"Nan. Gue mau loe cerita terbuka sama gue. Kalau loe emang percaya sama gue. Gue bakal bantu loe."
Putra kembali meluruskan tubuhnya. Ia ingin meyakinkan Kinan, agar memercayakan semua pada dirinya. Pemuda itu takkan bisa berbuat apa-apa jika tak tahu menahu tentang kehidupan Kinan yang sebenarnya. Meskipun, sebagian tirai kehidupan Kinan sudah ia singkap.
Kinan tampak bimbang. Ia takut, jika Putra tahu semuanya, pemuda ini akan pergi dari sisinya.
"Loe nggak akan bisa terima semuanya, Tra."
"Kenapa?"
"Karena gue…"
Kinan tak melanjutkan, ia gelisah dan benar-benar tak ingin Putra tahu semuanya.
"Semua orang punya hak untuk berubah Nan. Termasuk loe, seburuk apa pun…"
"Seburuk apa pun…?"
Kinan memotong ucapan Putra. Ia menatap pemuda itu lekat. Benarkah jika seburuk apa pun hidupnya, ia masih berhak untuk berubah dan diterima.
Putra sempat terkejut, dan kemudian mengangguk. "Ya, seburuk apa pun."
Kinan menghela nafas. "Gue butuh udara segar."
Putra mengernyitkan dahi, kemudian tersenyum. Ia mengerti Kinan ingin keluar. Di rumah ini mungkin terasa menyesakkan baginya.
"Oke… gue tunggu di luar."
Putra lalu beranjak dan memilih menunggu di mobil. Ia pun juga merasa tak nyaman berada di dalam rumah itu.
Kinan hanya mengangguk, kemudian menuju kamar dan mandi.
Beberapa menit kemudian. Gadis itu keluar dan masuk ke dalam mobil. Penampilannya sangat jauh berbeda. Ia layaknya seperti gadis biasa, natural. Tanpa polesan make up tebal. Semuanya alami. Hanya bibirnya dipolesi lipbalm. Ia mengenakan baju kemeja berwarna kuning dengan bawahan rok sebetis berbahan jins. Dipadukan sepatu cats warna hitam-kuning, serta rambut yang diikat kuncir kuda, satu pita kuning menjepit poninya ke samping Tak lupa tas samping berbentuk bundar, tempat menyimpan handphone dan dompet. Itu saja.
Putra sedikit menganga melihat penampilan Kinan, yang membuat gadis itu terlihat jauh lebih muda.
"Kenapa?" tanya Kinan tidak percaya diri.
Baru kali ini, ia tak berdandan berlebihan. Tampaknya, dia memang sangat rindu masa itu, masa kehidupan yang normal.
"Loe kayak ABG kalau penampilannya gini."
Putra mulai melajukan mobil.
Kinan tersenyum malu-malu. Jadi, selama ini Putra melihatnya seperti wanita dewasa, yang sudah benar-benar matang. Dengan berpenampilan begini, ia kembali menjadi gadis remaja yang lugu, dan tidak tahu apa-apa.
"Tra… Dari mana gue harus mulai ceritakan semua?"
Putra meliriknya. Lalu tersenyum. "Dari mana aja, senyaman yang loe rasa."
"Loe janji nggak bakal berubah sama gue setelah tahu semuanya."
Putra kembali tersenyum dan melirik Kinan lagi. "Kenapa harus berubah?"
"Gue takut, loe pergi ninggalin gue!"
Putra tersentak, ia langsung ingat Maya.
^^"Bunda takut kehilangan Putra, Yah." ^^ Kata-kata Maya kemaren membuatnya merasa bersalah.
Ia bahkan lupa bilang ke Maya kalau akan keluar rumah. Putra meringis.
"Kenapa Tra? Apa loe…"
"Eh, nggak. Bukan karena loe. Hmm, gue butuh waktu sebentar buat nelpon nyokap, tapi gue minta loe jangan bersuara sedikit pun. Bisa?"
Kinan menghela nafas pelan, kemudian mengangguk.
Putra lalu menghubungi Maya. Agak lama baru diangkat. Maya menghela nafas sebelum mengangkat telepon dari anaknya itu.
{ Assalamualaikum. }
"Waalaikumsalam, Bunda. Tadi Abang pergi keluar, Abang lupa bilang sama Bunda."
Putra merasakan hal yang beda dari suara Maya, yang terasa tak seceria biasa. Ia sadar diri telah menyakiti hati Maya. Tapi, untuk saat ini, belum ada yang bisa dilakukannya agar Maya mau menerima sebuah penjelasan. Baginya yang terpenting, saat ini sudah berusaha untuk tak merubah apa pun pada Bundanya. Meskipun sebagai manusia biasa, ia pun pernah khilaf, seperti hal tadi yang ia lakukan. Tangisan Kinan membuatnya kelabakan. Hingga melupakan Maya.
{ Iya, Bunda tau. Sudah makan, Nak? }
Walaupun terluka, ibu tetap lah sosok yang penuh perhatian.
Putra menghela nafas. "Iya Bunda, nanti Abang makan."
Maya pun menghela nafas, lagi dan lagi, berat rasanya, { Hati-hati di luar sana. }
Dan telepon itu pun diputus duluan oleh Maya. Sang Bunda menitikkan air mata. Ia bertekad akan menarik Putra kembali dari siapapun itu yang sudah merenggutnya.
