Aku menjauhimu bukan karena aku tak mau, hanya saja aku membatasi diri agar rasaku tak terlalu dalam untukmu. Karena apapun yang dicintai dengan berlebihan tak baik bagi diri dan kehidupan seseorang.
"Kau yakin sore ini akan pulang dengan Xu Wang?" tanya Fen yang mulai menegaskan sekali lagi dengan harapan aku segera mengubah jalan pikiranku mengenai sosok pria yang baru saja kukenal. Aku masih mengangguk mengiyakan.
"Baiklah, kalau begitu. Hati-hati di jalan, Lin. Jaga dirimu."
Aku mulai melambaikan tangan kepada Fen. Langit biru berubah menjadi jingga menandakan waktu sore telah tiba. Hiruk pikuk sibuknya perkotaan mulai mereda, nampaknya beberapa manusia yang gila bekerja mulai mengistirahatkan pikiran dan diri mereka. Sore ini agak berbeda di mana aku tak pulang bersama Jianghan melainkan bersama sosok pria yang baru saja kukenal, Xu Wang.
"Yuan Lin!" panggil sosok pria sembari melambaikan tangannya di pinggir pintu gerbang sekolah. Aku bergegas menggiring sepedaku kuat-kuat menghampirinya yang sedari tadi berdiri kokoh menungguku keluar kelas.
"Kau sudah menungguku lama?" tanyaku padanya.
"Tidak, baru saja." jawabnya dengan iringan senyum yang indah dan membahana, "Ya sudah, ayo kita pulang."
Aku masih mencari ke sana kemari sosok Jianghan, mengapa batang hidungnya tak terlihat juga sampai sekarang.
"Lin, bisakah kita pulang bersama?" tanya Xu Wang sekali lagi yang membangunkan segala lamunanku.
"Ah, iya baiklah." jawabku dengan bola mata yang masih terus menyidik mencari sosok pria idaman.
Aku mulai mengayuh sepeda beriringan dengan Xu Wang menikmati pemandangan senja yang indah dan takkan terlupa. Kami membicarakan berbagai macam hal menyenangkan. Ini pertama kalinya, bagiku pulang bersama dengan sosok Wang, seorang atlet sekaligus pebasket senior di sekolah. Ia berasal dari kelas B, di mana juga dikenal sebagai kelas yang cukup populer di telinga para pengajar sama halnya seperti kelas A.
"Aku sudah sangat familiar denganmu, Lin. Kau siswi kelas F yang memiliki keahlian dalam seni dan sastra, apakah aku benar?" tanyanya sembari melirikku.
"Tidak, aku tak seahli yang kau bicarakan. Kau pasti salah orang."
"Tapi, guru Shen Ji yang mengatakan bahwa kau selalu mendapat nilai terbaik di kelas sastra dan seninya."
"Ah, tidak juga. Kau tahu, wanita sepertiku yang hanya siswi biasa di kelas F, kelas yang dikenal sebagai kelas terbawah mungkin hanya dipandang rendah bahkan bisa lebih rendah dari sampah. Itu hanya sebuah keberuntungan dan kebetulan saja karena aku menyukai sastra dan seni." balasku.
"Janganlah merendahkan diri seperti itu, Lin. Kudengar dari beberapa teman juga bahwa kau akrab dengan Zhai Lian, anak konglomerat dari kelas A itu, apa itu benar?" tanyanya lagi, kurasa Xu Wang ingin mengulik seluruh hal tentang diriku.
"Ya, sebuah keberuntungan karena aku bisa mengenalnya. Dia pria yang baik dan juga sangat ramah dengan siapapun." jawabku yang masih fokus dengan jalan sembari mengimbangi kayuhan sepedaku. Ia hanya mengangguk paham.
Jalanan sore itu nampaknya sedikit senggang, kendaraan sedikit berlalu lalang. Aku tak tahu, apakah tindakanku ini sudah benar atau tidak, apakah tak-tikku ini tak menyakiti Jianghan atau tidak. Ah sudahlah, aku akan mencoba hal baru agar tak melulu menginginkannya. Aku juga memiliki kebebasan untuk dekat dan menyukai siapapun selain dirinya.
Jam di tangan sudah menunjuk pukul 5 sore. Warna langit jingga berubah semakin gelap dan beberapa lampu jalanan mulai menyala terang menerangi indah jalanan malam yang mulai dipenuhi dengan ribuan bintang yang menyebar romantis di angkasa. Aku pulang dan langsung masuk ke dalam kamar, rasanya hari ini sangat berkesan hingga membuatku susah tuk mengungkapkan.
