Chereads / The Grey Married / Chapter 2 - Part 2

Chapter 2 - Part 2

Bayu berlari tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Langkah kakinya berhenti tepat di depan ruang operasi. Napasnya memburu, tapi degup jangtungnya sedikit lega begitu dia melihat Bondan duduk termenung di ruang tunggu sambil menopang kepala.

"Pa?" Bayu mendekati sang papa, diraihnya pundak lelaki paruh baya itu, kemudian di usapnya perlahan.

Bondan langsung mendongak begitu merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Ditariknya sang anak kemudian di peluknya erat. "Papa nggak sengaja, Bay."

Bayu mengangguk, ia menepuk-nepuk punggung papanya. "Iya, Pa. Papa tenang, semua bakal baik-baik saja. Papa coba ceritain ke Bayu apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana mungkin bisa sampai seperti ini."

Bondan melepaskan pelukannya kemudian mengusap wajahnya perlahan. "Semuanya terjadi begitu saja Bay, di perjalanan tadi tiba-tiba kepala Papa pusing, Papa juga buru-buru buat sampai ke kantor, dan selanjutnya terjadi begitu cepat, Papa nggak lihat kalau ada orang nyebrang, dan... dan Papa nggak sengaja nabrak mereka."

"Mereka? Berarti bukan satu orang?"

Bondan menggeleng. "Anak sama Bapak, Bay."

"Ya Allah, Pa...." Bayu mengusap kepalanya frustasi. "Bagaimana bisa? Kenapa Papa nggak menggunakan supir seperti biasanya. Kalau Papa lagi nggak enak badan, Papa harusnya istirahat."

"Papa buru-buru Bay, Papa nggak sempat untuk menggunakan supir, masalah nggak enak badan, kalau cuma pusing Papa masih bisa tahan."

"Terus kalau udah kejadian begini Papa mau apa? Bagaimana kalau pihak keluarga mereka menuntut Papa?" Bayu benar-benar geram dengan Papanya. Tapi dia tidak bisa terus menekan Bondan, lelaki itu masih syok.

"Papa nggak tahu, Bay. Tapi Papa akan mempertanggungjawabkan semuanya. Papa pasrah, karena Papa tahu disini Papa yang salah."

Bayu menghembuskan napasnya perlahan. "Papa tenang aja, Bayu akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu Papa."

Lelaki itu kembali mengusap pundak sang papa, mencoba untuk menguatkan agar pria paruh baya itu sedikit merasa tenang.

Hampir setengah jam berjalan setelah Bayu datang kesana, akhirnya dokter keluar dari ruang operasi, Bondan langsung berdiri dan menanyakan kondisi korban yang telah ia tabrak.

"Bagaimana kondisinya, Dok?"

Dokter wanita itu melapas masker kemudian tersenyum. "Alhamdulilah semua membaik, Pak. Pasien sudah bisa dipindahkan di ruang perawatan."

Baik Bayu maupun Bondan menghembuskan napas lega, mereka bersyukur tidak ada hal buruk yang menimpa korban itu.

"Tapi ada satu hal yang perlu saya sampaikan lagi, Pak." Wajah dokter perempuan itu kembali berubah murung setelah tadi sempat tersenyum hangat.

"Kenapa dok?" tanya Bondan cemas.

"Akibat kecelakaan itu pasien mengalami patah tulang berat. Mungkin setelah ini pasien akan menggunakan kursi roda untuk aktifitasnya, dan kemungkinan terburuk pasien mengalami kecacatan seumur hidup."

"Apa?! Jadi dia akan lumpuh dok?!"

Dokter tersebut menggeleng. "Tidak, Mas. Selama pasien melakukan terapi dengan rajin, pasien akan segera bisa berjalan, tapi kecil kemungkinan dia akan bisa berjalan normal lagi."

Bondan terduduk, dia mengusap wajahnya kasar, tidak menyangka perbuatannya akan berakibat sedemikian buruk pada orang lain. Dokter tersebut hanya menatap prihatin, keadaan seperti ini sudah sering dilihatnya saat menyampaikan hal buruk pada keluarga pasiennya.

