Kinan kehilangan keseimbangan. Beruntung, ada sesuatu yang bisa ia gapai. Sejenis batang pohon, yang sudah mulai mati. Ia tak tahu berapa lama bisa bertahan.
Sementara di tepi bibir jurang, Putra sudah menjulurkan tangan. Wajah pemuda itu benar-benar memucat, ia berteriak-teriak memanggil Kinan agar menggapai tangannya.
Sejenak, pendengaran Kinan seperti tidak berfungsi. Ketakutan teramat sangat membuatnya seolah merasa tuli. Teriakan Putra saja tak begitu bisa ia dengar. Hanya wajah sangat cemas dari pemuda itu saja yang bisa ia lihat. Dan ia tahu, Putra berteriak, terlihat dari urat-urat leher yang tampak timbul.
Kinan mencoba untuk mengangkat sebelah tangan untuk menggapai uluran tangan Putra. Namun, semakin ia mencoba, batang pohon yang setengah mati itu bergerak, seakan tak kuat menahan beban tubuhnya.
Gadis itu ketakutan, ia tak berani bergerak lagi. Wajahnya benar-benar pasi. Berkeringat dingin.
"Tra… Putra…!"
Ia berteriak memanggil Putra, suaranya bergetar.
Putra mencoba lebih menurunkan badannya. Sementara kaki masih menahan pada satu tiang yang berada di tepi bibir jurang.
"Kinan… bertahan, gue cari apa aja yang bisa narik loe."
Putra dengan kecemasan memuncak segera berdiri, dan mencari apa saja yang kemungkinan bisa digunakan untuk membantu gadis itu.
"Tra…!"
Suara Kinan terdengar begitu ketakutan. membuat Putra hilang akal. Ia kembali mencoba menjangkau seperti tadi. Tapi percuma saja, Kinan tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya. Dan tangan yang memegang batang kayu itu tampak semakin melemah.
"Nan… please Nan, bertahan."
Putra tak menyadari air matanya berjatuhan, mata itu memerah. Tak ada yang ia temukan di sekitar, hingga pikiran itu muncul, ia memutuskan untuk menuruni saja tebing jurang itu. Apa yang bisa diupayakan? Tidak ada, selain melakukan hal ini.
"Jangan Tra… Jangan…!"
Kinan berteriak mencegah. Tapi Putra tak memedulikan, hingga secara tak terduga beberapa orang datang. Mereka turun dari sebuah mobil keluarga berwarna silver. Dua pria, dan tiga wanita.
"Bang, ngapain itu? Ambil tali tambang di bagasi, Dek."
Seorang pemuda mengejutkan Putra, lalu ia meminta adik perempuannya mengambil tali yang ia maksud.
Putra dibantu pria, yang terlihat seperti ayahnya untuk kembali naik ke atas.
"Saya ada tali, Abang yang turun atau saya?"
Pemuda itu menawari, ia terlihat sopan sekali. Putra berpikir, ia sama sekali tak punya keahlian di bidang ini, takut-takut nanti nyawa Kinan justru tak tertolong. Dan pemuda yang datang bersama keluarganya ini, tampak sudah terlatih.
"Sebaiknya Abang saja, nanti akan saya bantu tarik dari sini."
Karena sorot tajam sepadang mata dibalik wanita yang sudah baya, pemuda itu meminta Putra saja yang melakukan. Itu ternyata istrinya, yang sedang hamil muda.
Putra kemudian mengangguk mantap dan mengikat tali itu ke tubuhnya. Sementara si pemuda mengikat tali tadi pada tiang yang terpasang di dekat bibir jurang.
"Perlahan tapi pasti, Bang. Saya akan tahan talinya dari sini."
Putra pun dengan sigap turun. Perlahan-lahan, ia gamang sebenarnya, tapi melihat Kinan yang meringis seperti itu, ia tidak tega.
"Sebentar lagi, Nan. Bertahan lah."
Putra tak sabar untuk bisa segera sampai dan meraih tubuh Kinan lalu membawanya kembali ke atas.
"Tra, gue udah nggak kuat."
Suara Kinan melemah, ia seperti kehabisan tenaga untuk bertahan. Sedikit tidak sabar, Putra turun, dan semesta kembali berpihak padanya. Saat tangan Kinan terlepas, ia berhasil menangkap tubuh indah itu.
"Nan, peluk gue. Gue nggak bisa megangin loe, kalau terkulai gini,"
Kinan yang masih sedikit sadar itu, melingkarkan tangannya ke leher Putra, meskipun sangat lemah, tapi sudah cukup membantu. Satu tangan Putra menahan belakang pinggangnya.
Pemuda yang sopan tadi, segera menarik Putra dan Kinan ke atas. Ia tak sendiri, dibantu adik dan ayahnya.
Setelah melalui serangkaian kejadian mengerikan. Dan setelah keluarga penyelamat izin undur diri. Putra tak lagi mampu berkata-kata. Ia duduk tersandar di sisi badan mobil, sementara Kinan terlelap di dalam.
