Ada satu hal yang retak, tetapi bukan gading ataupun kaca melainkan hati yang mulai terluka. Ada yang tersayat tetapi bukan tubuh dan kulit manusia, melainkan cinta dan raga yang tak pernah direstui oleh masa. Memang ada rasa sakit yang tak berdarah, tetapi mengapa seiring berjalannya waktu semakin parah, menyebabkan cinta hilang arah dan yang kuinginkan hanyalah menyerah dan pasrah.
"Apa dia tak memakannya? Aku benar-benar kecewa." ucapku dengan kesal sembari menuruni setiap anak tangga dengan hati yang meluap emosi.
"Tenanglah, Lin kurasa ia akan memakannya nanti." respon Shu In yang mencoba menenangkan hatiku.
"Bagaimana kau bisa menduga jika ia akan memakannya? Kau tahu, aku bangun pagi-pagi sekali demi membuatkan makanan untuknya. Hatiku sakit jika ditolak mentah-mentah tanpa penghargaan seperti ini, setidaknya makan lah satu gigitan itu akan membuatku senang. Dia malah seenaknya pergi begitu saja tuk makan diluaran." ucapku yang mulai membalikan badan menatap Shu In sembari menyentuh dadaku yang nampaknya ada sebuah rasa yang tak bisa kugambarkan antara kesal, kecewa dan sesak beradu menjadi satu.
"Bukankah kau lihat kalau ia membuka kotak makanmu dan menemukan sebuah surat di dalamnya? Kurasa ia akan memakannya, mungkin ia pergi ke kantin hanya untuk menghilangkan jejak. Kau tahu lah bagaimana dinginnya sikap Jianghan, terlebih lagi tadi kau tertangkap basah karena mengintipnya." jelas Shu In yang mulai agak meyakinkan semua keraguanku.
"Masuk akal. Aku sependapat dengan Shu In, ia pasti malu untuk memakannya karena kau memata-matainya. Jianghan kan tipe pria yang jual mahal." tambah Fen yang memperkuat dugaan Shu In.
Aku mulai menyidik ucapan kedua kawan baikku, nampaknya apa yang dibicarakan benar juga. Seharusnya aku tak mengintipnya. Aku terlalu terobsesi dengannya, sampai segala hal harus kuketahui.
Di sisi lain, ada sebuah cinta yang tulus yang selalu tercurahkan untukku.
"Lin, dari mana saja kau? Apa kau sudah makan?" tanya seorang pria dengan nada paniknya menungguku di depan kantin sekolah. Sorot matanya mulai berbinar-binar menatapku seakan penuh kasih.
"Belum."
"Kalau begitu duduk lah, biar aku yang memesankan makanan." Ucapnya yang membuatnya menarik sebuah kursi dan menyuruhku untuk duduk menunggu pesanan yang datang.
"Tak perlu, Jin. Aku akan memesannya sendiri." Aku yang mencoba untuk berdiri dari kursiku, namun Liao Jin mulai menahannya.
"Tidak usah, kau duduk saja biarkan aku yang melayanimu, kau lihat antriannya sangat panjang dan berdesakan, aku tak mau jika kau terluka." ucapnya dengan nada lembut yang penuh kasih sembari menyodorkan secuil senyuman manis padaku.
Ia mulai membalikan badannya, namun langkahnya terhenti ketika Shu In mulai memanggil.
"Liao Jin, apakah kami juga boleh memesan makanan padamu?" pinta Shu In dengan suara lemah lembut pada Jin.
"Tidak, aku tidak mau!" jawabnya dengan cuek sembari menolehkan pandangannya menatap Shu In dan Fen.
"Tolonglah, Jin. Aku sangat lelah dan lapar sekali, apa kau tak kasihan jika aku tiba-tiba saja pingsan di sana?" mohon Shu In dengan memasang wajah melasnya mengharap sebuah pengertian dari sosok pria ramah bernama Liao Jin.
Jin mulai menghela napas panjangnya, "Ah, ya sudahlah. Tapi, hanya kali ini saja aku membantu kalian. Aku hanya ingin membuat tuan putriku bahagia, karena kalian adalah temannya."
Terlihat senyuman sumringah mulai terpapar di wajah Shu In dan Fen. Jin mulai berjalan menghampiri tempat makan.
"Lin, apakah kau tidak merasa bahwa cinta Liao Jin padamu begitu tulus?" tanya Fen yang mulai membuka topik pembicaraan diantara kami.
Aku mulai mengangkat kedua alisku, "Ah, apa yang kau bicarakan, Fen? Aku tidak tahu, kurasa hanya karena cinta semua orang akan berubah. Mereka akan rela melakukan sesuatu demi orang yang meraka sayangi."
