Beberapa hari kemudian, Allan dan Sabilla telah pindah ke rumah mereka. Rumah yang besarnya hampir dua kali lipat dari rumah Andra itu tampak seperti istana bagi Allan. Di dalamnya, berbagai furniture mewah menghiasi setiap sudut ruangan.
Sudah hampir pukul tujuh pagi, Allan masih berada di atas ranjangnya. Separuh tubuhnya tersembunyi di balik selimut berwarna abu-abu muda, sementara bagian atasnya tanpa memakai busana. Sinar matahari yang menembus kaca jendela kamarnya membuat Allan terbangun. Lelaki itu menggerakkan tangannya mencoba menggapai Sabilla tetapi, wanita itu sudah tidak ada di sisinya.
Allan bangkit dari tidurnya, mencoba duduk dan meregangkan badannya. Allan mengedarkan matanya, mencari celana pendek yang semalam di kenakannya. Allan mencoba meraih celananya yang tersangkut di pinggir ranjang dan memakainya tanpa memakai baju. Lelaki itu melangkah keluar kamar dengan malas, untuk mencari keberadaan Sabilla.
Allan mencium wangi masakan. Aroma masakan itu sangat mirip dengan harum dapur mamanya. Perpaduan bawang dan bumbu yang di goreng dalam minyak panas membuat Allan merasa lapar. Lelaki itu yakin, Sabilla ada di dapur.
Allan bersandar di sisi pintu, dia menyilangkan kedua tangannya di dada. Lelaki itu terpana, menatap Sabilla yang tengah bergulat dengan Alat masaknya. Wanita itu memakai tanktop berwarna merah jambu dan celana hotpants putih dengan ukuran sangat pendek, hingga pahanya terpampang jelas. Di bagian depannya, Sabilla mengenakan apron merah yang sedikit kekecilan. Daripada makanannya, Allan lebih tertarik melihat tukang masaknya.
"Jangan hanya berdiri, ayo kita masak berdua, Sayang." Sabilla yang menyadari kehadiran Allan segera meminta lelaki itu untuk bergabung. Lelaki berkulit putih itu tersenyum dan melangkah mendekat.
Allan menempatkan dirinya di belakang Sabilla. Melingkarkan tangannya di perut wanitanya yang rata. Allan meletakkan dagunya di atas pundak Sabilla. Wangi parfum stroberri tercium di tengkuk wanita itu. Benar-benar memancing hasrat Allan di pagi hari.
"Kamu sudah mandi, Sayang? Hmm?" kata Allan pelan, udara hangat dari mulut lelaki itu mengenai telinganya, membuat Sabilla merinding.
"Tentu saja aku sudah mandi. Lihatlah bajuku, aku sudah mengganti baju tidurku." sahut Sabilla sambil terus mengaduk masakannya.
"Ini yang kamu sebut baju? Aku tidak pernah rela kamu keluar rumah berpakaian ssperti ini, Billa. Kamu terlalu menggoda, aku tidak ingin semua mata memandangmu dengan tatapan ingin menerkam." Allan berkata sambil mengendus pipi istrinya.
"Berhentilah mengendus seperti kucing, Sayang. Itu sangat geli." protes Sabilla, wanita itu memasukkan sayur pada wadah yang telah di siapkannya setelah mematikan kompor.
"Bilang saja kalau kamu menyukainya, jangan berpura-pura." Allan menarik lepas tali apron Sabilla, sekaligus meloloskannya dari leher wanita itu.
Allan menggendong Sabilla, menaikkannya ke meja makan dengan posisi menghadapnya lalu dengan segera, lelaki itu menikmati bibir lembut Sabilla yang telah di poles dengan lipgloss beraroma cerry.
"Pagi-bagi sudah nakal. Pergi mandi, terus kita sarapan bersama." Sabilla mengecup kening Allan sekilas, lalu berusaha turun dari meja.
"Mau kemana? Aku belum mengizinkanmu untuk turun." Allan menahan Sabilla. Lelaki itu mengendus leher istrinya, menjelajah kesana-kemari lalu meninggalkan beberapa noda merah di pangkal dadanya. Lelaki itu tersenyum puas saat mengamati tanda kepemilikannya.
Sabilla yang telah terbawa suasana sedikit krcewa karena Allan menghentikan kegiatannya. Wanita itu merengkuh kepala Allan dan menghadiahkan gigitan kecil di bibir suaminya.
