Jika dunia ini memiliki sebuah keajaiban yang mudah tuk dikabulkan, maka keajaiban apa yang kau inginkan?
Kami saling menatap satu sama lain, mengklaim bahwa surat yang kuterima itu adalah surat asli dari Jianghan.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" rengekku seakan aku belum siap menerima hal ini dengan cepatnya.
"Bagaimana bisa kau sebodoh ini, lakukan saja semua hal yang kau inginkan. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini. Ingat, kau harus tetap menjadi sosok yang anggun." jawab Shu In yang mulai menyadarkanku.
"T-tapi.. A-aku."
"Sudah pergilah, Jianghan pasti menunggumu." usir Fen yang mulai mendorong tubuhku ke luar pintu kelas agar bergegas menemui Jianghan di halaman sekolah.
Jantungku masih berdegup kencang, rasanya ini seperti mimpi. Aku mulai memberanikan diri menuruni setiap anak tangga sembari sedikit demi sedikit mengatur napasku.
"Tenanglah, Lin. Pasang wajah manis dan jangan agresif." gumam lirihku sembari mengatur napas, membenahi rambut dan mencoba untuk terus tersenyum ramah agar aku tak terlihat menakutkan layaknya seekor singa.
Kulihat seorang pria berdiri tegak dengan balutan jaket biru memeluk tubuhnya.
"Jianghan?" panggilku dengan lirih sembari menepuk halus pundaknya.
Pria itu mulai menolehkan pandangannya, "Lama sekali, apa yang kau lakukan di atas sana?"
"Maaf, tadi aku keasyikan mengobrol dengan temanku." jawabku dengan meringis. Terlihat Jianghan mulai menatap sinis ke arah lantai dua.
"Apa kedua teman-temanmu juga ikut memata-matai kita?" tanyanya yang masih terus memandang kedua sahabatku yang tengah bersembunyi di balik dinding pagar lantai dua.
Aku mulai menggaruk kepalaku, "Tidak. Abaikan saja mereka, ayo kita pulang. Bukankah kau mengajakku untuk pulang bersama?"
Terlihat Jianghan mulai tersenyum menatapku. Kau tahu, bagaimana rasanya melihat senyum Jianghan untuk pertama kalinya? Jantungku kembali berdegup kencang, mungkin jika tak ada dia di sisiku aku akan melompat kegirangan. Ini pertama kalinya, aku melihat Jianghan tersenyum padaku.
Jianghan mulai menggiring sepedanya di depanku. Tiba-tiba ia mulai berhenti dan menolehkan kepalanya menatapku yang tengah berdiri di belakangnya.
"Cepatlah, apa kau tak ingin berjalan di sebelahku?" tanyanya yang sontak membuat mataku terbelalak kaget. B-bagaimana bisa? Apa Jianghan baik-baik saja, megapa ia berubah drastic seperti ini?
Aku mulai berlari sembari menggiring sepedaku di sebelahnya, kami kembali berjalan beriringan. Aku mencoba untuk menahan senyumku, aku harus terlihat anggun tanpa ucapan cerewetku. Tiba-tiba Jianghan mulai membuka ranselnya mengeluarkan sebuah benda yang nampaknya tersangkut di dalamnya.
"Aku kembalikan ini padamu, terima kasih." ucapnya yang mulai menyodorkan sebuah kotak makan yang pagi tadi kuberikan padanya. Mataku kembali terbelalak dan rasanya ingin seklai berair, kurasa ia tak memakannya terasa berat kotak makan itu sama dengan berat pagi tadi.
Aku mulai menghela napas panjangku, aku harus bisa menahan derai air mata yang hendak terjatuh.
"Mengapa kau tidak memakannya, Jianghan? Padahal aku sudah lelah memasaknya untukmu." ucapku dengan lirih menatap wajah Jianghan yang tersorot cahaya jingga.
"Apa yang kau bicarakan, Lin? Aku tak bisa mendengarnya." balas Jianghan yang memintaku untuk mengulangi pembicaraanku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan bergegas menaruh kotak makan itu di keranjang sepedaku.
"Tidak apa, lupakan saja. Bagaimana dengan harimu, apa menyenangkan?" tanyaku yang sembari memandangi wajah Jianghan. Terlihat ia menyodorkan sedikit senyuman lagi untuk kedua kalinya.
"Baik, seperti biasanya. Kurasa selama dua hari ini kau banyak sekali penggemar dadakan, ya Lin." jawabnya
"Apa yang kau bicarakan?"
"Asal kau tahu, perubahan penampilanmu menjadi lebih baik sampai membuat pria satu kelasku gempar dengan perubahanmu."
Aku mulai mengernyitkan dahiku, "Kau jangan bicara macam-macam, Jianghan. Apa mau kau kupukul karena perkataan anehmu?"
"Tidak, aku bicara apa adanya. Bahkan kudengar, kau sudah sangat akrab dengan Zhai Lian." Perkataan Jianghan kali ini membuatku bungkam.
"Apa menurutmu penampilanku ini buruk?" tanyaku yang mulai memberanikan diri untuk meminta pendapat pada sosok Jianghan.
Terlihat ia mulai berdegung bagai kumbang.
"Kurasa tidak terlalu buruk, tapi tetap aku biasa saja menanggapi hal ini. Jadi, tolong jangan besar kepala."
Aku tertawa mendengar ucapan Jianghan, "Lalu, kalau begitu hal penting apa yang ingin kau bicarakan hingga kau menitipkan pesan pada Cho?"
"Hal pentingnya aku hanya ingin mengembalikan kotak makanmu, itu saja dan menyampaikan keluhanku mengenai perubahanmu yang membuat satu kelasku gempar."
Aku mulai tertunduk lesu. Kukira ia akan membalas semua perasaanku, nampaknya cara kedua ini tetap gagal. Makanan yang kuberikan saja tidak disentuh olehnya sama sekali bahkan memalukannya dikembalikan begitu saja.
"Langit semakin gelap, jalanlah dengan cepat sebelum hujan turun." ucapnya yang mulai mengayuh sepedanya di depanku. Aku mulai menaiki sepedaku tanpa rasa iba, kubiarkan ia berjalan jauh di depanku.
Malam itu, hujan turun dengan deras membasahi seluruh jagat raya mengiringi setiap tetes air mata yang juga ikut berlinang membasahi pipiku. Nampaknya, du acara telah kulakukan tetapi tetap saja gagal. Kupandangi kotak makan yang baru saja ia kembalikan.
"Aku kembalikan ini padamu. Terima kasih." Ucapannya masih terus terngiang di telingaku. Kuraih kotak makan yang tak terjamah sama sekali bahkan beratnya pun masih sama seperti pagi tadi. Apa ada yang salah dengan roti bakar yang kubuat hingga ia enggan tuk memakannya? Padahal aku bersusah payah membuatnya jam 4 pagi.
Kubuka perlahan-lahan kotak makan itu, walau sebenarnya aku rapuh. Tiba-tiba mataku kembali terbelalak melihat isi kotak makan yang berubah bukan lagi berisi beberapa potong roti bakar tetapi dua batang coklat dan susu kotak.
"A-apa ini?" gumamku yang tak percaya sembari mengusap kedua mataku. Kulihat ada sebuah kertas tergulung tersangkut di antara sela-sela batang coklat.
"Aku tahu, bagaimana perjuanganmu dalam membuat roti ini. Kau memaksaku untuk makan dan kau juga yang memata-mataiku, bukan? Aku juga sudah mendengar semua hal yang kau lakukan pagi itu. Kau tahu, aku bersembunyi di bawah tangga mendengarkan semua percakapanmu dengan temanmu. Kau mengeluh bahwa kau kecewa karena aku tak memakannya, bukan? Bahkan kau juga merasa tak dihargai karena kau bangun pagi-pagi sekali membuatkan makanan untukku. Aku sungguh terkesan pada awalnya, tapi setelah kucicipi ternyata rasa roti bakarmu ini tidak seenak yang kukira. Rasanya hambar tak karuan. Aku juga kecewa karena kau merusak makanan favoritku. Anggap saja ini penghargaan yang kuberikan padamu sebagai bentuk apresiasi atas makanan hambarmu. Tolong jangan besar kepala, karena aku melakukannya dengan terpaksa." Bacaku yang mmembaca sebuah gulungan itu. Tak kusangka Jianghan membalasnya.
Benarkah jika ia mengetahui semua yang kukatakan? Ini memalukan, tapi sungguh ini pertama kalinya aku mendapatkan sesuatu dari Jianghan. Maaf karena aku telah berpikir buruk tentangmu.
"Haruskah kuhubungi dia?" tanyaku sembari meraih ponselku. Kurasa iya. Ku bergegas mencari nomor teleponnya yang ada di ponselku. Teleponpun berdering.
"Halo?" terdengar sayup-sayup suara serak basah mulai menerima panggilan.
"Jianghan, apa ini kau?" tanyaku dalam telepon.
"Ya, apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan cuek.
"Terima kasih telah mengisi kotak makanku dengan suatu hal yang baru, aku menyukainya." balasku.
"Tak masalah, aku melakukannya karena terpaksa. Dengarkan aku, sebelum kau memberi sesuatu hal kepada orang lain termasuk makanan, alangkah lebih baiknya jika kau cicipi terlebih dahulu masakanmu, agar tak membuat dirimu malu." ucapnya yang langsung menutup telepon tanpa permisi.
Aku kembali terperangah, "Ada apa dengan pria ini? Sedikit-sedikit baik, sedikit-sedikit jahat. Benar rasanya, dia memang pria titisan batu."
Tapi, mengapa kau tak bilang jika kau tak menyukai makananku ketika sepulang sekolah tadi? Kau hanya diam menyodorkan kotak makan. Apakah step kedua ini sudah bisa dikatakan berjalan dengan lancar? aku harus segera membaca buku itu dan mencari cara selanjutnya.