"Yang sabar, Pak. Saya turut prihatin. Semoga saja pasien tetep bisa berjalan normal, ini hanya analisa dokter, tapi semua bisa berubah sesuai kehendak-Nya." Dokter itu tersenyum, mencoba menguatkan Bayu dan Bondan yang dikira adalah keluarga pasiennya.

"Iya, Dok, terima kasih."

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu."

Bayu dan Bondan mengangguk, tidak lama setelah itu pintu ruang operasi kembali terbuka dan keluar beberapa petugas medis bersama pasien yang terbaring di brankar. Bayu sekilas sempat melihat wajah dari korban yang papanya tabrak itu.

"Dia perempuan, Pa?" tanya Bayu agak terkejut.

"Iya, Bay, dia perempuan, kondisi ayahnya lebih baik dari dia, sekarang ayahnya sudah ada di ruang perawatan, hanya saja belum sadarkan diri."

"Terus siapa yang nemenin, Pa? Kalau Papa sendiri ada disini."

"Tadi Papa sempat telepon supir Papa buat kesini, jadi sekarang dia ditemeni supir Papa."

Bayu mengangguk, kemudian mengajak Papanya untuk menemui ayah dari perempuan yang tadi telah di operasi.

***

Bayu menatap Papanya yang masih berbincang dengan Wawan, ayah dari wanita yang di tabrak Bondan. Pria itu langsung menangis begitu mendengar kondisi putrinya dari penjelsan Bondan. Tidak dipungkiri sang papa juga sangat merasa bersalah, berulangkali lelaki paruh baya itu meminta maaf, dan beruntung Wawan lebih memilih menyelesaikan secara kekeluargaan.

"Lalu bagimana nasib anak saya selanjutnya, Pak? Dia masih muda, belum menikah, dan bahkan dia sendiri masih sekolah."

"Maafkan saya, Pak, saya benar-benar lalai saat itu, saya... saya...." Bondan tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi, dia sendiri bingung mau menjelaskan apalagi, karena kejadian ini memang murni kesalahannya.

Bayu yang tidak tega melihat obrolan kedua pria paruh baya itu akhirnya memilih keluar, selang beberapa menit kemudian Bondan ikut menyusul putranya.

"Gimana, Pa?"

"Alhamdulilah, semua bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pak Wawan benar-benar sangat baik, Bay. Hatinya begitu lebar mau memaafkan Papa, padahal dia sendiri tahu kondisi putrinya seperti apa."

Bayu menghembuskan napas, dia tidak lagi membalas perkataan papanya, lebih tepatnya bingung mau menanggapi seperti apa.

"Oh iya, Bay. Gimana pertemuan kamu sama Anin? Lancar?"

Bayu menoleh ke papanya, kemudian terkekeh pelan. "Nanti kalau nggak besok Papa bakal tahu kelanjutannya."

Bondan mengangkat alisnya bingung, tapi sedetik kemudian dia melotot ke arah Bayu. "Jangan bilang kamu menolak perjodohan itu."

"Nggak kok, Pa. Anin sendiri nanti yang bakal nolak." Bayu kembali terkekeh.

"Bay, kamu benar-benar...." Bondan mengepalkan tangannya, gemas dan bingung harus bagaimana menghadapi sikap putranya. "Bay, kamu ini sudah berumur, Nak. Sudah pantas untuk membina rumah tangga. Apa yang kamu lakuin sampai Anin mau menolak perjodohan itu?"

"Justru karena Bayu sudah berumur, Bayu ingin memilih sendiri calon istri Bayu, Pa. Lagian Bayu kurang sreg sama Anin."

"Terus kamu mau minta yang seperti apa? Yang seperti Anin saja kamu tolak, memang kriteria kamu yang bagimana? Kamu itu tidak perlu pilih-pilih pasangan sampai muluk-muluk, mau kamu jadi perjaka tua, atau jangan-jangan ada yang salah sama diri kamu, kamu tidak jeruk makan jeruk 'kan?"

Bayu berdecak, walaupun laki-laki, kadang mulut papanya itu sering tidak terkontrol, persis seperti dirinya.

"Enak aja, Bayu normal, Pa. masih doyan perempuan, cuma memang belum sreg saja, belum jodoh mungkin, Pa."

