan.