Mentari mulai terbenam di ufuk Barat. Langit jingga mulai menghiasi bumi, burung-burung kembali pulang menuju sarangnya. Bel sekolah ikut berbunyi nyaring diikuti dengan sorak gembira siswa, akhirnya berakhir sudah hari yang berat dan membosankan ini.
"Yuan Lin, apa kau akan pergi bertemu dengan sosok pengirim surat itu? Apa sebaiknya kau ditemani satu orang pria untuk berjaga-jaga?" tanya dan saran Shu In
"Tidak, aku akan baik-baik saja."
"Yuan Lin, apa kau akan pulang bersamaku sore ini?" tanya Liao Jin dengan wajah yang sumringah bahagia.
"Tidak, maaf Jin aku tak bisa pulang bersamamu hari ini."
"Tapi, mengapa? Apa kau lebih memilih pulang bersama Jianghan daripada diriku? Apa kurangnya aku, Lin. Apa aku terlalu menjijikan bagimu atau aku tak pintar, ya?" tutur Liao Jin yang membuatku semakin merasa bersalah.
"Tidak, bukan seperti itu. Kau pria yang baik, Jin tapi aku sedang ada urusan. Aku pun tak pulang bersama Jianghan, kau tak perlu khawatir. Besok aku akan pulang bersamamu, aku janji."
"Liao Jin, kau pulanglah bersama kami. Biarkan Yuan Lin membereskan urusan pribadinya." ucap Fen yang menepuk pundak Liao Jin.,
"Baiklah, kau hati-hati di jalan, ya. Jika ada suatu hal yang terjadi, kau bisa meneleponku kapan saja." jawab Liao Jin dengan senyum
"Baiklah."
Memiliki teman yang pengertian dan dikelilingi orang yang baik, memang menjadi suatu anugerah yang paling berharga di dunia. Aku sangat beruntung bisa bertemu dengan mereka. Benar adanya, di dunia ini bagaikan menanam. Jika kau menanam benih yang bagus, maka hasilnya pun akan bagus sama halnya dengan sikapmu pada orang lain. Jika sikapmu baik, maka kau juga akan mendapatkan teman dan tinggal di lingkungan yang baik pula.
Kupandangi surat merah muda itu, sebenarnya sosok siang itu siapa, ber-sweater abu-abu. Teringat kejadian siang tadi, di mana sosok itu mengusap lembut kepalaku dan bicara dengan suara halus yang penuh kasih.
"Maaf, semua ini salahku. Aku yang telah memperlakukanmu dengan buruk, aku tak tahu apakah aku berani kembali menatap mata indahmu lagi atau tidak. Aku sungguh menyesal. Mungkin aku pria yang tak bisa dimaafkan, tapi terima kasih kau telah menyadarkanku kalau kau benar-benar wanita yang baik." ujar sosok itu.
"Tetaplah sehat, Lin. Aku akan terus merindukanmu." tambahnya yang tiba-tiba saja membelai halus kepalaku.
Sebenarnya sosok ini siapa, misterius sekali. Apakah Jianghan atau Zhai Lian? Aku mulai melangkah menuruni tangga menuju halaman sekolah. Kuharap sosok pengirim surat ini masih menungguku di sana.
Kulihat seorang pria dengan perawakan tinggi, ber-sweater abu-abu berdiri membelakangiku. Aku mulai membunyikan bel sepedaku.
"Kau datang?" ucapnya dengan suara yang agak tak percaya dengan kedatanganku. Ia mulai membalikkan badannya.
Aku terperangah melihatnya, bahkan sepedaku jatuh tergeletak di tanah.
"Z-Zhai Lian?" ucapku
Ia tersenyum menatapku, kemudian ia tertunduk lesu dan berlutut di depanku.
"Aku sungguh menyesal karena memperlakukanmu dengan buruk hari itu. Mungkin aku pria yang tak bisa dimaafkan karena sikapku yang kelewatan. Aku sangat malu untuk menatapmu, kau wanita yang baik." Ucapnya yang membuat jantungku kembali berdegup cepat tak seperti biasanya. Ucapan Zhai Lian terdengar familiar di telingaku, apa jangan-jangan pria yang datang ke ruang Kesehatan dan membelai rambutku adalah Zhai Lian. Aku mulai menyentuh dadaku seakan terasa sesak, bagaimana bisa ini semua terjadi padaku.
"Aku tak tahu, apakah kau akan memaafkanku atau tidak. Tapi, aku sungguh menyesal dan memohon maaf padamu. Mungkin aku terdengar sedikit pecundang, tapi ini yang bisa kulakukan. Kau ingin menghinaku ataupun mukulku, aku akan menerimanya." tambahnya yang masih berlutut di hadapanku.
Kucoba untuk membangunkan Zhai Lian, "Sudahlah, Lian. Aku memaafkanmu. Sejujurnya, aku sangat kecewa dengan sikapmu. Kau sangat baik, tapi aku tak menyangka kalau kau bersikap rendahan seperti itu. Kau jadikan aku bahan taruhanmu, aku pun tak mengerti apa sebenarnya salahku hingga kau berbuat demikian dengan teman-temanmu. Tapi, sudahlah aku baik-baik saja."
"Aku terlena di hari itu, kau tahu aku tak ingin dikata pecundang. Tapi, aku salah, aku malah menyakiti hati seseorang yang harusnya kujaga." jawab Zhai Lian yang masih menundukan kepalanya.