Semua mimpiku tuk menjadi pusat perhatian dan putri sekolah akhirnya terkabul, tetapi tetap saja perubahan ini tak membuatnya terkesan. Entahlah, ini bisa dibilang berhasil atau hanya sekedar sia-sia. Malam itu kucoba untuk membaca buku bersampul mawar itu lagi, setidaknya masih ada 11 tips lainnya yang mungkin saja bisa membuatnya terkesan. 1 dari 12 cara sudah kucoba dan bisa dikatakan berhasil namun juga gagal, jika dipresentase hasilnya sekitar 50 : 50.
Lagi-lagi kuhela napasku yang berat sembari terus membuka halaman buku yang telah kutandai pita merah, cara pertama kurasa gagal dan tak meninggalkan impress baik baginya.
"Cara kedua untuk menaklukan hati pria dingin adalah memberikan perhatian lebih tetapi tidak berlebihan. Berilah kesan anggun yang tak terlupakan dalam setiap tindakan." Tulis cara yang selanjutnya.
"Beri perhatian lebih yang tidak berlebihan, namun meninggalkan kesan?" Aku mencoba tuk memahami setiap kata yang terangkai. Namun, tiba-tiba…
"Kurasa aku bisa melakukannya. Besok aku akan membuatkannya makan siang, sehingga ia tak perlu lagi membeli makanan di kantin dengan seperti itu ia akan mengagumiku dan mengatakan "Yuan Lin, kau memang calon istri terbaik." Wah, cara ini pasti akan sangat menyenangkan." ujarku pada diri sendiri.
Nampaknya, misi kedua bisa kujalani. Jianghan aku akan membuatmu bertekuk lutut.
Kriiingg..kriingg. alarm jam mulai berdering nyaring kulihat jam sudah menunjuk pukul 5 pagi.
"Masih pagi sekali. Aku masih sangat mengantuk." ujarku yang mulai menarik selimut menutupi wajahku, namun tiba-tiba mataku mulai terbelalak mengingat sesuatu.
"Oh iya, aku harus membuatkan makanan untuk Jianghan." Aku bergegas turun dari kasur nyamanku dan segera menuju dapur. Kulihat beberapa roti kosong masih ada di sana, kurasa roti bakar dengan selai lezat bisa menjadi andalan pagi ini.
"Yuan Lin, apa yang kau lakukan di jam 5 pagi seperti ini?" tanya seseorang yang sontak membuatku kaget dan menjatuhkan sendok ke lantai.
"Ibu, aku ingin membuatkan roti bakar untuk kubawa ke sekolah." jawabku yang mencoba mengambil sendok yang jatuh.
"Roti bakar? Sekolah? Kau ingin membawa bekal makan siang?" tanyanya yang mencoba menghampiriku yang tengah sibuk memanggang roti.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Mengapa kau tak bilang semalam, Ibu bisa membuatkannya untukmu, jadi kau tak perlu repot-repot seperti ini." ucap Ibuku yang terus memperhatikanku yang sibuk sendiri dengan roti bakar.
"Tidak, Bu aku ingin mencoba membuatnya dengan tanganku." Aku tahu, kasih Ibu memang sepanjang mas. Tapi, haruskah aku melibatkan tangan Ibu untuk membuatkan makanan bagi Jianghan? Rasanya malu jika harus berkata jujur.
Pagi itu, aku berhasil memanggang roti. Kurasa ini akan menjadi suatu hal terbaik yang pernah ada. Mengingat Jianghan akan menjadi orang pertama yang mencicipi masakanku. Sebenarnya, menaruh harapan besar sangat tak baik apalagi kita sudah tahu bahwa ekspetasi terkadang tak sesuai dengan realita, tapi apa boleh buat selama itu membuatku senang.
Mentari mulai bersinar dengan terang, burung-burung ikut berkicau dengan riang. Nampaknya, hari ini keajaiban akan segera datang. Aku berdiri tepat di depan ruang kelasku sembari menunggu sosok idaman datang.
Terlihat seorang pria mengenakan jaket hitam, berambut rapi mulai berjalan memasuki ruang kelas.
"Jianghan!" panggilku yang sontak membuat langkahnya terhenti sejenak.
Ia mulai menoleh, "Apa?"
"Ini untukmu." ucapku yang membuatnya hanya menatap sebuah kotak yang kusodorkan.
"Apa itu?" tanyanya yang mulai menunjuk kotak yang kugenggam.
"Sudah terima saja" ucapku dengan meraih tangan Jianghan supaya menerima bekal makanan yang telah kubuat fajar tadi.
"Hari ini aku memasak banyak sekali roti panggang, kurasa kau akan menyukainya karena aku tahu kalau kau sangat suka roti panggang." Terlihat ia mulai mengernyitkan dahinya seakan ia tengah menyidik sesuatu. Apa ada suatu hal yang aneh?