"Tapi, kurasa ini berbeda. Jin menyukaimu dengan segenap hatinya, kalau kau tak percaya cobalah kau perhatikan baik-baik bagaimana caranya ia memandangmu dan bicara denganmu. Itu menunjukan gelagat suka padamu." tambah Fen yang membuatku menggelengkan kepala tak setuju.
"Jika benar, Liao Jin menyukaimu dengan tulus. Bukankah lebih baik jika kau berpaling mencintai Liao Jin daripada Jianghan?" saran Shu In yang membuatku terbelalak kaget sementara Fen mulai menjentikan jarinya seakan setuju dengan ucapan Shu In.
"Aku setuju, daripada kau mengejar cinta pria batu seperti Jianghan kau takkan pernah mendapatkan kejelasan sama sekali, atau jika tidak mau dengan Liao Jin mengapa kau tak mencoba untuk menarik perhatian Zhai Lian, anak konglomerat itu. Bukankah kau dengannya sudah sangat akrab?" ujar Fen yang membuatku semakin menghela napas panjangku.
"Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?"
"Aku hanya bicara tentang realitanya saja, Lin. Satu sekolah pun tahu bagaimana kedekatanmu dengan Lian. Lagipula menjadi kekasih sosok pewaris tunggal dan pengusaha terkaya di Beijing juga tak terlalu buruk. Hidupmu akan serba kecukupan, kau hidup di keluarga terpandang dan bergelimang harta, kau juga bisa mandi uang setiap harinya." tambah Fen yang mulai menyangga kepalanya menatapku yang meringis aneh.
Aku mulai mengusap wajah Fen yang nampaknya mulai berhalusinasi tinggi, "Sadarlah, Fen. Aku ini bukan siapa-siapa."
"Jangan seperti itu, Lin. Cinderella saja yang hanya gadis biasa dan disiksa oleh ibu tirinya bisa menikahi seorang pangeran tampan, mengapa kau tidak?" tambah Fen yang nampaknya masih bersikeras membahas sosok pria teman sekelas Jianghan, Zhai Lian.
Aku mulai memutar bola mata malasku, "Kurasa itu hanya ada di negeri dongeng."
"Kau ini selalu saja pesimis, kau hanya perlu dekati saja dia lebih dekat. Kau pasti bisa menarik hatinya. Kurasa ia juga tak terlalu buruk, ia juga sama tampan dan pandainya seperti Jianghan bahkan lebih keren daripada Jianghan menurutku." tambah Shu In.
Aku mulai menepuk dahiku, "Apapun itu terserah pada kalian."
Tak bisa kujelaskan apa makna cinta sebenarnya, tapi yang jelas ia selalu indah dalam jiwa. Tanpa cinta hidup tak berwarna, tanpa dia kau juga akan terluka. Tapi, jika cinta tak terbalas juga bisa membawa malapetaka. Bukankah jodoh sudah diatur dalam takdir, tetapi mengapa aku selalu gelisah memikirkannya.
Aku tak tahu, apakah tips kedua itu berjalan lancar atau malah ada hambatan. Aku juga tak tahu, apakah Jianghan memakan bekalku atau tidak. Tapi yang jelas dalam buku itu tertulis jika dalam cara ini berhasil, maka calon kekasihmu akan datang menghampirimu dan mengatakan semua pujian atas makananmu dan membalas surat itu. Mungkin aku harus menunggunya sampai pulang sekolah tiba.Tentu, Jianghan harus menyiapkan ini semua, bukan?
Kembali berjalan menyusuri lorong sekolah, beberapa mata mulai memandangku. Nampaknya, perubahan tampilanku hari itu masih memberikan kesan pada mereka. Beberapa pria sekolah pun saling menyapa diriku. Ternyata rasanya sangat menyenangkan menjadi pusat perhatian di sekolah, wajar saja girls out selalu ingin tampil cantik dan perfect karena beginilah rasanya.
"Yuan Lin?"
"Hai, Lian."
"Kukira tadi aku sedang bermimpi melihat seorang bidadari yang turun dari langit dan berjalan sendirian di sekolah, ternyata bidadari itu dirimu." ucapnya yang membuatku malu.
Aku mulai menyenggol lengan Lian atas pujiannya yang berlebihan, "Kau ini berlebihan, Lian."
"Tidak aku bicara apa adanya. Kau terlihat menyilaukan." jawabnya yang membuatku semakin terkesima. Aku hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalaku.
"Kau dari mana dan hendak kemana?" tanyanya yang mulai berjalan beriringan di sebelahku.
