Ada perasaan yang tak pernah bisa kuungkap, rasanya selalu saja ada yang menggerogoti relung hatiku. Kukira cinta akan menjadikan hidup seseorang menjadi lebih baik, nyatanya aku tak pernah berbalas. Sepertinya kejadian kemarin membuatku sadar dan kini aku sudah tahu jawaban atas semua perasaanku selama ini. Rasa yang sudah kandas, hancur dan pupus.
"Aku harus melupakan semua hal tentang Jianghan. Bagaimanapun caranya aku harus melupa." gumamku dalam hati sembari menatap wajah di cermin. Kali ini, aku harus mengasihani diriku yang terus menerus mengemis cinta yang tak ada guna.
Pagi ini, mentari bersinar dengan cerah, namun mendung dalam hati masih bisa kurasakan. Nampaknya, kali ini aku harus menjauhi Jianghan. Stay away for better life, begitulah kata orang. Kukayuh sepedaku melawan angin, jam di tangan sudah menunjuk pukul 7.
"Lagi-lagi aku harus terlambat ke sekolah." helaku sekali lagi. Jika aku terus mengeluh seperti ini, hanya penyesalan saja yang bisa kudapat. Semangatku hanya ada pada Jianghan. Tapi, aku tak mau lagi membahas tentang pria itu.
Kriing…kriingg. Suara bel terdengar nyaring.
"Selamat pagi, Lin." sapa Jin yang kini mengayuh sepeda di sampingku. Aku membalas dengan senyuman.
"Hei, apa kau sakit?" tanyanya sekali lagi yang memintaku tuk berhenti.
Aku masih diam membeku.
"Lin, apa kau baik-baik saja? Apa ada hal yang terjadi?" tanyanya sekali lagi kali ini nampaknya ia benar-benar berharap jika aku menjawab pertanyaannya.
Aku menelan ludahku dan terus menatap wajah sosok pria yang selalu ada di sisiku. Kini, aku sadar bahwa Liao Jin lah pria yang tulus, susah dan senang ia tak pernah meninggalkanku. Ia juga tak pernah mengejekku.
Nampaknya, menangis semalaman penuh tidak memberikan rasa lega dalam dada. Aku tak bisa menahannya lagi. Derai air mata mulai menetes, isak tangis terulang lagi. Benar-benar buruk mood-ku pagi ini.
"Aku sudah tak tahan lagi. Hatiku hancur." ucapku yang mencoba mengusap air mataku. Namun, bahu Liao Jin bergerak lebih cepat. Ia memelukku di tengah perjalanan sekolah, membiarkan sepedanya tergeletak di tanah, Jin membelai halus rambutku. Perasaan lembutnya kini bisa kurasakan.
"Jika kau ada masalah, berbagilah denganku. Aku akan siap mendengarkannya." bisik halusnya tepat di gendang telingaku yang membuatku mengangguk perlahan.
"Menangis saja sepuasmu, aku tak apa. Lagipula, aku juga sedang malas pergi ke sekolah." tambahnya yang membuatku tertawa kecil di tengah tangis.
Sementara itu, di sekolah suasana sudah mulai ramai. Sepeda-sepeda telah terparkir rapi dan sejajar, beberapa anak mulai berlarian mengejar waktu.
"Apa mataku terlihat besar?" tanyaku pada Liao Jin sembari menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.
"Tidak terlalu kok." Jawabnya diiringi senyuman manis. Kuatur kembali napasku, aku akan coba menjalani hari seperti biasanya walaupun nanti akan ada air mata susulan yang akan menetes jika teman-temanku memaksaku tuk bercerita.
Kulangkahkan kaki menuju lantai dua, namun terdengar sayup-sayup suara yang tak asing di gendang telinga.
"Kau? Tumben sekali berangkat siang seperti ini." ucapnya yang berdiri kokoh menghadang jalanku.
Lagi-lagi Jianghan, mengapa aku harus menemuinya di waktu seperti ini.
"Bukan urusanmu!" jawab ketusku dengan wajah yang tertunduk dan mulai melewatinya. Namun, tiba-tiba Jianghan menarik pergelangan tanganku.
"Mengapa kau tidak menjawab teleponku semalam?" tanya Jianghan padaku.
Aku menelan ludahku, aku tak mau menangis lagi.
"Aku sedang tak ingin bicara." Kulepaskan genggaman Jianghan dan langsung pergi meninggalkannya.
"Maaf." ucapnya dengan lirih yang sempat kudengar. Kubalikan badanku menoleh ke arahnya, kulihat Jianghan terus berjalan menuruni tangga.
"Aku rasa, aku salah dengar." desisku sembari mengusap telingaku.
Jam pelajaran di mulai. Hari ini kelas Bahasa Inggris yang cukup membosankan.
"Apa yang terjadi denganmu?" bisik Shu In tepat digendang telingaku.
Aku menggelengkan kepala.
"Kata Jin, pagi tadi kau menangis? Apa kau sedang ada masalah, Lin?" tambah Fen yang tengah duduk di sampingku yang kini mulai ikut penasaran.
"Jangan sekarang, nanti akan kubicarakan."
Brukk! Suara penghapus digebrakan di atas meja.
"Yuan Lin, Shu In, Fen!" panggil Madam Shua dengan lantangnya hingga membuat satu kelas diam.
"Kalian terus saja berbicara di dalam kelas. Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan hingga tak memperhatikan pelajaran?"
"Maaf, Bu." ucapku.
"Maaf, Bu. Yuan Lin sedang sakit jadi kami menanyakan keadaannya." timpal Fen yang mencoba mencari alasan.
"Kalau begitu, Fen kau antar Yuan Lin ke ruang perawatan."
"Tapi, bu…" sahutku
"Yuan Lin, jika kau sakit seharusnya kau beristirahat di rumah. Jangan memaksakan diri untuk pergi ke sekolah, kau mengerti?" nasihat Madam Shua
Aku hanya mengangguk perlahan.
"Aku juga akan mengantarkannya, bu." ujar Liao Jin sembari berdiri dari kursinya.
"Tidak, Liao Jin, duduk!" sentak Madam Shua pada Jin hingga membuatnya kembali duduk di kursinya.
Berjalan menuju ruang perawatan, di mana aku harus melewati ruang kelas Jianghan. Fen benar-benar memapahku jalan, sebenarnya aku tidak apa-apa. Ia sangat berlebihan.
"Kau harusnya istirahat, jangan memaksakan diri. Kalau sudah sakit seperti ini, siapa yang susah. Kau kan?" ucap Fen dengan lantangnya di depan ruang kelas A, artinya di depan ruang kelas Jianghan dan Zhai Lian.
Fen mulai mengedipkan matanya dan memintaku untuk terus menunduk. Entah suara Fen terdengar di dalam kelas atau tidak tapi aku harap tak ada seorang pun yang mendengarnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Lin?" tanya Fen yang membantuku berbaring di atas ranjang ruang perawatan.
Aku menghela napasku dan menceritakan semua yang terjadi hari itu. Wajah Fen mulai mematung, aku bisa lihat dari reaksi wajahnya yang terkejut.
"Aku harus beri Zhai Lian dan Jianghan pelajaran, aku tidak terima jika perasaan sahabatku dipermainkan seperti ini." kesal Fen yang mulai mengepalkan lengannya. Namun, aku menahannya. Sembari menggelengkan kepalaku agar Fen tak melakukan hal aneh.
"Aku akan melupakannya. Aku juga akan berhenti mencintainya." Ucapku.