Chereads / HARGA DIBALIK TIRAI / Chapter 3 - GARA-GARA NILA SETITIK 2

Chapter 3 - GARA-GARA NILA SETITIK 2

Putra dan Maya, berjalan menuju parkiran. Mereka layaknya pasangan ibu dan anak yang sangat romantis. Maya menggandeng lengan anaknya, seolah ingin menunjukkan pada mata yang melihat, terutama gadis-gadis muda yang bisa saja menyukai anaknya, bahwa, ia adalah pemilik tunggal dari pemuda tampan, yang sedang bersamanya.

Sementara Putra justru sibuk membayangkan wajah Kinanti, yang saat keluar dari Bank itu tadi pun masih sempat dilihatnya. Ini pengalaman jatuh cinta paling instan untuknya. Sebetulnya, Putra tipikal laki-laki yang sulit untuk ditaklukkan. Banyak sekali gadis yang ingin mendekati, namun, belum ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya, bukan tak pernah jatuh cinta, hanya saja belum ada yang layak untuk menjadi kekasihnya, menurut dirinya dan sudah barang tentu, menurut Maya, sang bunda. Banyak yang berakhir dengan kekecewaan, paling banter, jadi close friend, seperti kasus Keysha.

Bicara soal Keysha, dia adalah anak dari Direktur Utama Bank Kring. Saat ini sedang menempuh pendidikan yang sama dengan Putra, di kampus dan jurusan serta kelas yang sama. Setelah kelulusan, posisi bergengsi pada Bank Kring sudah dipersiapkan untuk dirinya. Tak perlu repot-repot cari kerja. Apalagi, wajah Keysha juga terbilang cukup manis dengan kulit eksotiknya. Dan posisi management trainee, layak untuk ia isi salah satunya.

"Kamu kenapa, Bang?"

Melihat anak sulungnya tidak seperti biasa, Maya pun jadi heran.

Maya dan Adit memiliki dua putra yang tampan, si bungsu bernama Hazali Husein Malik, saat ini juga masih menempuh pendidikan di bangku kuliah, berbeda dengan sang kakak, Hazali justru kuliah di universitas swasta kenamaan di kota mereka. Tetapi, dengan jurusan yang sama, Teknik Sipil. Saat ini Hazali masih berada di semester awal. Ia baru saja lulus SMA, usianya masih sangat muda. Beda tiga tahun lebih dari sang kakak.

Namun, yang tak pernah bisa dilupakan oleh Maya adalah, putri sulungnya, yang meninggal saat dilahirkan. dua puluh tiga tahun yang lalu. Bagaimana bisa ia melupakan Mutiara Husein Malik? Susah payah mengandung, setiap kali melakukan kontrol kehamilan, tak pernah sekalipun dokter mengatakan bayinya tak sehat. Namun, setelah terlahir, ia justru menemui jasad kaku putri mungilnya.

Beruntung ia memiliki Adit. Pria mapan yang tak pernah ingin memacarinya ketika muda dulu, meski telah menyimpan rasa cukup lama padanya. Adit menjadikan Maya wanita paling beruntung di dunia, hingga sampai detik ini, saat usia mereka sudah hampir berjalan mendekati setengah abad, cinta Adit pada Maya, tak pernah pudar.

Adit lah yang menguatkan istrinya itu. Membuat Maya yang terpuruk kehilangan belahan jiwa, sedikit demi sedikit mulai bangkit. Hingga dua tahun kemudian, Putra Husein Malik pun hadir ke dunia.

"Abang… bisa berhenti senyum-senyum sendiri begitu nggak? atau gantian, biar Bunda yang nyetir!"

Si Abang gelagapan. Maya berbicara dekat pangkal telinganya.

"Bunda ngagetin Abang aja."

Tanpa pikir panjang, Putra langsung menghidupkan mesin mobil, dan segera keluar area parkir Bang Kring.

"Bunda mau ke makam kakak lagi atau langsung ke tempat Ayah?"

Maya terdiam sejenak, biasanya setiap kali keluar rumah memang selalu menyempatkan untuk melihat makam Mutiara.

"Langsung ke kantor Ayah aja."

Putra mengangguk sambil memutar kendaraan menuju arah kantor utama Malik Estate.

"Gimana tadi bimbingannya, Bang?" tanya Maya sambil membelai rambut Putra penuh sayang.

Beruntungnya, anak muda itu tak pernah membuat Maya merasa berkecil hati dengan menepis atau mengelak dari setiap perlakuan Maya yang seolah memanjakannya.

"Baik Bunda. Everything is okay. Abang yakin bisa kelar tepat waktu."

Maya tersenyum, lalu memperbaiki duduknya. Tiba-tiba saja terpikir akan datangnya masa, dimana dirinya tak lagi bisa bersikap seperti ini pada Putra. Kelak, anak ini akan memiliki pasangan, menikah, lalu perhatiannya akan terbagi pada yang lain.

Memikirkan ini, membuatnya takut kehilangan. Betapa posesifnya dia sebagai seorang ibu.

Maya kemudian beralih pandang untuk melihat wajah anaknya, yang sangat tampan itu. Hidung yang mancung, bentuk wajah dengan rahang tegas yang sempurna, alis mata yang terbal. Sorot mata yang tajam namun meneduhkan. Tubuh yang atletis, tinggi dan berbentuk.

"Kenapa Bunda?"

Maya kedapatan tengah menatap lama pada anaknya.

Ia segera menyeka satu tetes air di sudut mata sebelah kiri.

"Nggak kenapa-napa?"

"Kalau nggak kenapa-napa, kenapa wajah Bunda sedih begitu? Apa ada masalah?"