"Sudah sana mandi, sebelum aku berubah pikiran." bisik Sabilla. Allan tersenyum sekilas seraya menatap tajam Sabilla dengan tatapan elangnya.
"Kalau kamu berubah pikiran, kamu mau apakan aku? Ayo lakukan...," tantang Allan. Sabilla tampak menciut.
"A-aku cuma bercanda. Sudahlah, cepat mandi Allan." perintahnya sekali lagi. Allan menunduk, pria itu tertawa kecil menyadari kegugupan Sabilla.
"Baiklah, aku mandi, manisku. Jangan lupa, siapkan sarapan spesial untukku." bisiknya sebelum pergi.
Setelah Allan menyingkir dari hadapannya, Sabilla turun dari meja makan. Dia merapikan bajunya yang sedikit berantakan.
"Ternyata Allan kalau sudah bucin sangat menggemaskan. Aku harus segera menyiapkan sarapan untuknya. Setelah itu, menyiapkannya pakaian." Sabilla membereskan kekacauan di dapur dan menata rapi semua hasil masakannya di meja. Semuanya telah siap, wanita itu melangkah menuji ke kamarnya untuk menyiapkan baju untuk di pakai oleh Allan.
Di dalam kamar mandi, Allan menikmati setiap guyuran air yang menimpa dirinya. Menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. titik-titik air menempel di tubuh lelaki itu setelah shower di matikan. Allan menatap cermin di hadapannya, segala kemewahan yang mengelilinginya terasa kurang tanpa sentuhan ibunya. Allan sangat merindukan Sila. Bagaimana keadaan ibunya, apakah sehat, atu sakit, semuanya hanya muncul di benak Allan tanpa penjelasan.
Allan segera mengambil handuk yang tersedia di belakangnya. Menggunakan benda itu untuk melilit tubuh bagian bawahnya. Dia sedikit terkejut, ternyata Sabilla juga ada di kamar. Tengah duduk manis di samping baju yang di siapkan untuknya, dengan kaki di silangkan, badan melengkung ke belakang, dan kedua tangan sebagai tumpuan. Pose Sabilla membuat aset pribadi Allan menegang.
"Terus saja menggodaku, kalau kesabaranku habis, aku tidak akan memakan makanan yang ada di meja, sebagai gantinya, kamu yang akn ku makan di atas ranjang ini." gumam Allan sambil memakai satu per satu pakaian di hadapan Sabilla. Wanita itu hanya tersenyum genit dan mengedipkan matanya beberapa kali, seoolah tidak peduli dengan ancaman Allan.
"Aku senang menggodamu Allan. Reaksimu sangat imut, seperti bayi kucing. Sangat menggemaskan." Sabilla beranjak dari posisinya semula. Mendekat dan membantu Allan mengancingkan bajunya.
"Billa, tatap mataku." perintah Allan tiba-tiba, Sabilla mengikuti permintaan lelaki itu.
"Ada apa?" tanya Sabilla dengan wajah polos.
"I Love You. aku mencintaimu, Sabilla. Sejak bersamamu, segala tentangku berubah. Termasuk perasaanku padamu, berubah semakin sayang." katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Allan! Kamu gemesin banget, Sih. Kalau begini bagaimana aku bisa mengabaikanmu." Sabilla mencubit kedua pipi Allan dan berakhir dengan saling tatap.
"Aku juga sangat mencintaimu, Allan. Sejak pertama kali melihatmu, tidak ada yang lebih menarik di bandingkan sosok Allandra Wijaya. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku, Sayang." bisiknya tak kalah mesra.
Ponsel Allan berbunyi. Membuat kemesraan mereka terjeda. Lelaki itu melihat nama ayahnya terpampang di layar ponsel. Allan meminta izin untuk mengangkat telepon sebentar. Dia duduk di sofa dan mulai berbicara dengan Andra.
"Hallo, Ayah. Apa kabar?" tanyanya basa basi.
"Kabar ayah sedang sangat baik, Allan. Ayah menelponmu untuk membicarakan sesuatu yang penting." nada bicara Andra terdengar sangat serius. Allan sedikit was-was, mengapa ayahnya menelpon dengan nada bicara tidak seperti biasanya. Apa yang akan di bicarakan oleh Allan?
"Apa yang ingin ayah bicarakan? Aku sudah sangat siap mendengarkannya." Allan kali ini sangat bersemangat. Hingga Andra merasa sedikit aneh, mengapa tiba-tiba Allan sangat bersemangat.