"Yuan Lin, dari mana saja kau, aku mencarimu?" bentak Shu In dengan melipat kedua lengan di dadanya. Matanya mulai melirik Liao Jin yang berdiri di sebelahku sembari menggelengkan kepalanya kepada Shu In. Tiba-tiba lipatan tangan Shu In mulai turun begitu juga dengan nada bicaranya.
"Lin, apa kau baik-baik saja? Maaf, aku tak bermaksud membentakmu." Aku mulai tersenyum memandang sahabatku yang tengah menatapku.
"Apa yang terjadi, Jin?" tanya Fen. Jin mulai mengangkat bahunya dan mencoba untuk memakan bekal makan siangnya. Aku hanya diam tanpa sepatah kata yang terucap.
"Lin, makanlah. Perutmu akan sakit jika kau tak makan siang." ucap Liao Jin dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. Aku hanya menggelengkan kepalaku seakan aku tengah kehilangan selera makan.
Apakah ini yang dirasakan setiap gadis ketika mereka jatuh cinta? Apakah perasaan ini juga yang selalu dirasakan setiap gadis ketika mereka patah hati dan tersakiti? Aku benar-benar bingung dengan semua hal yang telah terjadi. Menyatakan cinta pada Jianghan, kedengarannya memang hal tepat, tapi sangat rumit tuk dilakukan. Hari ini, banyak air mata yang jatuh hanya karena menangisinya yang jelas ia bukanlah sesiapa pun bagiku.
Hari itu, dua pelajaran kembali kosong. Murid-murid bersorak gembira menyambut informasi akan rapat dadakan yang diselenggarakan. Tanpa basa basi lagi, kuputuskan untuk pergi menuju perpustakaan.
"Lin, ingin pergi kemana?" tanya Fen yang menggenggam lenganku tuk menghalangi pergi.
"Aku ingin ke perpustakaan melihat buku sembari menenangkan hatiku." jawabku
"Mau kutemani?" tawar Fen padaku.
"Tidak perlu, terima kasih Fen atas tawarannya." ujarku dengan bergegas membalikan badan dan pergi meninggalkannya. Fen dan Shu In hanya saling menatap satu sama lain, seakan suatu hal besar telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Kulihat lorong sekolah kembali ramai dengan siswa siswi yang bercengkrama, kantin ikut penuh dan taman sekolah pun dijadikan sebagai tempat untuk berfoto. Kurasa jam kosong ini memberikan sedikit ruang kebebasan bagi jiwa-jiwa yang lelah akan dunia belajar, termasuk dengan diriku. Aku berharap jam seperti ini akan selalu ada dan terjadi setiap hari.
"Yuan Lin, berhenti di sana." pinta seseorang hingga membuat langkahku terhenti. Terdengar suara hentakan kaki mulai menghampiriku, aku mulai menoleh ke belakang. Mataku terbuka lebar menatap sebuah dada bidang yang berdiri menjulang di depan mataku. Napasku lagi-lagi ikut tertahan sebentar melihat sosok putih tinggi menjulang berdiri sembari mengernyitkan dahinya.
"Jianghan? A..apa yang kau lakukan?" tanyaku yang mulai gerogi melihat sosok pria idamanku berdiri tepat di depanku.
"Tak kusangka, ternyata tubuhmu pendek sekali, ya." ledeknya yang mencoba mengukur tinggi tubuhku yang hanya sedadanya. Ya, aku tahu tingginya hampir menginjak 183 cm sedangkan aku hanya 160 cm itupun kurang tiga atau lima inchi.
Aku mulai menyipitkan kedua bola mata sadisku menatapnya dan berusaha menjauh darinya. Namun, suatu hal tak biasa terjadi. Tiba-tiba Jianghan menggenggam lenganku dan menghalangiku untuk pergi.
"Tidak sopan meninggalkan orang yang sedang berbicara padamu." ucapnya yang menghalangi langkahku. Aku mulai menoleh sembari mataku terus menatap tangannya yang menggenggam kuat lenganku dan kembali menatap kesal wajah Jianghan.
"Apa yang kau tak diajari sopan santun ketika berbicara dengan seseorang? Apa begitu juga tatapan orang yang sopan?" tanyanya yang membuatku memutar bola mata malas tuk bicara.