"Alasan saja kamu itu!" Bondan berdecak, kemudian menoyor kepala putra semata wayangnya itu.

***

"Papa baru pulang?" Bayu menghampiri Bondan yang sedang duduk di meja dapur, lelaki itu baru saja mengambil minum karena haus.

"Iya, Bay."

"Gimana, Pa, sama kondisi wanita itu?"

"Zahra maksud kamu?"

"Nggak tahu, cewek yang Papa tabrak tadi maksudnya."

Bondan menghmbuskan napas lelah, kemudian tersenyum ke arah anaknya sambil menepuk pelan bahu sang anak.

"Iya, Zahra namanya. Dia baik. Tadi juga sudah sadar."

"Syukurlah kalau begitu. Papa sekarang istirahat aja, gih, udah lelah tuh mukanya." Bayu hendak beranjak, tapi tangannya keburu di cekal Bondan.

"Ada yang ingin Papa bicarain sama kamu, Bay."

Bayu mengangkat sebelah alisnya, menduga-duga pembicaraan apa yang hendak disampaikan sang papa, tapi menurut analisisnya, sepertinya Bondan hendak membahas tentang perjodohannya.

"Tadi papanya Anin sudah menghubungi Papa, kalau anaknya tidak ingin dijodohkan sama kamu, Papa tidaak tahu apa yang sudah kamu perbuat sampai gadis itu menolak dijodohkan sama kamu." Bondan menghembuskan napas sejenak, dan Bayu hanya mengangguk karena dugaannya yang tidak meleset.

"Terus Papa nanggepinnya gimana?"

"Papa akhirnya mengiyakan, memangnya apalagi? Lagi pula kalaupun Papa memaksa belum tentu juga Anin mau sama kamu— Papa itu nggak habis pikir sama kamu Bay." Lagi-lagi Bondan menghembuskan napas. Dia benar-benar gemas dengan sikap anaknya, tapi dibalik itu, dia juga bersyukur dengan apa yang telah di perbuat putranya.

"Pa...." Bayu memasang muka melas, berharap papanya mengerti kemauannya.

"Ya sudah tidak apa-apa. Papa juga bersyukur kamu tidak jadi dengan Anin, mungkin ini juga yang sudah digariskan Tuhan. Kamu melakukan sesuatu hingga Anin menolak kamu, dan sekarang Papa ingin kamu menikahi gadis lain."

"Siapa lagi, Pa? Sudahlah, Papa tidak perlu repot-repot mencarikan Bayu jodoh, nanti kalau sudah saatnya Bayu pasti menikah. Bayu tidak mau lagi menemui wanita yang Papa pilihkan kali ini." Bayu masih berasalan, dia memang sudah malas melakukan hal yang sama seperti tadi siang. Jadi dari pada ia mengiyakan dan mecari cara lain untuk membuat wanita itu menolak, lebih baik Bayu sendiri saja yang menolaknya sekarang.

"Papa tidak akan menyuruh kamu menemuinya, kamu pasti juga sudah melihatnya sekilas."

"Maksud, Papa?" tanya Bayu masih belum paham dengan perkataan Bondan.

"Papa mau kamu menikahi Zahra, putrinya Wawan."

"Apa?!" Bayu langsung terkejut mendengar perkataan papanya. Menikah? Dengan wanita yang di tabrak papanya? Yang benar saja, Bayu tidak pernah mengenalnya, jangankan kenal wajahnya saja hanya sempat dilihatnya waktu tidak sengaja melihatnya yang di dorong di atas brankar. Itu pun tidak begitu jelas.

"Iya, dan Papa ingin kamu tidak menolaknya Bay!"

"Nggak, Pa, aku nggak mau!" Bayu langsung menolak, jelas saja dia tidak mau, apalagi mereka juga baru di temui belum ada 24 jam.

"Papa mohon, Nak. Hanya ini yang bisa Papa lakukan untuk menebus kesalahan Papa. Papa tidak tega melihat bagaimana terpukulnya Wawan waktu tahu kondisi putrinya, apalagi dia yang belum menikah, kalau Papa ada diposisinya dia, Papa juga pasti terpukul Bay."