Putra melamun, ia bahkan merutuki dirinya sendiri. Sebagai laki-laki ia tidak becus menghadapi wanita, karena sikapnya gadis itu hampir kehilangan nyawa.
Jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Mentari pun telah terik menyinarinya. Putra masih betah duduk bersandar di sisi mobil. Kali ini, kepalanya juga ikut bersandar, dibiarkan terik sinar mentari menyorot langsung ke wajahnya. Mata sedikit sipit itu terpejam.
Tak lama, sinar matahari itu seakan terhalang. Putra membuka mata, dan ternyata Kinan yang sudah berdiri di sisinya, membelakangi matahari, lalu melindungi wajahnya dari sinar matahari langsung.
"Tra…"
Suara Kinan masih terdengar lemah.
Putra tak mengangkat wajah, ia justru hanya fokus melihat tanah di hadapan.
"Maafin gue, Tra."
Bisa dipastikan gadis itu kembali menangis. Putra lalu mulai mengangkat wajah dan melihat padanya.
"Kenapa Nan? Kenapa loe lakuin itu ke gue?"
Kinan tak mengerti, ia menggeleng pelan.
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama loe, gue nggak akan pernah maafin diri gue."
Putra kembali menatap tanah di hadapan. Ia masih duduk seperti tadi. Satu kaki menopang sikut.
"Gue ngerasa hidup gue nggak ada artinya, Tra."
Putra belum menyahut, ia lalu berdiri perlahan.
"Trus? Dengan membahayakan nyawa loe seperti tadi, menurut loe itu solusi?"
Kinan tak berani menantang sorot mata Putra.
"Menurut loe, hidup loe nggak ada arti. Tapi bagi gue… bagi gue berarti, Nan."
Tegas Putra mengucapkannya. Memaksa wajah Kinan terangkat dan menatap tak percaya padanya.
"Menurut loe gue marah karena benci sama loe! Salah Nan, justru sebaliknya. Gue peduli sama hidup loe. Gue pengen loe pun bisa ngejalanin hidup normal seperti cewek kebanyakan."
Kinan kembali menundukkan kepala.
"Apa yang gue bilang ke loe, bukan cuma sekedar kasih loe harapan palsu, Nan. Semua orang punya hak dan kesempatan buat berubah, buat bahagia."
Putra memejamkan mata, mencoba meyakinkan hati. Lalu memantapkan diri untuk menyatakannya.
"Gue jatuh cinta, Nan."
Kinan perlahan mengangkat kepala, menatap Putra.
"Pertama kali ngeliat loe di Bank, gue udah jatuh cinta sama loe. Gue nggak tau kenapa, tapi itu yang gue rasa."
Gadis itu menggeleng, "Gue nggak pantes buat loe, Tra."
"Karena loe simpanan Om Toni?"
Pupil mata Kinan melebar. Putra mengucapkannya dengan sangat jelas dan lantang.
"Gue nggak peduli."
"Tapi, Tra…"
Putra menatap Kinan dengan sangat serius. Wajahnya benar-benar tak menunjukkan sebuah candaan.
"Gue nggak pantes, Tra!"
"Karena sangean? Loe Hyper? Loe nggak suci? Loe jalang? Loe Binal? Apa Nan? Kenapa loe nggak layak buat gue?"
Kata-kata itu menghujam ulu hati Kinan dengan tanya yang semua jawabannya adalah 'iya'.
"Loe tadi minta buat bawa loe keluar dari dunia loe! Gue sanggupi, tapi kenapa sekarang loe yang narik keinginan loe sendiri?"
Kinan memutar tubuh, membelakangi Putra. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia ingin bahkan sangat ingin bisa kembali merajut kasih dengan seseorang. Tapi, apa mungkin hubungannya dan Putra direstui semesta. Antara dia dan Putra, sungguh terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Bagaikan langit dan bumi.
Putra lalu memegang pundak gadis itu.
"Kenapa Nan?"
Kinan tak menjawab, hingga Putra memutar tubuhnya perlahan.
"Jawab gue. Kenapa?"
Gadis itu menitikkan air mata melihat wajah Putra yang sudah mulai melunak. Dengan tatapan yang juga mulai meneduh. Dan suaranya pun tak lagi setegas tadi.
"Kenapa loe kayak gini, Tra. Loe bisa dapat yang lebih baik dari gue. Kenapa harus pelacur kayak gue?"
"Jangan bilang diri loe kaya gitu, Nan, gue nggak bisa dengernya."
"Kenapa Tra? Kenapa mesti gue?"
Putra tak lagi tahu harus menjawab apa, selain. "Karena gue benar-benar cinta sama loe, Nan." lalu menarik Kinan ke dalam pelukan.
Sudahlah, tak perlu lagi saling menghindari perasaan masing-masing. Kinan kembali menangis sambil memeluk Putra erat.
"Gue bakal jaga loe sekuat yang gue bisa, Kinan."
Kinan membenamkan wajahnya di pundak Putra. Ia bahagia sekali mendengarnya, namun, setelah ini, semua belum tentu akan baik-baik saja.
***
***