"Lalu, apa yang kau inginkan? Apa tak bisa sekali saja kau tak menggangguku, apa kau tahu setiap menit bahkan detikku selalu terganggu karenamu, Jianghan. Aku lelah jika harus seperti ini padamu." keluhku kali ini sembari mengusap dahiku seakan sudah tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Perlahan-lahan genggaman Jianghan mulai terlepas dari lenganku.
"Baiklah, katakan apa yang ingin kau katakan. Aku akan mendengarkannya." jawab Jianghan yang mulai menatapku.
Aku kembali menghela napas panjangku, "Apa yang harus kukatakan padamu? Aku tak bisa mengatakannya."
"Baiklah, jika kau tak mau mengatakan apa pun padaku. Biarkan aku yang bertanya padamu." Ucapannya kali ini membuat kepalaku menengadah tinggi, bertanya? Bertanya tentang apa.
"Mengapa kau menangis di taman?" tanyanya yang membuat kedua bola mataku terbelalak kaget.
"B-bagaimana bisa kau tahu?"
"Lalu, apa yang kau lakukan dengan Liao Jin hingga kau memeluknya?" tambahnya yang membuatku berdiri tegang.
"B-bagaimana bisa kau tahu hal itu?"
Jianghan mulai menyeringaikan bibirnya dan menarik lenganku untuk duduk di sebuah kursi yang tersedia di sekitar halaman sekolah. Nampaknya, ia ingin tahu semua hal yang telah terjadi menimpaku hari ini.
"Katakan padaku, apa masalahmu hingga membuatmu menangis cengeng di taman sekolah dan tak makan siang di kantin?" tanyanya sekali lagi guna meminta kepastian atas semua pertanyaannya.
"Dari mana kau tahu? Apa kau mengikutiku?" dugaku dengan jantung yang berdegup kencang.
"Tidak, untuk apa aku mengikutimu hanya saja suara tangismu itu sangat keras siapa pun pasti bisa mendengarnya. Lain kali, menangis lah dengan elegan tak meraung-raung seperti itu. Kau tahu, suaramu itu bak seekor harimau lapar." elak Jianghan yang mulai memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Harimau lapar?" sidikku sembari memulai meninju lengannya.
"Apa yang kau lakukan? Mengapa kau memukulku?" tanyanya yang meringis kesakitan sembari mengusap lengannya.
"Apa kau tidak bisa bicara dengan nada yang lebih baik? Apa kau tak punya tata krama tuk bicara dengan seorang wanita?" tegurku dengan keras sembari menatapnya dengan bingas.
Jianghan mulai mengernyitkan dahinya dengan heran, "Apa?! kau seorang wanita? Apa aku tak salah dengar. Apa seorang wanita juga bisa melempar batu dengan keras hingga membuat kepala seseorang memerah? Lalu, apa seorang wanita juga bisa memukul dengan keras seperti kau memukulku? Wanita itu sangat lemah lembut, sedangkan kau…"
"Sedangkan aku, apa? Kau ingin bicara apa?" tantangku dengan melipat kedua lenganku dan mengangkat alis seramku.
"Kau.. Kau hanyalah anak kecil yang baru saja menginjak usia 12 tahun, emosinya masih sangat labil dan menjengkelkan." jawabnya yang mulai meledekku. Aku mulai memukulnya lagi, terlihat Jianghan mulai meminta ampun dengan menyentuh lengannya.
"Aku sudah tak ingin berbicara denganmu, kau itu pria yang menyebalkan bahkan lebih menyebalkan dari seekor kutu!" bentakku yang mulai bangkit dari tempat dudukku dan melangkah pergi meninggalkannya. Jianghan hanya tersenyum kecil melihat tingkahku.
"Enak saja, dia mengataiku seperti itu. Ibu dan Ayahku saja berkata bahwa aku ini gadis yang cantik dan lemah lembut." gumamku dengan membenahi rambutku, karena kesal aku tak memperhatikan jalan dan menabrak seseorang yang tengah membawa beberapa tumpukan buku. Buku kembali berserakan.
"Maaf, maafkan aku aku tak sengaja." ucapku dengan membungkukkan tubuhku.
Terdengar seseorang mulai tertawa geli, "Yuan Lin, ini kedua kalinya kita saling bertabrakan."
