Sudah hampir lima bulan berlalu pernikahan Bayu dan Zahra tidak ada kemajuan, masih stagnan. Bayu yang mempertahankan sikap dinginnya dan Zahra yang masih mencoba meyakinkan suaminya. Hanya satu yang berubah dari Zahra, dia tidak lagi menggunakan kursi roda sekarang. Zahra sudah bisa berjalan seperti dulu, hanya saja sekarang ia harus menerima kenyataan pahit bahwa kenikmatan cara berjalannya telah berkurang. Zahra memang sudah bisa berjalan, tapi cara jalannya tidak bisa senormal dulu, dia agak pincang sekarang. Awalnya dia merasa sedih, apalagi setelah masuk sekolah dan melihat tatapan mengasihani dari teman-temannya membuat dirinya menjadi tidak nyaman.
Sekarang ini di rumah hanya ada Bayu dan Zahra, Bondan sedang keluar negri karena ada urusan. Selama itu pula mereka lebih banyak diam, jarang berkomunikasi. Paling hanya Zahra yang menawari Bayu untuk makan atau menyiapkan keperluannya, selainya mereka hanya diam layaknya oramg asing. ARTnya saja sampai tidak habis pikir dengan pasangan itu.
"Kamu sekolah hari ini?" Bayu mengamati istrinya yang sudah rapi dengan seragam SMA nya dan balutan kerudung yang menghiasi kepalanya.
"Iya, Mas. Kenapa?"
Bayu menggelengkan kepalanya, dia hanya bertanya. Tapi ada hal lain yang mengusiknya, entah kenapa dia jadi geli sendiri pada dirinya melihat sang istri memakai seragam SMA, dia masih tidak percaya telah menikahi gadis di bawah umur, benar-benar seperti pedofil.
Bayu berjalan melewati istrinya dan berjalan keluar dengan menenteng tasnya, tapi sebelumnya dia sudah memanaskan mobil. Saat memasukkan tasnya ke dalam mobil pandangannya malah beralih pada Zahra yang berjalan tertatih keluar dari rumah. Gadis itu menyangklong tasnya di punggung, saat sudah dekat dengan Bayu, Zahra menyodorkan tangannya, suaminya itu malah mengernyit heran.
Karena tak mendapat respon suaminya, Zahra akhirnya menarik tangan Bayu dan didekatnya dibibir lalu diciumnya, spontan saja Bayu terkejut mendapat perlakuan seperti itu.
"Aku berangkat, Assalamu'alaikum." Zahra tersenyum, kemudian kembali berjalan melewati Bayu, dia cukup tahu diri kalau suaminya tak akan mengantarnya ke sekolah, jadi lebih baik dia naik angkot saja.
"Ayo naik, saya akan antar kamu ke sekolah."
Zahra terkejut melihat mobil Bayu yang berhenti di depannya, apalagi saat gendang telingannya mendengar Bayu menawarinya tumpangan. Lelaki itu benar-benar mengajaknya berangkat bareng? Apa dia lagi di prank. Mungkin saja 'kan, setelah dia mengangguk tiba-tiba Bayu bilang 'Tapi boong.' Itu akan sangat lucu bukan.
"Saya tidak menawari dua kali kalau kamu masih saja bengong."
"Eh?"
Dengan gelagapan Zahra akhirnya segera membuka pintu mobil, tapi baru saja di bukannya sudah di suruh menutup kembali sama Bayu.
"Saya bukan supir kamu, jadi lebih baik duduk di depan!"
Zahra menurut saja, setelah menutup pintu belakang mobil dia beralih membuka pintu depan mobil dan duduk di kursi penumpang sebelah suaminya. Dalam perjalanan menuju sekolahan Zahra, mereka hanya saling diam, tidak ada percakapan yang berlangsung, Zahra yang ingin mengawali jadi bingung harus bertanya soal apa, ditambah lagi raut wajah suaminya yang terlihat datar, sedangkan Bayu dari tadi juga sebal dengan istrinya yang tak cerewet seperti biasanya atau hanya sekedar menyapa, entah kenapa dia jadi tidak suka kalau Zahra terlihat cuek seperti ini.
