"Permisi."
"Ya nona?"
"Apa keluarga yang berada di ruang 503 sudah pindah?"
"Oh sudah nona, baru beberapa menit yang lalu. Mau saya antarkan?"
"Tidak perlu, terimakasih."
"Sama-sama nona."
Setelah menanyakan keberadaan keluarganya, CL segera menuju ruangan baru keluarganya di rumah sakit.
Walaupun mungkin ibunya hanya sakit ringan dan bisa sembuh hari ini atau besok, tapi, dia tetap ingin memberikan yang terbaik untuk orang tuanya, terutama ibunya. Jadi, walaupun banyak uang jajannya yang habis karena memesan ruang VVIP untuk ibunya, dia tidak merasa keberatan. Lagi pula ruangan itu bisa menampung dua pasien sekaligus, jadi, bisa digunakan untuk tempat proses penyembuhan LJ.
Omong-omong tentang LJ. Dia sudah melewati masa kritisnya walaupun masih belum sadarkan diri.
Dari posisinya saat ini, CL bisa melihat beberapa perawat sedang membawa pasien lengkap dengan peralatan medis satu jalur dengannya. Ternyata mereka masuk ke ruangan miliknya.
'Itu LJ kah? Kalo bukan siapa lagi dong?', monolognya diakhiri tawanya.
Masa bodoh, CL melanjutkan langkahnya. Dia ingin segera sampai.
Benar saja, pasien yang dibawa oleh beberapa perawat tadi adalah LJ. Orang tua serta Keluarga Frankie yang tadinya memfokuskan diri pada LJ yang baru saja datang menolehkan kepala dan menatap kehadiran CL.
"Kenapa?", tanyanya saat semua orang menatap ke arahnya. Dia hanya menggaruk pelipisnya dan tersenyum canggung. Apa ada yang salah dengannya?
Alex mendekati CL dengan muka datarnya.
"Dari mana lo?"
"Gua?", Alex mengangguk.
"Gua abis bayar administrasi kok.", ucapnya sambil mengerlingkan matanya ke keempat orang dewasa yang juga menatapnya.
"Kok lama?"
"Ya emang proses administrasi cepet heh!?"
"Tapi kok gua ga liat lu di meja resepsionis?"
"Euumm…"
Duh kok dia segala nengok ke meja resepsionis segala - Batin CL.
"Woi.", jentikan jari Alex membuat CL kembali ke alam sadarnya.
"Eh, itu.. gua ke toilet dulu. Nabung disana."
Alex mendekatkan wajahnya ke wajah CL dengan tatapan menelisiknya. CL kaget dengan yang dilakukan Alex.
"Ih mesum!", CL mendorong kepala Alex dengan keras sampai anak laki-laki yang didorongnya hampir terjungkal.
"Dasar cowok!", kesalnya.
Tidak, CL sebenarnya tidak kesal tapi dia hanya menghindar. Dari pada berurusan dengan Alex, dia lebih memilih untuk menghampiri kedua orang tuanya.
"Gimana keadaan mama?", tanyanya pada sang ibu.
"Mama udah ngerasa lebih baik, Lee."
"Syukur kalo begitu."
CL bersandar di bagian kaki kasur ibunya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dia ikut memperhatikan para perawat yang masih sibuk merapikan alat medis yang digunakan LJ.
"Apa yang kau bawa di tanganmu?", CL menolehkan kepala ke arah Mr. Joel lalu ke arah tangannya.
"Oh ini. Ini hanya tagihan biaya administrasi."
"Ini, Pa. Simpen.", sambungnya menyuruh Mr. Graham untuk menyimpan beberapa lembar kertas yang di genggamnya sedari tadi.
Bukannya menyimpan, Mr. Graham malah membuka lipatan kertas yang diberikan putrinya. Dia hanya sekedar ingin melihat uang jajan yang telah dikeluarkan putrinya. Matanya sedikit membesar saat melihat nominal pembayaran yang dilakukan oleh CL. Tidak, dia tidak mempermasalahkan jumlah uangnya tapi yang menjadi masalah adalah uang jajan putrinya yang digunakan.
"Lee, apa ini uang jajan mu semua?", tanya Mr. Graham.
"Iya, ada apa?"
"Apa sisanya masih banyak? Apa kau ingin Papa kirimkan uang sebagai ganti ini."
"Tidak, Pa. Lagian uang aku juga kan uang Papa sama Mama, buat apa diganti?"
"Tapi nanti jika kau ingin jajan?"
"Pa, papa selalu kasih uang jajan ke aku dalam nominal yang gede trus aku juga kan dapet penghasilan sendiri. Jadi, masih banyak simpenan aku."
"Ta-"
"Pa, cukup deh. Kan aku bilang, uang itu juga aku dapetnya dari Papa.", CL mengalihkan kepalanya lagi ke depan.
Mr. Graham hanya terdiam dan menghelakan napas, menggelengkan kepala lalu melipat kembali kertas yang berada di genggamannya.
"Dasar keras kepala.", lirihnya.
Mrs. Lee mendengar perkataan suaminya mengerutkan dahi dengan mimic wajah seolah-olah tidak terima.
