Jika aku mengatakan semuanya padamu, akankah kau mau mendengarkanku? Mendengarkan curahan hati seorang gadis biasa yang menyimpan sejuta rasa luar biasa pada sosok pangeran pujaan hatinya. Kurasa memang benar bahwa surat cinta adalah jalan paling efektif dalam mengutarakan perasaan yang terdalam. Tapi, apakah ini takkan mengganggumu?
Siang itu, ketika jam istirahat tiba. Aku mulai berjalan menyusuri taman belakang sekolah. Tempat yang sunyi dan cocok tuk menenangkan diri. Haruskah aku mengungkapkan segalanya, tapi aku tak memiliki cukup keberanian tuk menatap matamu dan mengatakan segala yang tersembunyi dalam hatiku.
"Apakah semua cinta itu rumit, tak bisakah kau juga dengan mudah mencintaiku sama seperti aku mencintaimu? Ah, nampaknya sia-sia saja jika aku terus mengatakan hal seperti ini, berharap tanpa adanya usaha." gumamku dalam hati sembari menyandarkan tubuhku pada kursi panjang yang tersedia di sana rasanya sangat putus asa merasakan perasaan yang semakin lama semakin menggelora di dada.
Tiba-tiba seseorang datang dari belakangku dan menyodorkan sekaleng minuman dingin.
"Cuaca hari ini sangat panas, seharusnya kau tak melupakan air minummu." ucap salah seorang yang menyodorkan minuman padaku dengan suara serak khas miliknya. Aku mulai menoleh ke arahnya.
"Liao Jin?" terkejut aku melihat sosok pria gagah yang menutupi sinar matahari untukku, dia adalah Liao Jin, teman satu kelasku.
"Apa yang kau lakukan di sini, Lin?" tanyanya yang mulai duduk di sampingku dan membantu membukakan kaleng minumanku.
"Aku hanya ingin merefresh otak dan pikiranku saja, lalu ada apa kau kemari, Jin?"
"Karena kau. Hatimu lah yang memanggilku kemari." jawab Jin yang sontak membuatku terperangah kaget.
Aku mencoba menyenggol lengannya, "Kau ini, selalu saja menggodaku."
Terlihat senyum manis terhias di bibir Liao Jin. Baru kali ini aku bisa melihat gelak tawa dan senyuman tulus seorang pria selain Ayahku. Liao Jin, dia pria yang baik dan selalu perhatian denganku, tapi aku selalu mengacuhkannya. Maaf, selalu membuatmu tersakiti, Jin.
"Hey, Lin mengapa kau diam? Apa kau tak suka rasa minumannya? Biar kubelikan yang baru, ya." ucap Jin yang bergegas berdiri dari kursinya.
Aku mencoba menahan lengan Jin agar tak pergi, "Tidak, aku menyukainya."
"Liao Jin, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" tanyaku yang mencoba memandang wajah samping Jin yang tengah menenggak minuman.
"Tanya lah sesukamu, jika aku tahu, pasti akan kujawab."
"Jika kau mencintai seseorang, tapi seseorang itu tak peduli denganmu. Apa yang akan kau lakukan?"
Terlihat Liao Jin mulai menghela napasnya seakan mengeluarkan segala beban yang ada di dadanya.
"Aku tak mempermasalahkan bagaimana orang itu memperlakukanku, ia mau mengacuhkanku, memakiku atau bahkan membenciku aku tak peduli. Selama ia baik-baik saja, aku juga akan merasa baik-baik saja." jawab Liao Jin dengan mata yang penuh ketulusan.
Hatiku kembali merasakan suatu hal yang aneh ketika mendengar jawaban Liao Jin. Sesak, gemetar, takut dan pilu bercampur menjadi satu. Sulit tergambarkan, bahkan aku mencoba tuk menahan derai air mata yang hampir saja jatuh menetes di pipiku.
"Kau tahu, hidup di dunia ini tak selamanya berjalan mulus apalagi masalah percintaan. Berjodoh atau tidaknya nanti, biar Tuhan lah yang menentukan. Bukankah kita sudah memiliki pasangan sejati semenjak kita masih dalam rahim Ibu? Jadi, untuk apa kau bersedih jika kelak akan dipertemukan dengan sosok yang lebih baik. Bahkan jika suatu saat nanti, jika aku tak bisa hidup bersama dengan kekasih impianku, aku tak mempermasalahkannya, asalkan ia hidup bahagia aku juga akan bahagia. Aku yakin, pasti Tuhan punya jalan tersendiri untukku atau bahkan ia memiliki calon pengantin yang lebih baik untukku." tambahnya lagi, kali ini ucapan Liao Jin membuatku semakin terenyuh.