"Kenapa dari tadi melirik saya terus? Jangan dibiasakan, nanti naksir."
Zahra berdecak sambil menahan senyum. "PD sekali kamu, Mas."
"Lho, kamu tidak tahu saja diluar sana, saya banyak di gandrungi para wanita, seharusnya kamu bersyukur punya suami setampan saya."
Baru kali ini Zahra melihat suaminya berbicara panjang lebar. Lalu apa tadi katanya? Bersyukur mempunyai suami setampan dia? Narsis sekali.
"Masa?" Zahra pura-pura terkejut. Meskipun tidak di pungkiri kalau suaminya itu memang tampan.
"Perlu bukti?"
"Sebenarnya tidak perlu, emang Mas ganteng kok, tapi sayang kalau ngomong sering pedes."
Bayu yang awalnya tersenyum menjadi jengkel dengan perkataan terakhir istrinya. Padahal seharusnya dia bersikap biasa saja, meninggalkan rasa jengkel yang di hatinya, toh dia sudah biasa memperlakukan wanita seperti itu, bahkan puas jika wanita yang di buatnya kesal itu mengatainya tak berperasaan. Tapi mengapa dengan istrinya dia merasa jengkel.
"Kamu kecil-kecil berani mengatai saya, ya." Bayu berdecak sebal.
"Hahaha, maaf, Mas. Tapi kalau tadi Mas bilang banyak di gandrungi banyak wanita, kenapa di umur segini baru nikah, hmm?"
Bayu manatap istrinya sambil mengernyitkan dahi yang balas istrinya dengan tatapan jail sambil menggerakkan kedua alisnya. Dia tidak menyangka kalau bocah ini bisa membalik kata-katanya.
"Karena saya memang pemilih, tidak sembarangan asal memilih wanita untuk mendampingi saya."
"Begitu ya? Kalau begitu aku bisa dikatakan sebagai wanita beruntung dong, bisa dapetin, Mas."
"Iya, tapi saya yang tidak beruntung."
"Kenapa?"
"Karena kamu bukan wanita kriteria saya."
Zahra berdecak. 'Lemes sekali mulut lelaki ini.' Tapi dia tidak begitu sakit hati, biar saja Bayu hari ini menolaknya, tapi tunggu sampai dia berhasil meluluhkan hatinya, maka jika hari itu datang ia akan menertawakan Bayu karena telah menolaknya, ia akan membuat Bayu bahkan tidak bisa berpaling dari dirinya.
"Sudah sampai. Turun!"
Zahra mengangguk, kemudian melepaskan seatbelt yang melekat di tubuhnya, lalu membuka pintu mobil.
"Zahra berangkat ya, Mas. Hati-hati di jalan, cari uang yang banyak buat jajan aku nanti." Zahra tersenyum sambil melempar kecupan ringan di udara. Bayu yang melihatnya bahkan melongo tidak percaya, dia kira Zahra wanita kalem yang lebih banyak malu dan pendiam seperti awal pertemuannya, tapi makin kesini dia malah dikejutkan dengan perilaku centil istrinya.
"Sejak kapan bocil itu bertingkah aneh seperti itu?" Bayu menggelengkan kepalanya dan kembali menjalankan mobilnya keluar dari sekolahan Zahra.
Zahra langsung duduk di tempat duduknya yang sudah lama tak ia tempati, di sekolahan temannya memang belum ada yang tahu kalau dia sudah menikah. Mereka hanya tahu kalau gadis itu tidak masuk sekolah dalam waktu yang sangat lama karena mengalami kecelakaan. Untung saja dia dikaruniai otak cerdas sehingga bisa menyusul keterlambatannya karena sudah kelamaan di rumah.