Putra hanya bisa terdiam, lalu meletakkan kembali handphone di sisinya.
"Nyokap loe, marah?"
Kinan menyentakkan.
"Nggak, Nan. Nyokap gue nggak pernah marah."
Putra memaksakan senyuman agar terukir di wajah tampannya itu.
Kinan mencoba kembali mengingat sosok wanita yang sudah melahirkan Putra ke dunia. Maya… Nasabah yang pernah bertengkar dengannya, gara-gara nomor antrian yang diserobot. Istri Bos Malik Estate.
Malik Estate.
Kinan pun seolah tak asing mendengar nama perusahaan itu. Bukan sejak kejadian dengan Maya, namun jauh sebelum itu. Dimana ya?
Kinan mencoba mengingat, namun sulit sekali menjangkaunya. Padahal seolah terasa diujung ingatan.
"Nan…"
Kinan terkejut.
"Loe ngelamunin apaan?"
Kinan menggeleng, "Sampai dimana tadi?"
Putra pun menggeleng, "Gue juga lupa." Pemuda itu kemudian tertawa, dan hal demikian membuat Kinan ikut tertawa.
Bahagia sekali rasanya bisa tertawa lepas seperti ini, meskipun yang ditertawakan hanya hal kecil dan tak begitu lucu.
Kinan melihat Putra penuh kekaguman. Pemuda itu benar-benar enak dipandang. Sama seperti yang Keysha lihat pada diri Putra, Kinan pun melihat hal serupa. Jika tertawa, Putra tampak lebih imut dan menggemaskan.
"Eh, sorry… Gue ketawa kebablasan."
Putra tersadar, saat dari sudut mata ia melihat Kinan menatapnya lama.
Kinan pun seolah tersentak dari kekagumannya.
Sesaat mereka hanya saling berdiam diri.
"Tra… gue udah kehilangan kehormatan saat usia gue belasan tahun. Gue ngelakuinnya sama cowok gue."
Kinan memulai bercerita, dan Putra pun memasang posisi siap. Siap untuk mendengarkan sesuatu yang sebenarnya sangat sulit untuk diterima, tapi, ia harus mendengarkan dan mengetahui segala tentang Kinan.
"Dia sosok pertama yang gue cintai. Saking cinta dan percayanya, gue sampai ngerelain tubuh gue dijamah, kehormatan gue dirampas. Dan gue menyesal, nyesel banget, Tra."
Putra bisa merasakan emosi yang keluar dari kata-kata itu. Tapi, ia takkan memotong sepatah kata pun. Hari ini, biarkan Kinan yang bercerita.
"Tapi, gue merasa seperti mencandu dicumbu sama dia. Sampai hubungan itu berlangsung hingga lima bulan lamanya."
Kinan menarik nafas dalam. Ingin sekali mengutuk Andi, karena sudah membuatnya menjadi pengidap hyper seperti ini.
"Setelah itu, gue ngerasa bosan dengan hubungan yang seperti itu aja. Gue mutusin dia, beberapa bulan sebelum kelulusan. Gue nggak pernah ketemu dia lagi, sampai detik ini. Gue juga nggak pengen tahu dia dimana, pergi ke mana, nggak! biarin cowok brengsek itu pergi. Kalau perlu mati sekalian!"
Kinan kembali menghela nafas, kemarahan mulai terasa nyata. Tangannya terkepal.
Putra yang berada di kursi kemudi, sesekali melihat ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan, yang entah kemana sebenarnya tujuan mobil itu.
"Saat dia udah nggak ada di sisi gue. Gue ngerasa tubuh gue berubah. Maksud gue, ada yang ingin tubuh gue rasain lagi, sesuatu yang biasanya hampir tiap hari cowok itu berikan ke gue."
Putra memejamkan mata, ia benar-benar tidak tahan untuk mendengar kisah hidup terkotor yang telah mampir ke telinganya.
"Gue ternyata menjadi kelainan. Sampai-sampai, rasanya nggak bisa kalau nggak ada cowok yang menjamah tubuh gue."
Putra meremas setir erat, rahangnya mengeras. Ia ingin meneriaki perempuan di sampingnya ini, untuk berhenti saja bercerita, itu hanya akan membuat jantungnya bekerja lebih keras lagi, memompakan darah yang menggelegar ke seluruh urat sarafnya.
"Dan gue hampir melakukan hal menjijikkan itu setiap hari, ada atau nggak ada cowok yang bantuin gue. Hasrat dalam diri gue harus tersampaikan."
Putra mengingat sebuah benda yang pernah ia hancurkan. Yang membuat Kinan marah padanya saat pertama berjumpa beberapa waktu lalu.
^^ Bangsat, sialan, Aaarrggghhh, kenapa gue nggak bisa membekap mulutnya, biar berhenti cerita, gue benci dengernya!!!! ^^ teriak Putra dalam hati.
"Gue… gue udah banyak ditidurin cowok. Bahkan sejak kerja, gue ngerangkap jadi sim…"
Kinan tak bisa melanjutkan kata-kata. Putra membekap mulutnya dengan satu ciuman. Kendaraan yang dikendarai, mengerem mendadak, tepat saat sudah diketepikan.
***
***