"Tidak, aku tidak mau. Bawa saja makananmu pulang." perintahnya yang mengembalikan kotak makanan itu padaku.
"Tapi, aku membuatnya khusus untukmu." pintaku sekali lagi, "Apa kau yakin tak mau mencicipinya walau hanya sedikit saja?"
"Tidak, aku sudah kenyang. Pagi ini, aku sudah makan banyak."
Kesabaranku hampir habis, terpaksa aku harus mengeluarkan jurusku. kutarik tas ranselnya kuat-kuat hingga membuatnya terhenti sekejap.
"Hei Yuan Lin, apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila, lepaskan!" ujarnya yang bersikeras melarikan diri. Aku mulai nekat, kubuka ranselnya dan kumasukkan kotak makan itu dalam tas bersamaan dengan sebuah surat yang telah kutulis semalam.
"Sampai jumpa, Jianghan!" teriakku yang berlari meninggalkannya.
Kulihat wajah Jianghan begitu kesal karena ulahku, tapi tak apalah yang terpenting sekarang kotak makan itu sudah ada di dalam ransel kesayangannya walau dengan cara yang nekat dan tidak sopan. Lalu, tentang surat? Aku belum menceritakan pada kalian, bukan?
Mengenai surat itu hanya berisi kata-kata indah yang kurangkai agar ia mau memakan makan siang yang telah kubuat, aku juga sangat menaruh harapan besar ia mau membaca apalagi membalasnya.
Jam dinding mulai menunjuk angka sepuluh, bel istirahat mulai berdering nyaring diiringi dengan sorak gembira siswa-siswi yang meminta untuk segera makan siang. Kali ini, aku memiliki misi khusus yang penting bahkan lebih penting dari membantu Ibu di rumah, yap aku akan memata-matai Jianghan.
"Mau pergi ke kantin?" tanya Fen yang mulai berdiri dari kursinya.
"Ada satu hal penting yang harus kuselesaikan sebelum pergi ke kantin."
"Hal penting? Apa yang akan kau lakukan?" tanya Shu In
Aku mulai berbisik menceritakan apa yang telah terjadi pagi tadi pada kedua sahabatku.
"Jadi, kau ingin melihat apakah Jianghan membuka kotak makanmu itu atau tidak, begitu?" bisik lembut Shu In. Aku mengganguk mengiyakan.
"Baiklah, aku ikut menemanimu memata-matainya." ujar Fen dengan mengangkat alisnya ke arahku, begitu juga dengan Shu In yang ikut menyetujuinya. Aku hanya bisa mengacungi jempol kepadanya.
Siang itu, kulihat Jianghan belum datang ke kantin. Kurasa ia masih berada dalam ruangannya. Aku mencoba untuk memata-matainya. Kulihat ia tengah menaruh beberapa buku ke dalam tasnya, dan ia mulai menyadari ada sebuah kotak yang menghalangi bukunya.
"Ia mengeluarkan kotaknya." bisik Fen, aku hanya memberikan aba-aba agar tetap diam dan Fen mulai menutup mulut. Kulihat Jianghan mulai membuka kotak makan itu, ia juga mulai menemukan sebuah surat yang kutulis. Aku mulai menggigit bibirku dengan gelisah.
"Apakah ia akan memakannya?"
"Aku juga tak tahu."
Kulihat Jianghan mulai menyadari keberadaanku, matanya menatap mataku dari pinggir pintu. Ia mulai berjalan ke arah pintu.
"Kurasa ia melihatku." ucapku yang masih mengigit bibirku sembari berharap ia tak segera mempergokiku. Aku sangat bodoh dan ceroboh, bisa-bisa rencanaku gagal.
"Sungguh?" Fen dan Shu In mulai terbelalak sesekali mereka juga ikut menelan ludah. Keringat dingin mulai ikut bercucuran memeriahkan setiap detik ketegangan.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Jianghan dengan penasaran dan heran melihat tiga orang penyusup masuk dalam lingkungan kelasnya. Sial, lagi-lagi ketahuan.
"Tidak, kami sedang.. kami sedang apa ya, Fen?" tanyaku yang mulai melempar pertanyaan pada Fen.
Fen mulai terbelalak kaget sembari terus menyenggol lengan Shu In, "Kami sedang.."
"Mencari cincinku yang hilang." sahut Shu In yang berpura-pura panik dengan cincinnya. Terlihat Jianghan hanya mengerutkan dahinya.
"Kelakuan kalian bertiga memang sedikit aneh." desisnya sembari menuruni setiap anak tangga.
Akhirnya, ia tak menaruh rasa curiga. Tapi, tunggu dulu jika ia pergi menuju kantin, lalu bagaimana dengan kotak makanku? Apa dia tak memakannya atau ia membuangnya?