"Hai, Ra. Bagaimana kabarmu? Wah, rindu sekali aku tak berjumpa, tapi kenapa sekarang kamu semakin cantik saja." Raka, salah satu temannya sekaligus mantan ketua osis di sekolahannya. Lelaki itu di kenal ramah, tampan, mapan dan kaya. Sempurna sekali sepertinya, tapi tidak bagi Zahra, meskipun Raka banyak di gandrungi kaum hawa di sekolahannya, tapi ia tetap memandang Raka sebagai teman biasa.
"Mulut buaya emang tidak pernah berubah ya." Zahra tertawa pelan yang dibalas dengan tawa terbahak oleh Raka.
"Ngomong-ngomong gimana kaki kamu?"
Zahra terdiam, entah kenapa sekarang ini dia terlalu sensitif jika menyangkut urusan kaki, meskipun orang itu hanya sekedar bertanya.
"Oh, maaf, Ra. Nggak perlu di jawab, kadang mulutku memang susah di kontrol." Raka tertawa, mencoba bergurau karena melihat ekspresi Zahra yang berubah.
Mengetahui bahwa teman lelakinya merasa tidak enak karena perubahan mimik wajahnya, Zahra segera tersenyum, ia memanag harus membiasakan diri dengan keadaannya sekarang bukan.
"Kaki ku baik, kok, Ka. Cuma ya... kamu tahu sendirilah, sekarang aku tak bisa berjalan normal seperti dulu lagi." Zahra lagi-lagi tersenyum.
"Tidak apa, tidak semua wanita akan di nilai bagaimana cara berjalannya maupun fisiknya kok. Toh, lagian kamu juga mempunyai kelebihan lain, otak cerdas misalnya, hahaha." Raka kembali tertawa, lelaki ini memang suka sekali tertawa, sifatnya memang humble.
"Tapi kamu aneh sekali, seharusnya begitu aku datang, kamu menanyakan kabar lain selain kaki dan kecantikanku. Kalau itu sudah biasa."
"Lho, tadi aku kan sudah bertanya, bagaimana keadaanmu, memang apalagi yang kurang."
"Kurangah, harusnya kamu tanya. 'Ra, hari ini kamu ada uang jajan nggak, nanti ku traktir makan sepuasnya di kantin."
Raka langsung tertawa mendengar penuturan Zahra kali ini. "Kamu dari dulu emang suka morotin aku, terus tadi bilang apa? Makan? Ya ampun, Ra, otakmu itu memang tidak pernah jauh dari yang namanya makanan."
Zahra tertawa kecil, memang sudah kebiasaan kalau dia memang banyak makan, hanya di rumah Bayu saja dia agak mengurangi porsinya karena sungkan. Satu lagi kelebihan yang dia miliki, banyak makan tapi tidak bisa gendut. Idaman wanita sekali.
Tidak lama setelah perbincangan mereka, bel sekolah kembali berbunyi, semua siswa yang tadinya masih di luar kelas segera berhambur memasuki kelas masing-masing. Suasananya masih sama memang, hanya saja tetap ada yang berbeda dari pandangan teman-temannya. Cara menatap mereka tidak lagi sama, selalu saja berfokus sama kakinya, apalagi dulu saat pertama kali melihat Zahra yang ke sekolah dengan tongkat, hampir seluruh penghuni sekolah menanyainya tentang kondisi kakinya, ditambah lagi dengan kondisi mengasihani, sungguh Zahra benar-benar risih, tapi mau gimana lagi itu udah konsekuensinya, dan tidak mungkin dia menegur mereka satu-satu, toh itu sudah menjadi wajar apabila diantara mereka ada yang berbeda, dia hanya berharap semoga saja kuat dengan perubahan baru yang ada pada dirinya sekarang, dan mulai saat itulah dia bertekad untuk terlihat kuat di depan teman-temannya agar pandangan mengasihani mereka tidak ada lagi.
***
Hallo, berjumpa lagi dengan author. gimana sama part ini? semoga banyak yang suka ya :)