Sang surya mulai muncul dari ufuk timur, meleburkan lelah mengembalikan semangat yang hampir punah. Kali ini, aku harus berangkat ke sekolah dengan sepeda merah muda milikku, aku tak mau berjalan menyusuri dinginnya kota seperti kemarin, tetapi jika bersama Jianghan aku mau melakukannya lagi, tapi tak mungkin kesempatan hanya datang sekali tidak dua kali. Tapi, tetap kuharap akan ada kesempatan lagi di lain waktu, bukan kesempatan, mungkin lebih tepatnya keberuntungan.
"Baiklah, hari ini harus lebih baik dari sebelumnya. Semangat Chen Yuan Lin!" ucapku pada diriku sendiri sembari mengayuh sepeda kuat-kuat, kali ini seluruh niatku sudah terkumpul penuh, aku benar-benar bersemangat untuk menjalani hari seperti hari ini. Jaket Jianghan sudah kubawa dalam tasku, aku akan segera menemuinya di sekolah. Rasanya menyenangkan sekali jika aku bisa dekat terus dengan Jianghan.
"Yuan Lin, tunggu!" teriak salah seorang dengan lantangnya hingga membuatku menarik rem sepeda dan menoleh ke belakang. Kulihat sesosok pria dengan jaket biru tengah mengayuh sepedanya kuat-kuat.
"Liao Jin? Mau apa dia?" ucapku dengan lirih sembari menghela napas panjang. Aku bisa mengenali Liao Jin dengan mudahnya walau dari jauh. Rambut poninya yang panjang menutupi dahinya mulai terangkat tertiup angin. Apa yang akan ia lakukan pagi ini, jika harus mendengar gombalannya rasanya malas sekali.
Rem sepeda lagi-lagi ditarik dengan kuat hingga terdengar suara kedua ban yang berdecit dengan aspal.
"Hai, selamat pagi, bidadariku." sapa pria itu dan benar dia adalah Liao Jin, teman sekelasku.
"Pagi, Jin."
"Hei, hei ada apa ini? Mengapa kau cuek seperti itu padaku? Apa Yuan Lin-ku sedang sakit?" tanya Jin yang mulai menahan setir sepedaku. Aku mulai bingung dengan sikap Liao Jin yang semakin lama semakin membuatku ngeri, mengapa ia selalu menggunakan kata-kata hiperbola yang terlalu menjijikan seperti ini padahal ini masih sangat pagi. Pagi ini aku kenyang karena sarapan gombalan dari Liao Jin.
"Tidak, aku baik-baik saja. Wahai Liao Jin yang terhormat, bisakah kita pergi sekarang? Aku tak mau terlambat datang ke sekolah." jawabku yang mulai tersenyum paksa dan memintanya untuk melepaskan genggaman tangannya dari setir sepedaku.
"Baiklah. Kita akan berangkat ke sekolah bersama. Kau duluan." ujarnya yang mulai mempersilahkanku untuk mengayuh sepedaku di depannya. Akupun bergegas mengayuh sepedaku yang diikuti Liao Jin di belakangku.
Pagi ini, aku tak tahu harus melakukan apa, mengapa Liao Jin datang padahal aku ingin mengembalikan jaket ini pada Jianghan, bisa hancur semua urusanku untuk tebar pesona dengan Jianghan.
"Chen Yuan Lin, kau sangat cantik hari ini!" teriak Liao Jin dengan keras hingga membuat seluruh pengguna jalan menoleh keheranan ke arahku dan Liao Jin yang tengah mengayuh sepeda dengan kuat.
"Benar dugaanku, Liao Jin membuatku malu pagi ini." batinku yang terus menggerutu melihat sikapnya yang berlebihan dalam memujiku.
"Baiklah, Yuan Lin biarkan saja dia. ia hanya akan merusak mood-mu untyuk bertemu dengan Jianghan." batinku lagi yang mulai menghirup dan menghembuskan napas perlhan-lahan agar tetap terlihat anggun jika bertemu dengan sosok idamanku, Jianghan.
Kutarik rem sepeda dengan kuat tepat di depan pintu gerbang sekolah, aku mulai menggiring sepedaku untuk masuk ke halaman, diikuti Liao Jin yang berdiri kokoh di hadapanku.
"Apa yang kau lakukan di jalanan tadi, Jin?" tanyaku yang mulai mengintrogasinya atas perbuatan konyol yang ia lakukan di jalanan.
"Aku hanya memuji kecantikanmu pagi ini. Kau sangat cantik sekali, jadi aku ingin semua orang tahu bahwa kau adalah wanita paling cantik yang pernah kutemui." jawabnya yang mulai menatapku dengan senyuman tulus.
Aku mulai menghela napas panjangku, sejujurnya pria ini sangat unik dan sering membuatku tertawa hingga melupakan segala beban dan derita, dia juga tak terlalu buruk dan juga punya kepribadian yang baik tak seperti Jianghan yang cuek dan menyebalkan, tapi entah mengapa aku lebih memilih Jianghan ketimbang Liao Jin, rasanya Jianghan tak bisa tergantikan di dalam hati. Aku hanya menepuk Pundak Liao Jin dan menyeringaikan bibirku sebagai balasan ucapannya, aku tak bisa berkata-kata lagi.
Aku dan Liao Jin mulai mendorong sepedaku untuk masuk ke halaman. Namun, kedua kaki kokoh dan bayangan hitam mulai menghadang kami.
"Mana jaketku?" tanya pria itu yang mulai menyodorkan tangan kanannya meminta sebuah jaket. Aku dan Liao Jin hanya terperangah kaget, pria itu adalah Jianghan. Pagi itu ia terlihat begitu menyilaukan dengan pantulan cahaya Mentari.
"Yuan Lin, kembalikan jaketku." pintanya sekali lagi yang mulai memutar bola mata malasnya. Namun, aku masih tak bergeming, aku masih terpesona dengan aura ketampanannya.
"Cepat kembalikan!" ucapnya lagi kali ini dnegan suara yang agak sedikit keras hingga membuatku tersadar dari lamunanku.
"Baiklah." ucapku yang mulai membuka tas gendongku dan mengeluarkan sebuah jaket hitam yang sudah wangi.
"Ini, terima kasih karena telah meminjamkanku kemarin." ucapku dengan tersenyum manis memandangnya dan mulai menyodorkan jaket itu pada Jianghan. Ia mulai meraih jaket itu dan menyeringaikan bibirnya sebagai balasan senyumanku.
"Apa kau sudah mencucinya? Aku tak mau, jika aku memakai jaket yang bekas membalut tubuhmu." sindirnya dengan pedas sembari mengangkat satu alisnya. Senyumku mulai memudar dan kini aku mulai mengernyitkan dahiku.
"Apa maksudmu, Jianghan? Apa kau tak punya hidung? Apa kau tak bisa mencium wanginya? Apa kau kira aku ini bodoh hingga tidak mencuci jaket itu? Asal kau tahu, aku ini masih memiliki etika yang baik terhadap apapun, kau tahu tengah malam aku mencucinya dan menghabiskan beberapa sachet pewangi hanya untuk mewangikan jaketmu dan seenaknya kau malah bilang ini tidak dicuci. Keterlaluan." tegasku kali ini dengan nada yang sedikit kesal bagaimana bisa dia berpikir hal aneh seperti itu, tak habis pikir.
"Iya, lalu?" tantangnya padaku.
"Gunakan hidungmu, apa hidungmu tidak berfungsi?!" tambahku yang semakin geram
Terlihat Jianghan mulai tertawa kecil menatapku yang nampaknya terlalu cerewet pagi ini.
"Apa? Mengapa kau menatapku seperti itu? Memang benar, hidung pria ini sudah tidak berfungsi."
Jianghan mulai membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajahku, sontak hal ini membuat Liao Jin berteriak dan berusaha menjauhkan tubuh Jianghan yang kini berdiri membungkuk menatapku, namun ia tak bisa karena terhalang oleh sepeda.
"Hei, gadis yang sok pintar, apa kau tidak melihat sekelilingmu? Mereka menatapmu. Aku tak peduli, kau mencuci tengah malam atau menghabiskan puluhan sachet pewangi atau lebih yang terpenting untukku adalah jaket ini sudah kembali, mengerti?" bisik halus Jianghan yang mulai ikut tersenyum geli dan mulai pergi begitu saja tanpa mengucap terima kasih. Aku mulai terbelalak kaget melihat Jianghan melakukan hal ini padaku, aku mulai menoleh ke kanan dan ke kiri melihat suasana sekitar, terlihat beberapa siswa siswi menatap heran ke arahku.
Akupun bergegas memakirkan sepedaku, menutupi wajahku yang memerah karena malu dan pergi ke kelas dengan suasana hati yang mulai kacau.
"Yuan Lin, tunggu dulu." panggil Jin yang mulai menarik lenganku
"Apa lagi, Jin?"
"Jelaskan padaku, bagaimana bisa kau meminjam jaket Jianghan, Lin?" tanyanya dengan penasaran terlihat dari sorot matanya yang mulai terbinar-binar menatapku
"Iya, kemarin ia memberikannya saat aku kedinginan." jawabku yang mulai melangkah menjauhi Liao Jin.
"Apa?" Liao Jin mulai terkejut dan mengejar dibelakangku tapi aku menghiraukannya karena mood pagi ini sudah kacau karena Jianghan.
Aku melempar tasku ke atas meja dan mulai duduk di kursiku tepat di kelas 2F, Shu in dan Fen mulai menghampiriku.
"Apa yang terjadi? Kudengar dari kelas sebelah bahwa kau baru saja memarahi Jianghan, benarkah itu, Lin?" tanya Shu In yang mulai penasaran dan duduk tepat di depan mejaku.
"Ya, benar. Aku kesal dengannya." jawabku dengan mengerucutkan bibirku
"Apa yang terjadi?" tambah Fen
Aku mulai menceritakan runtutan kejadian yang terjadi kemarin ketika aku membuat Jianghan celaka dengan rantai sepedanya yang lepas hingga kejadian halaman parkiran sekolah ketika aku memaki-makinya atas tuduhan bahwa aku tak mencuci jaketnya. Terlihat Fen mulai tertawa geli, nampaknya ada suatu hal yang menurutnya sangat lucu.
"Apa yang kau tertawakan, Fen? Apa ada hal yang lucu?" tanyaku kali ini dengan menatap tajam wajahnya, sontak hal ini membuatnya diam dan menutup mulutnya rapat-rapat hingga tak ada suara gelak tawa lagi yang terdengar.
"Baiklah, maafkan aku. Apa kau tidak tahu bahwa Jianghan itu sedang menggodamu, Lin." jawabnya dengan mencolek lenganku.
"Menggoda? Apa maksudmu, Fen? Jianghan menggoda Lin, untuk apa?" tanya Shu In yang satu pemikiran denganku, untuk apa Jianghan menggodaku, tak masuk akal.
Aku hanya mengangguk setuju dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Shu In. Terlihat Fen mulai menghela napas panjangnya dan menepuk dahinya. Aku dan Shu In hanya saling menatap satu sama lain.
"Baiklah, menurut buku psikologi yang kubaca, tanda-tanda seorang pria jatuh cinta pada seorang wanita adalah yang pertama ia akan curi-curi pandang, ia akan perhatian, ia akan berusaha mencari waktu senggang untuk menghabiskan waktu bersama,dan yang terakhir ia akan mencari perhatianmu dengan cara menggodamu dan kurasa sikap yang Jianghan lakukan padamu itu menunjukkan bahwa ia sedang menggodamu jadi, kemungkinan besar ia juga memiliki ketertarikan yang sama dengan dirimu, Lin." jelas Fen dengan menatapku dan Shu In secara bergantian sembari dihiasi senyuman yang mencurigakan.
"Tidak, itu semua salah." sahut seseorang dengan lantangnya yang mulai ikut campur dalam pembicaraan kami sontak hal ini membuat kami terdiam membisu.