Jam di dinding hampir menunjuk pukul 5.30 sore. Langit mulai berubah menjadi jingga diiringi sang surya yang hampir saja tenggelam, langit cerah berubah membiru, membuat burung-burung terbang dan kembali menuju sarangnya setelah seharian berburu makanan begitupun dengan sekolah. Bel pulang mulai dibunyikan membuat seluruh siswa bersorak kegirangan. Akhirnya, hari yang melelahkan selesai juga.
"Lin, kau pulang dengan Liao Jin sore ini?" tanya Shu In yang menarik bahuku. Aku mengangguk mengiyakan.
"Lalu, bagaimana dengan Zhai Lian?" tambahnya yang membuatku kembali murung, senyumku kembali memudar.
"Aku tidak tahu, tapi aku tak ingin pulang dengannya. Kau tahu, satu sekolah gempar karena perbuatannya pagi tadi, jika aku bersikeras untuk pulang bersamanya, gosip ini akan terus berlanjut. Aku tak mau ini terjadi, kau juga tahu kan bagaimana tadi Jiang Han menanyakan hal itu juga padaku, aku tak mau dia menjauhiku hanya karena Lian."
Terlihat Fen mulai menaikan sebelah alisnya dan berdiri di hadapanku.
"Kau salah, menjauhi Zhai Lian bukan cara yang tepat. Kau juga akan menyakiti hatinya. Berpikirlah dengan bijak, Lin. Kau pulang saja dengan Lian dan masalah Liao Jin biar itu jadi urusan kami."
"T-tapi, Fen aku tak ingin pulang dengannya."
"Sudahlah ikuti saja kataku, apa kau ingin Lian membencimu dan menganggapmu wanita yang tak tahu diri? Apa kau juga ingin mendengar gossip tentang Yuan Lin berselingkuh dengan Liao Jin dan mengabaikan Zhai Lian? Apa kau mau seperti itu?" tambah Fen yang kali ini dengan nada tegas dan mulai menyadarkan pikiranku. Aku mulai menatap ke arah halaman sekolah, kulihat Zhai Lian tengah duduk menungguku bersama sepedanya.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumamku dalam hati sembari menggigit bibir bawahku.
"Lakukanlah apa yang kukatakan jika kau ingin semuanya baik-baik saja." ucap Fen yang menepuk bahuku.
Aku masih menatap dengan tatapan yang kosong penuh dilema, tiba-tiba pikiranku mulai terpikirkan tentang sebuah buku, buku yang dianggap sebagai salah satu buku keramat milik teman Shu In. Aku mulai membuka halaman pada Chapter 4.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Shu In yang ikut duduk di sisiku.
"Membaca buku ini, langkah apa yang harus kulakukan?"
Aku mulai membuka Chapter 4 buku itu, entahlah apa yang harus kulakukan sekarang. Apa mungkin kisah cintaku kini diatur oleh buku bersampul mawar ini.
"Chapter 4. Cobalah untuk tetap tersenyum dan jangan terus mengeluh dengan keadaan. Karena senyum akan memberikan aura positif dan membuat inner beauty-mu semakin terlihat." bacaku bersamaan dengan Fen dan Shu In, kami pun saling memandang satu sama lain.
"Kurasa ini bukanlah jawaban atas segala permasalahanmu saat ini." ucap Fen yang membuatku mengangguk. Kucoba tuk membuka salah satu halaman lagi.
"Wanita itu sebagai bunga dan pria lebahnya. Kau berhasil menjadi salah satu ratu diantara semua bunga, pilih lah lebah yang selalu datang pada bunga meskipun bunga itu layu." bacaku lagi.
"Apa maksudnya?" tanyaku yang mulai kebingungan. Kalimatnya sangat rancu.
"Apa mungkin kau harus memilih seorang pria yang selalu ada untukmu. Jika dibandingkan dengan permasalahanmu hari ini, kau pilih Zhai Lian, Liao Jin atau Jianghan?" jawab Shu In yang membuat Fen terperangah begitu juga dengan diriku.
"Menepati janji akan menjadi suatu hal yang berharga." tambahku yang membaca sebuah kalimat yang terdapat catatan buku itu.
"Baiklah, akan kuluruskan. Siapa yang mengajakmu pulang pertama kali, Zhai Lian atau Liao Jin?" tanya Shu In
"Zhai Lian. Tapi, pagi tadi aku belum menyanggupi permintaannya, aku langsung pergi begitu saja." jawabku
"Kau harus tetap pulang bersamanya. Kau tahu kan, jika diam-nya seorang wanita itu berarti menandakan "iya" dan "setuju". Kau melakukannya berarti secara tidak langsung kau juga telah menyetujui tuk pulang bersamanya." terang Shu In diikuti dengan anggukan setuju Fen.
Aku mulai menunduk menatap buku yang ada digenggamanku. Hatiku terus bergumam "Benarkah begitu?"
Aku bergegas menuruni anak tangga dan pergi menemui Zhai Lian yang sedari tadi telah menungguku. Namun, kulihat Jianghan juga berdiri di sana.
"Lin, akhirnya kau datang juga." sambut Lian dengan senyum sumringah yang terpancar di wajahnya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
"Ayo kita pulang, Lian." ucapku yang mencoba mengabaikan Jianghan yang ada di sebelahku. Kurasa ia hanya terperangah kaget dengan perubahan sikapku. Zhai Lian mulai menganggukan kepala dan tersenyum menatapku, aku bisa melihat betapa bahagianya dia sorot matanya berbinar-binar.
Kutinggalkan Jianghan di halaman. Begitupun juga dengan Liao Jin yang terus menerus memanggil namaku, namun Shu In dan Fen menahannya untuk tak pulang bersamaku.
"Apa yang kalian lakukan? Lihatlah, Yuan Lin sudah pergi dengan pria itu. Ini semua gara-gara kalian, kalau saja tak menahanku, aku pasti sudah pulang bersamanya." kesal Liao Jin dengan Fen dan Shu In yang sedari tadi menahannya.
"Kalau begitu, kau pulang saja denganku. Aku kan sahabat Yuan Lin, jadi sama saja, kan?" ajak Shu In dengan menggandeng lengan Liao Jin.
Sementara itu, Fen masih menatap Jianghan yang masih berdiri kokoh melihat Yuan Lin dan Zhai Lian pergi bersama dari kejauhan.
"Apa kau cemburu melihat Lin bersama Lian?" tanya Fen dengan melipat kedua lengan di dadanya.
Jianghan mulai membalikan badannya, "Tahu apa kau."
"Aku bisa melihatnya, Jianghan. Kau tak perlu mengelak, kau tahu Yuan Lin juga menyukaimu. Jadi, jika kau cemburu mengapa kau tak mengajak Lin pulang bersama saja sejak awal?"
Jianghan hanya menatap dingin dan menganggap omongan Fen hanyalah angin lalu.
"Bagaimana aku bisa lupa, kau ini kan manusia batu dan tak punya perasaan percuma saja aku bicara pasal cinta, kau pun takkan mengerti. Jadi, pesanku jika kau memang menyukainya, ajaklah dia pulang atau makan siang bersama itu akan lebih baik." ucap Fen dan langsung pergi mengendarai sepedanya.
Sementara itu, di jalanan kota yang ramai dengan langit yang sudah gelap berhiaskan ribuan bintang menggantung di angkasa. Nampaknya, suasanaku dan Zhai Lian masih dingin sedingin hembusan angin malam ini.
"Lin?" panggilnya yang nampaknya sedikit gerogi seakan ada dinding pembatas diantara aku dan dia.
Aku hanya menarik rem sepedaku dan menatapnya.
"Maafkan sikapku pagi tadi. Karena aku kau terkena masalah dan dibicarakan satu sekolah." ucap Lian dengan tatapan mata yang menyesal.
Aku mulai menghela napasku, "Ah sudahlah, lagipula aku tak terlalu mempedulikan ucapan siswa siswi lainnya. Jadi, kau jangan terlalu merasa bersalah. Kalau Bahasa Inggrisnya don't worry, I'm okay."
"Maaf karena aku juga sempat berpikir buruk tentangmu, kalau kau akan menjauhiku karena hal itu." tambahnya yang membuatku menoleh ke arahnya. Ia berkata benar, aku hampir saja bersikap demikian padanya. Padahal aku tahu, ia tak sengaja melakukan hal ini padaku. Jika aku benar-benar melakukannya, Lian pasti akan merasa sedih dan tidak enak padaku, padahal dia adalah pria yang baik.
Aku hanya memukul bahunya, "Apa kau sudah gila, mana mungkin aku menjauhimu karena hal sepele seperti itu. Kau itu pria baik yang pernah kutemui."
Terlihat Zhai Lian mulai tersenyum menatapku yang tengah ikut mendorong sepeda di sampingnya.
"Mungkin saja, karena aku kan penganggu di hidupmu." Ucapannya kali ini membuatku menatapnya dengan sinis.
"Jangan kau ulangi kata itu lagi atau aku takkan pernah menyapamu lagi."
"Lihatlah, senyumanmu sama seperti bulan itu." ujarku sambil menunjuk bulan yang berbentuk sabit sama seperti lekungan senyum milik Lian.
"Apa kau ingin terus menggodaku?" tanyanya sembari mengangkat satu alisnya menyidikku.
Aku menggelengkan kepalaku dan tertawa kecil ke arahnya.
"Kalau begitu, jika aku sang bulan dan kau lah bintangnya." sahut Lian yang membuatku menatap heran dan penuh tanya, bagaimana bisa aku disamakan dengan sebuah bintang.
"Bintang? Mengapa begitu?"
"Karena bulan takkan ada artinya jika tanpa sang bintang disisinya. Begitupun juga dengan langit, tanpa bintang, langit takkan enak tuk dipandang." jawabnya yang membuatku tersenyum manis. Rangkaian kata yang sangat puitis, aku menyukainya.
"Mengapa kau tersenyum-senyum begitu?" tanyanya yang menyenggol lenganku yang masih menatap langit.
"Tidak, aku suka dengan kata-kata itu."
"Kukira kau akan menangis hanya karena mendengar kata-kata puitis seperti itu." Lian mulai menaiki sepedanya dan mengayuh meninggalkanku.
"Lian!! Tunggu aku!!"
"Kejarlah!"