"Bukankah sekarang dia mirip dengan mu eyy?", ledeknya.
Kini malah Mr. Graham yang mengerutkan dahi tidak terima.
"Maksudmu?"
"Iya, keras kepalanya sama denganmu."
"Tidak, dia lebih mirip denganmu."
"Eyy, mengaku saja."
"Tidak, tidak. Dia lebih mirip denganmu."
"Sudahlah mengaku saja."
"Ya ya ya terserah dirimu saja."
Keduanya berakhir dengan tawaan.
"Baik nyonya, tuan, nona. Kami sudah selesai dan sekarang kami ingin pamit undur diri."
"Oh ya, terimakasih."
"Sama-sama."
Perawat perawat yang memasangkan alat medis pada LJ pergi meninggalkan ruangan, menyisakan kedua keluarga yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali itu.
Hening. Semuanya kini menatap LJ yang masih nyaman menutup matanya. Walaupun anak perempuan itu sudah melewati masa kritisnya tapi masih dibutuhkan waktu untuk dia siuman.
"Apa kalian tidak ingin membersihkan diri atau sekedar mengganti pakaian?", tanya Mr. Joel memecah keheningan.
Semuanya kebingungan dan melemparkan tatapan penuh pertanyaan kepada Mr. Joel.
"Ya, kalian semua mungkin kecuali Mrs. Lee."
Berkat perkataan Mr. Joel, CL dan Mr. Graham melihat tubuhnya sendiri. Benar juga, Tubuh mereka masih ada noda darah LJ karena semalam keduanya berdempetan dengan tubuh LJ. Dan kini darah tersebut sudah berubah warna menjadi cokelat.
"Yaudah aku aja yang pulang, nanti aku bawain pakaian ganti sama perlengkapan mandi buat kalian.", tawar CL.
"Gua ikut.", susul Alex.
"Fine, up to you."
CL kembali meminta kunci mobil kepada ayahnya. Dan keduanya pergi untuk kedua kalinya dari rumah sakit.
Pertama-tama kedua anak tersebut pergi ke rumah CL karena Alex membiarkan anak perempuan itu untuk membersihkan badan terlebih dahulu.
"Lo kalo mau mandi juga ga apa-apa.", ucap CL.
"Baju ganti?"
"Lo lupa baju gua?"
"Underware?"
"Ntar gua cariin punya Papa, siapa tau ada yang udah kecil.", CL dan Alex tertawa bersamaan.
"Yaudah deh gua juga mandi. Ga enak kalo ga mandi pagi-pagi."
"Oke, minta aja yang lo butuhin buat mandi ke maid. Gua mau nyari underware buat lu dulu.", Alex mengangguk paham.
CL meninggalkan Alex di ruang tamu dan menuju kamar kedua orang tuanya di lantai dua. Dia masuk ke kamar kedua orang tuanya dan masuk ke walk in closet di ruangan tersebut.
Saat menyalakan lampu di walk in closet tersebut tangannya langsung melindungi matanya.
"Anjir silau banget!"
Ya, dia kesilauan karena lampu disana lumayan terang dan warna pakaian ibunya yang didominasi oleh warna cerah membuat matanya sakit seketika.
"Bagian baju Papa dimana deh? ini mah baju mama semua."
Sampai di ujung walk in closet tersebut, CL melihat pintu lagi. Dahinya mengerut karena kebingungan. Karena penasaran dia membukanya dan metanya membelak seketika.
"Ya ampun, sangking banyaknya baju mama, buat baju papa sampe disiapin ruangan lain."
Dibalik pintu tersebut ternyata masih ada ruang walk in closet lagi, walaupun tidak sebesar yang pertama.
"Trus bagian underware dimana?"
Tanpa berpikir panjang, CL membuka satu persatu laci yang berada disana.
"Astaga, bisa bisanya gua pusing di rumah sendiri."
Akhirnya dia menemukan laci yang menyimpan underware ayahnya. Dia menepuk jidatnya saat melihat susunan didalam laci tersebut. Ya walaupun warnanya tidak berbeda jauh, tapi dia tidak tau urutan ukuran disana.
Dengan hati-hati dia membuka satu persatu isi yang terdapat didalam laci yang ia buka. Terkesan tidak sopan, tapi kalau dia tidak melakukannya, Alex akan memakai pakaian tanpa underware.
"Finally."
Setelah beberapa menit akhirnya dia menemukan ukuran yang kemungkinan besar pas untuk Alex.
"Au ah stress gua."
CL keluar dari ruangan tersebut sambil memijat pelipisnya. Dia tidak tahu bahwa walk in closet milik kedua orang tuanya serumit ini.
"Lama amat lo!"
"E ANJIR GOBLOK!"
Baru saja ia menutup pintu kamar orang tuanya, suara Alex mengejutkannya. Underware yang di genggamnya hampir terlempar.
"Ish kebiasaan lo mah.", kesalnya.
"Lah kenapa?"
"Ngagetin mulu. Nih ambil, cepet mandi sana ah!"
"Hmm, thanks."