"Aku tadi ingin pergi ke perpustakaan tetapi tak jadi. Sekarang aku ingin kembali saja ke kelas." jawabku yang membuat Lian mengangguk mengiyakan.
"Lian, apa ada yang aneh dengan diriku? Kau tahu sejak tadi beberapa siswa memandangi terus. Apa menurutmu aku aneh?" tanyaku untuk meminta saran pada sosok pria berkharisma, Zhai Lian. Terdengar Lian mulai bergumam.
"Lin, jika aku boleh berkata jujur, perubahan tampilanmu kali ini memang luar biasa. Gaya rambutmu dan cara perpakaianmu itu lebih menarik dari sebelumnya. Menurutku, itu tidak aneh ketika semua pria memandangimu, karena mereka terpesona dengan auramu. Bahkan seorang pria pun akan melakukan hal yang sama ketika mereka melihat seorang gadis cantik lewat di depannya, bahkan mereka juga tak segan untuk memujinya."
Aku mulai mengangguk mengiyakan, "Jadi, aku tidak aneh?"
Lian menggeleng, "Kau bukan aneh tetapi kau luar biasa dengan tampilan barumu. Mereka hanya terkagum-kagum dengan perubahan drastismu begitupun juga aku."
Kulihat senyum Lian mulai terpasang manis di wajahnya.
"Kau jangan bercanda seperti itu, Lian kau membuatku malu saja."
"Biarlah, kapan lagi aku bisa membuatmu malu." jawabnya yang membuatku semakin memerah dengan tatapan mata indah milik Lian. Aku tak tahu, jika murid kelas 2A bisa memiliki kata-kata seromantis ini.
Bel sekolah mulai berdering nyaring, sementara jam di dinding sudah menunjuk pukul 4 sore. Riuh-riuh kegembiraan mulai bergema menyambut waktu pelajaran telah usai. Guru-guru dalam ruangan mulai keluar dan mengucap salam mengakhiri pelajaran. Hari ini adalah hari yang cukup berkesan bagiku. Di awali dengan memasak makanan khusus untuk Jianghan, memberi kotak makan padanya, hingga berjalan dan berbagi cerita dengan Lian. Rasanya waktu cepat sekali berputar. Kurasa aku ingin terus menikmati hari menyenangkan seperti ini dalam hidupku.
"Yuan Lin, ada yang menitipkan pesan untukmu." ucap salah satu temanku, Cho sembari menyodorkan sebuah lipatan keras biru.
Aku mulai terbelalak heran dan menerima gulungan kertas yang diisyaratkan sebagai surat.
Kedua sahabatku mulai datang mendekat. Aku masih menatap sebuah gulungan kertas berwarna biru yang kini ada digenggamanku.
"Surat apa dan dari siapa, Lin?" tanya Fen yang nampaknya ikut penasaran. Aku mulai menggelengkan kepalaku memandang sebuah surat. Sesekali aku juga menelan ludahku karena gerogi. Aku kembali mengingat sebuah tulisan dalam buku cinta keramat milik Shu In bahwa jika ia membalas suratmu maka cara kedua berhasil dan kau berhasil menaklukan hatinya.
"Aku teringat dengan buku itu."
"Buku? Buku apa yang kau maksudkan?" ucap Fen yang nampaknya agak kebingungan.
"Buku Cinta Shu In, dalam buku itu menyebutkan jika kau menerima balasan surat, maka tahap kedua berhasil dan aku berhasil menaklukan hatinya. Mungkinkah kertas ini dari Jianghan?" tanyaku kepada kedua sahabatku. Rasanya jantungku berdegup kencang sekali hingga membuat kakiku melemas.
"Lin, cepat bukalah. Aku sudah tak sabar." Shu In yang mulai tak sabar melihat isi surat itu.
Ruangan kelas mulai sepi, aku mulai membuka surat itu, terlihat sedikit demi sedikit tulisan yang tertulis.
"Pulanglah bersamaku, ada hal penting yang ingin kubicarakan padamu. Kutunggu kau di halaman sekolah. Xiao Jianghan." Bacaku yang membuatku tak percaya. Jantungku semakin berdegup dengan cepat dan napasku mulai tak beraturan.
"J-Jianghan? Ini pesan dari Jianghan? Sungguh?" tanya Shu In yang tak percaya. Fen mulai menarik kertas itu dalam genggamanku, ia mencoba memeriksanya apakah mereka sedang bermimpi atau tidak. Aku mulai histeris kegirangan.
Benarkah jika cara keduaku ini berhasil?
A-Aku tak bisa berkata-kata lagi.