"Astaga, Lian maafkan aku." Wajahku mulai memerah bak tomat kala itu, rasanya malu sekali mengapa setiap bertemu dengan Lian aku selalu menabraknya. Kali ini, pasti dia akan berpikir bahwa aku adalah gadis yang ceroboh dan tak pernah menggunakan mata dengan baik.
"Kau dari mana dan akan kemana, mengapa jalan terburu-buru dan terlihat kesal seperti itu?" tanyanya sembari merapikan buku yang jatuh berserakan.
"Dari halaman dan ingin pergi ke perpustakaan. Kau tahu, tadi aku bertemu dengan seekor anjing yang sangat menyebalkan bahkan dia selalu menggonggong setiap saat. Aku sampai kesal mendengarnya." jawabku yang ikut membantu merapikan buku.
"Anjing? Apa benar di sekolah ini ada seekor anjing?" tanyanya dengan rasa penasaran yang tinggi.
"Iya, jika kau tahu pasti kau juga akan kesal melihatnya." tambahku dengan melempar senyum manis namun sedikit mengerikan padanya.
"Tapi, aku tak pernah bertemu dengannya." ujar Lian yang masih penasaran dengan sosok anjing yang kubicarakan.
"Ya, mungkin karena kau kurang beruntung saja. Makanya, kau tak bisa bertemu dengan anjing itu."
Lian mulai mengangguk paham, "Kau ingin ke perpustakaan, bukan?"
Aku mengangguk mengiyakan dan mencoba berjalan beriringan dengan Lian.
"Kalau begitu, kita pergi bersama saja. Sudah lama kita tak saling bicara." tambah Lian yang membuatku setuju dengan perkataannya.
Suasana damai menyelimuti seluruh ruang, hembusan AC membuat semakin teduh menusuk relung jiwa, buku-buku yang tertata rapi menjadi pemandangan indah di sepanjang mata memandang. Terlihat beberapa siswa-siswi tengah duduk dan memilah buku bacaan. Sungguh menyenangkan bisa datang kemari, walau tak sesering Lian.
"Kau ingin mencari buku bacaan apa, Lin?" tanyanya yang ikut memilih sebuah buku di rak yang sama denganku.
"Entahlah, mungkin sastra. Aku sangat suka denga beberapa bacaan di buku itu."
"Kau menyukai dunia sastra?" tanya Lian yang nampaknya terkejut mendengar ucapanku. Aku mengangguk mengiyakan dan ikut memandang wajahnya.
"Wow! Itu sangat keren."
"Ya, aku sangat suka menulis dan melukis. Kau tahu, dua hal itu selalu membuatku tenang."
"Luar biasa, kau harus mengembangkan potensimu itu, Lin. Siapa tahu kelak kau bisa menjadi sosok penulis atau pelukis ternama yang bisa memberikan inspirasi setiap orang yang membaca dan melihatnya."
"Semoga saja, Lian. Aku juga sangat ingin menjadi sosok yang berguna walaupun otakku tak secemerlang dirimu dan teman-teman lainnya."
"Ah, jangan begitu, kau juga luar biasa. Setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, kau dan aku juga memiliki bakat yang berbeda. Kata Ibuku, tak selamanya kecerdasan akademik membuatmu hebat, banyak orang diluar sana yang menjadi hebat hanya dengan keteguhan hati dan semangatnya dalam menggeluti dunia yang sesuai dengan minatnya dan kau pasti bisa melakukan itu."
"Benarkah?"
Lian mulai mengangguk, "Tenang, doaku akan menyertaimu. Tuhan pasti akan mengabulkan segala permintaan hamba-Nya terlebih jika hamba-Nya mau berusaha dan punya sikap baik sepertimu." tambah Lian yang membuatku tersenyum sumringah dengan harapan semoga Tuhan juga ikut mendengar segala permintaanku dan mengabulkan semua keinginanku.
Tiba-tiba suatu hal mulai terjadi. Beberapa gadis mulai menghampiriku dan Lian yang tengah duduk menikmati buku bacaan.
"Apa yang kau lakukan di sini, gadis usang?" tanyanya dengan perkataan yang sombong dan tak sopan.
"Bukankah tempat ini tidak cocok bagi gadis kumuh asal kelas terbawah, kelas F?" tambahnya yang kali ini membuat Lian ikut melirik tajam seakan tak terima dengan segala ucapan segerombolan gadis yang tiba-tiba saja menghinaku. Aku hanya tertunduk menatap buku.