"Ah, yasudahlah yang berlalu biarlah berlalu. Aku akan memaafkanmu, asal kau tak mengulangi perbuatan jahat itu lagi."
Pria itu mulai mengangkat kepalanya dan menatapku, aku bisa lihat kedua matanya yang memerah dan berkaca-kaca. Lian mulai mendekap erat tubuhku senja itu.
"Aku tak tahu, mengapa aku bertindak kejam denganmu, Lin. Maafkan aku. Selama aku tanpamu, aku sungguh merindukan masa-masa bersamamu. Kau jangan sakit lagi, maaf jika aku menyakitimu." ucapnya yang terus mendekap erat tubuhku. Aku terperangah mendengar perkataan Zhai Lian, ternyata pria yang datang siang itu adalah Lian.
Di bawah langit senja, derai air mata terus bercucuran diantara aku dan Lian. Aku menangis karena lagi-lagi aku terbunuh dengan ekspetasiku, kukira pria itu Jianghan ternyata bukan. Untuk apa aku terus memikirkannya, jika dia saja tak pernah memikirkanku. Zhai Lian mulai melepaskan pelukannya.
"Kau menangis?" tanyanya dengan halus yang membuatku menggelengkan kepalaku. Entah, mengapa tiba-tiba rasa sesak memenuhi dadaku.
"Tolong jangan menangis dihadapanku, aku akan selalu ada untukmu. Aku janji, aku takkan menyakitimu lagi." sahutnya yang mulai mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Kutatap matanya, terpancar kasih yang tulus. Tatapan Lian sore itu seperti tatapan Liao Jin kepadaku. Apakah ia juga menyimpan rasa padaku?
Aku mulai membuang pikiran anehku, mana mungkin demikian. Zhai Lian adalah tipe pria yang baik ke semua orang bahkan sikapnya pun lebih hangat daripada Xiao Jianghan. Jadi, pasti dia bersikap lembut pada orang lain juga selain diriku.
"Kita masih berteman, kan?" tanyanya sembari menunjukan jari kelingkingnya. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
"Iya, kita masih berteman." jawabku yang turut menunjukan jari kelingkingku. Kami melakukan janji jari kelingking bak seorang anak kecil.
"Kalau begitu, mulai besok dan seterusnya aku akan bersamamu, menjagamu, dan membantumu ketika kau merasa kesulitan. Jadi, kau tak perlu khawatuir jika kau merasa kesepian, ada aku di sini." ujarnya yang membuatku terus tertawa.
"Apa ada yang lucu dengan ucapanku, Lin?"
"Tidak, kau bicara terlalu berlebihan seakan-akan kau ingin menjadi sosok Spiderman saja." jawabku
Lian mulai tersenyum, "Nah, begitu kau harus tersenyum jika bersamaku."
Sore itu dibawah langit yang menjingga dan disaksikan suasana kota Hangzhou, Zhai Lian kembali bersamaku. Aku akan berusaha melupakan kejadian yang memilukan tentangnya di hari itu. Hari ini, aku akan memulai pertemanan yang baru dengan Zhai Lian.
Namun, tiba-tiba gelak tawaku terhenti melihat seseorang ber-sweater abu-abu juga turut melintas di sampingku mengayuh sepedanya kuat-kuat.
"J-Jianghan? Apa dia melihatku bersama Zhai Lian?" gumamku dalam hati sembari mataku terus menatap sosok Jianghan yang kini telah mengayuh sepeda jauh di ujung jalan sana.
Jam menunjuk pukul 7 malam, kurebahkan tubuhku di atas kasur. Kupandangi langit-langit dan terus tersenyum merasakan kejadian unik hari ini. Untuk pertama kalinya, Zhai Lian mendekap tubuhku. Dia pria yang manis. Tiba-tiba terlintas sosok Jianghan yang melintas dengan sepedanya.
"Apakah Jianghan melihatku pulang bersama Lian? Bagaimana jika ia tahu?" gumamku yang menggigit kuku tanganku.
"Masa bodo, dia tak pernah peduli dengan perasaanku, jadi untuk apa aku terus memikirkannya." tambahku yang mulai menutup kedua mataku.
Tiba-tiba ponselku berdering nyaring, sebuah pesan singkat baru saja hinggap dalam ponselku.
"Wanita baik takkan menjual dirinya demi mengejar atau mengobral cinta yang tak tulus." bacaku dengan hati yang turut gemetar. J-Jianghan mengirimkan pesan singkat tanpa makna seperti ini, apa maksudnya? Apa ia sedang menyindirku karena pulang bersama Zhai Lian sore ini? Bagaimana ini?
Namun, kupilih untuk mengabaikannya, lagipula mungkin saja ia salah mengirimkan pesan. Tiba-tiba ponselku mulai berdering lagi.
"Ini termasuk untuk dirimu, nona Yuan Lin. Menjaga diri dari pria yang tak baik menjadi kewajiban bagi seorang wanita." mulutku terperangah lebar membaca sebuah pesan singkat dari Jianghan.
"Apa maksudnya ini? Apa Jianghan sudah gila?" makiku yang terus melihat pesan dari Jianghan. Namun, tiba-tiba terlintas sesuatu hal yang aneh dalam pikiranku, apakah Jianghan cemburu denganku? Benarkah semua ini, dia cemburu?