"Tapi kenapa aku yang harus Papa korbankan!" Bayu sedikit menaikkan oktaf suaranya, dia benar-benar tidak habis pikir dengan pemikiran papanya itu.

"Papa tidak mengorbankanmu, Nak. Papa sudah cari tahu asal-usul dia, Zahra wanita baik-baik, masih muda, cantik, dan dia layak untuk jadi istri kamu, Bay. Papa tidak serta merta langsung memintamu begitu saja kalau dia memang bukan perempuan yang baik."

"Tetap saja, Pa, Bayu tidak mengenalnya, Bayu tidak pernah bertemu dengan dia sebelumnya, karakter dia seperti apa, Bayu tidak mau, Pa!"

"Ayolah Bay. Demi Papa, Nak. Ini juga demi kamu, Papa yakin kalau dia memang yang terbaik buat kamu." Bondan masih berusaha meyakinkan putranya.

"Kenapa Papa bisa seyakin itu?"

"Papa sudah menemuinya tadi waktu siuman, dia menghormati Papa meskipun tahu Papa yang sudah membuatnya seperti itu, Ayahnya begitu lapang membuka pintu maaf buat Papa, apalagi yang perlu diragukan?"

"Pa, Anin saja yang sudah kulihat wajahnya aku tolak, apalagi dia—"

"Kamu belum mencobanya, Bay. Percayalah pada Papa, Papa juga ingin yang terbaik buat kamu."

"Kenapa tidak Papa saja yang menikahinya, Papa 'kan, yang menabraknya."

"Jaga ucapan kamu Bayu Prawira!" Bondan lepas kontrol dia langsung membentak anaknya, tidak lama setelah itu dia memegang dadanya dan ambruk secara tiba-tiba.

Bayu yang sigap segera memegangi pundak Bondan dan meneriaki Papanya yang sudah tidak sadar diri. Dia panik luar biasa, kemudian segera memanggil supirnya untuk membantunya membawa sang papa ke rumah sakit.

Sesampainya disana, Bondan langsung ditangani pihak medis. Bayu benar-benar cemas luar biasa, dia tidak ingin kehilangan Bondan, sudah cukup dia kehilangan sang Mama saat usianya menginjak sembilan tahun, dia tidak ingin merasakan kepedihan itu lagi.

"Bagaimana keadaan Papa saya, dokter?" Bayu langsung berdiri begitu dokter keluar dari ruangan tempat papanya ditangani.

"Pasien sudah stabil, tapi lain kali tolong jaga emosi pasien ya, sekarang pasien sudah sadar dan bisa di temui."

Bayu mengangguk kemudian mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu pergi, lalu segera menuju keruang perawatan sang papa.

"Maafin Bayu, Pa." Bayu menunduk, merasa menyesal dengan apa yang sudah dia lakukan.

Bondan menyentuh lengan Bayu kemudian mengusapnya perlahan. "Nak, Papa sebelumnya belum pernah meminta sesuatu apapun darimu. Tolong kali ini turuti permintaan Papa. Papa hanya ingin kamu ada yang mendampingi sebelum Papa pergi untuk selamanya—"

"Papa apaan sih, Bayu nggak suka Papa ngomong kayak gitu."

"Usia Papa sudah tua Bay, kamu sendiri tahu, baru kejadian seperti tadi saja Papa masuk rumah sakit. Jadi Papa minta tolong, lakukan semua ini demi Papa. Papa yakin Zahra wanita baik-baik, bagimanapun kamu itu putra Papa, tidak mungkin Papa asal memilih seseorang yang mendampingi kamu. Tolong ya, Nak."

Bayu memejamkan matanya, kemudian menghembuskan napas pasrah. Mungkin semua ini memang sudah takdirnya. "Baiklah, Bayu akan mencobanya." Akhirnya Bayu mengalah, semua ia lakukan semata-mata karena sang papa.

"Bay, mungkin sekarang kamu memang belum mencintainya, tapi percayalah, cinta ada karena terbiasa, Papa yakin kalian nanti akan jadi keluarga bahagia."

Bayu tersenyum, kemudian mengangguk, walaupun jauh dari dalam hatinya ia ingin sekali menolak permintaan sang papa.

***