Aku mulai menundukan kepala dan memandang sepatuku sembari terus menahan air mata yang hampir menetes jatuh membasahi pipi. Rasanya seperti ada yang menusuk dalam kalbuku dan rasanya sakit sekali.
"Ada apa kau bertanya demikian? Apa ada suatu hal yang terjadi?" tanyanya yang mulai menoleh ke arahku yang tengah menunduk mengusap air mata.
"Lin, ada apa? Mengapa kau menangis? Siapa yang menyakitimu? Katakan padaku." Liao Jin berusaha menatapku yang masih sibuk mengusap butiran air yang jatuh. Aku mulai menggelengkan kepalaku dan menutupi semua perasaan sesak yang mulai memenuhi dadaku.
Tiba-tiba sebuah rangkulan hangat mulai terasa mendekap tubuhku, tangan Liao Jin mulai mengalung erat di pinggulku dan mencoba menenangkan hatiku. Ia juga mulai mengikhlaskan tubuhnya untuk kubersandar sembari tangannya yang terus mengelus halus rambutku.
"Hatiku sakit, Jin. Sakit sekali." ujarku yang mencoba mengeluarkan semua perasaan mengganjal dalam hati. Aku menangis dalam dekapannya.
"Jangan lah menangis, ada aku di sini. Aku takkan pernah meninggalkanmu." bisik lembut Liao Jin diiringi dengan belaian halus menyentuh dan menyekat rambutku. Aku masih meraung-raung meratapi kisah cintaku. Mungkin benar, orang yang tengah dilanda asmara otak dan logikanya menjadi tak sehat, sama seperti yang kualami saat ini.
Liao Jin makin memeluk erat tubuhku hingga membuatku merasa aman dan nyaman dalam dekapannya. Semakin lama aku semakin terhanyut dalam pelukannya. Bajunya basah dengan air mataku, aku benar-benar menjadi beban dan selalu menyusahkan hidupnya.
"Maaf, aku meminjam bahumu untuk kubersandar."
"Apa yang kau bicarakan, Lin? Apapun yang kau butuhkan, aku akan berusaha keras untuk memenuhinya. Kau tahu, kau segalanya bagiku. Bahuku tak ada apa-apanya, bahkan jika kau meminta separuh ginjalku, aku pasti memberinya dengan cuma-cuma." ucapnya yang membuatku semakin salah tingkah mendengarnya.
"Mengapa kau selalu menggodaku seperti itu, Jin?" ujarku yang memukul lengannya dengan mata yang masih sebam sebab menangis.
"Lihatlah, keceriaan sang putri sudah kembali." ledeknya yang merasa lega karena melihat senyuman manisku yang telah kembali. Aku hanya menutupi wajahku karena malu, berkali-kali ia selalu menggodaku dengan kata-kata buaya-nya.
Memang benar kata orang bahwa sahabat itu lebih indah dari seorang kekasih. Aku jadi paham banyak makna hari ini, di mana tak semua kebahagian bersumber pada hubungan atau jalinan percintaan atau bahkan memiliki kekasih sesuai harapan tetapi kebahagiaan juga bisa datang kapanpun dan dimanapun kita berada. Bahkan kurasa kebahagiaan juga bisa muncul ketika kita dikelilingi oleh orang-orang yang baik dan perhatian.
Kebahagiaan datang dari diri kita sendiri, bukan dari orang lain. Bahkan kadar kebahagiaan seseorang itu berbeda-beda, ada yang bahagia ketika mendapat nilai seratus, bahagia ketika tak mendapatkan banyak tugas, bahagia ketika mendapat suatu hadiah bahkan bahagia ketika memakan makanan yang enak. Bahagia memang sederhana. Maka dari itu, kita harus menjaga kebahagiaan orang lain dan selalu mensyukuri apapun yang kita miliki, itulah kunci utama dari kebahagiaan hidup yang hakiki.
Sepertinya, aku banyak bicara hari ini, lihatlah aku seperti seorang penceramah handal jika sudah berbicara seperti ini. Tapi, ya sudahlah. Apa yang dikatakan oleh Liao Jin itu benar bahwa setiap orang sudah memiliki pasangan hidup masing-masing ketika mereka masih di dalam kandungan, jadi untuk apa aku bersedih mengemis cinta yang belum tentu menjadi milikku. Akhirnya, aku bisa bernapas dengan lega tanpa adanya beban yang menumpuk dan menyesakan dada.
Hari itu, di bawah langit siang yang biru dan disaksikan langsung oleh sang surya dan taman sekolah ada kisah yang tak mungkin bisa kuungkapkan. Liao Jin mencoba menghapus air mataku dan ia datang bagaikan sebuah pelangi yang datang setelah hujan.