Putra meraih pipi Maya yang meskipun sudah memerlihatkan tanda—tanda penuaan, tetapi tetap enak untuk dielus.

"Bunda kangen kakak lagi?"

Putra beralih sesekali untuk melihat wajah malaikat tak bersayapnya itu.

Maya menggeleng, "Bunda takut kehilangan Abang, Nak. Takut Abang salah pilih pasangan, takut Abang nggak dibolehin nengok Bunda."

Putra tertawa besar, "Ya Allah Bunda. Masanya masih jauh, Abang aja masih di sini sekarang sama Bunda. Udah ah, jangan mikir yang belum jelas. Bunda kan tau, selama ini, Abang milih-milih cewek yang sesuai selera Bunda. Nggak kata Bunda, ya Abang tinggalin."

Maya menepuk lembut lengan anaknya. "Anak ini. Pandai betul."

Mereka lalu tertawa bersama.

***

***

Kinan keluar dari kantor dengan gondoknya. Ia berjalan menghentak melangkah menuju lift. Di sana sudah ada beberapa karyawan dari lantai empat. Bagian Divisi Pengawasan dan Pemasaran. Mereka sama-sama menuju basemant, tempat kendaraan terparkir.

Kinan, yang memang tak begitu akrab dengan siapapun karyawan di sana, bersikap acuh tak acuh. Ia tahu betul, banyak orang membicarakan dirinya. Baginya tak masalah. Ia bahkan lebih tenang dengan kesendiriannya, lagi pula tujuan hidup baginya hanya satu, mencari kebahagiaan. Dan dia bahagia dengan apa yang sudah ia capai hingga detik ini. Meskipun banyak yang mencibir, tidak menjadi persoalan.

Yang tahu apa yang dibutuhkan, ya hanya dirinya sendiri. Bahkan orangtuanya pun tak pernah ambil pusing tentang berita-berita miring mengenai dirinya, yang mungkin sudah sampai kepada mereka informasinya.

Kinanti seorang binal, ya, itu memang dirinya, dia pun tak mengelak. Dan menjadi binal adalah kebutuhan untuknya. Lagipula ia kini mampu menghasilkan dari kebinalannya itu. Ia butuh, dan pria-pria itu pun mampu memberikan. Kepuasan dan uang.

Kinan tak pernah hamil karena perbuatannya itu. Setiap yang berhubungan dengannya, selalu dipaksa menggunakan pengaman, atau kalau terdesak, harus membuangnya diluar. Ia tak ingin ada benih siapapun yang bersemanyam di dalam rahimnya.

Pintu lift terbuka.

Mereka sama-sama melangkah keluar.

Berpasang-pasang mata yang menatap benci pada Kinan, kini saling berbisik-bisik satu dengan yang lainnya. Kinan tahu, ia bahkan membuat mereka lebih kepanasan lagi, dengan berjalan lebih anggun menuju mobil barunya.

Dengan langkah gemulai bak model catwalk, Kinan menekan tombol remote mobilnya. Lalu, membuka pintu kemudi, sesaat sebelum masuk, ia semaikan seringai kepongahan pada mata yang memang masih menatapnya dengan sorot penuh kebencian.

Para karyawan dari Divisi Pengawasan dan Pemasaran seketika mendidih. Mereka mengumpat dan menatap semakin berang.

"Perek itu mesti kita kasih pelajaran!" teriak salah satu dari mereka, saat mobil yang dikemudikan Kinan, sudah melaju dengan gagahnya keluar area basemant.

"Loe kan di pengawasan, temuin bukti kek, apa gitu yang bisa bikin dia terjerat kasus. Rekening dia gemuk loh, kalau nggak, mana mungkin dia bisa beli mobil mahal dan mewah begitu. Loe pada tau kan harganya berapa?"

Enam orang yang lain saling pandang. Mungkin mengiyakan perkataan temannya yang dari Divisi Pemasaran tersebut.

"Camry generasi terbarukan? harganya ratusan juta gitu."

Seseorang dari Divisi Pengawasan menjawab.

Si penanya dari Divisi Pemasaran yang tadi mengangguk, sambil mengangkat handphone memerlihatkan hasil pencariannya di internet pada rekan-rekan sesama pembenci Kinan.

Mereka terkejut.

"Duit dari mana ya? Kerja baru juga setahun! cuma frontliner pula. Kita aja yang grade dan pangkat lebih tinggi dari si Binal itu, belum tentu sanggup beli mobil begituan."

Seseorang yang lain dari Divisi Pengawasan menimpali.

"Iya, mending buat modal kawin."

Seseorang dari Divisi Pemasaran, yang sudah berusia matang, namun belum juga menikah ikut berkomentar.

"Gue mending buat kebutuhan anak gue, lah laki gue cuma pegawai asuransi biasa, gajinya mah, ah jauh di bawah gue." gerutu yang lain dari Divisi Pemasaran.

Dan entah mengapa, mereka jadi saling curhat satu dengan yang lainnya.

"Gue akan susun rencana buat jatuhin si Kinanti Perek, gue bakalan ngumpulin bukti yang bisa buat karir dia hancur."

Akhirnya seseorang dari Divisi Pengawasan menyudahi ajang curhat tersebut, dia yang lebih muda dan hanya terpaut dua tahun usianya dari Kinan. Gadis itu terlihat bersemangat ingin menghancurkan Kinan. Kebenciannya sungguh sudah sangat mengakar dalam. Ia benci dengan apa yang dimiliki oleh Kinan, kecantikan, barang branded, penampilan yang selalu menawan, dipuja-puja banyak pria, bahkan satu Gedung ini sudah diborong oleh Kinan.

"Ah, Kinan taik!" umpatnya kemudian.

***

***