Pagi yang cerah. Setidaknya itu yang dirasakan gadis muda yang sekarang telah menyandang status istri sahnya Bayu Prawira. Zahra memang tidak terlalu mendapat perhatian dari suaminya, tapi mertuanya begitu menyayanginya layaknya Ayah kandung. Mungkinkah ia dibilang beruntung?
"Zahra hari ini terapi 'kan, ya?" Bondan, papanya Bayu sekaligus mertuanya mencoba mengawali pembicaraan di sela-sela sarapan pagi yang lengang ini.
Zahra tersenyum, kemudian mengangguk. "Iya, Pa," ucapnya lalu memasukkan satu suapan ke mulutnya.
"Kamu dianterin siapa? Sama Bayu aja gimana?"
"Bayu ada rapat, Pa."
"Nanti biar papa yang gantiin, atau di tunda dulu, istri kamu lebih penting."
"Tap—"
Bondan memelototi anaknya yang hendak membantah, sedangkan Zahra merasa kikuk, tidak enak dengan Bayu.
"Zahra bisa sendiri, Pa. Nggak apa-apa, nanti biar minta tolong sama pak supir."
"Tuh, Pah, dia aja nggak keberatan kok."
"Bukannya nggak keberatan mungkin aja dia yang sungkan sama kamu. Tolonglah, Bay, buat istri kamu lho ini."
Dengan perasaan kesal akhirnya Bagus mengiyakan. Setelah selesai makan mereka bersiap pergi ke rumah sakit untuk terapinya Zahra.
"Mmm, Mas Bayu maaf ya udah ngerepotin." Zahra melirik suaminya takut-takut, dari tadi selama dalam perjalanan Bayu mendiamkannya.
Tidak ada sahutan dari suaminya, akhirnya Zahra memilih untuk diam. Sudah bisa dipastikan bukan kalau Bayu mengantarnya dengan sangat terpaksa.
Sesampainya di rumah sakit, Bayu membantu Zahra naik ke kursi rodanya. Raut mukanya masih terlihat dingin. Bayangkan saja, jika ada lelaki yang membantumu tetapi dia juga memasang muka datar, sudah terlihat 'kan, betapa tidak ikhlasnya dia.
"Mas Bayu kalau mau balik ke kantor nggak apa-apa, Zahra bisa sendiri kok."
"Kamu mau saya jalan kaki ke sana?"
"Bukan, nanti Mas Vino bisa sama supir, abis itu supirnya 'kan, bisa kembali ke sini buat jemput Zahra."
Beberapa detik lengang. Zahra hanya diam saat Bay uterus mendorongnya ke ruang terapi.
"Nggak perlu. Nanti yang ada malah drama sendiri sama Papa." Bayu membuka pintu ruang terapi setelah sebelumnya mengetuk pintu. Mereka memang sudah janjian.
"Wah, sudah datang ternyata. Mari Mbak Zahra, sudah siap 'kan?" Dokter wanita yang selalu mengontrol terapi Zahra itu bertanya pada pasiennya. Dan Zahra hanya mengangguk sambil melempar senyum. Gadis itu memang murah senyum sekali.
Sebelum terapinya di mulai, dokter ber name tag Arini itu bertanya tentang perkembangan Zahra selama di rumah.
Bayu mengamati Zahra yang mencoba berjalan kembali di tempat terapinya yang kanan kirinya ada pegangan tangannya. Meskipun sedikit tertatih, tapi gadis itu sudah lumayan bisa. Bayu tidak tahu sudah berapa kali gadis itu melakukan terapi, tapi jika itu belum lama, maka bisa di pastikan Zahra mengalami perkembangan yang pesat setelah tahu bagaimana cara berjalan gadis itu sekarang. Meskipun harus berpengan pada tiang penyangga kanan-kirinya.
Bayu hampir melangkah maju saat Zahra mau terjatuh dilangkah terakhirnya. Tapi beruntung gadis itu sigap berpegangan dengan dokter Arini yang berada di depannya. Zahra sempat mengucapkan terima kasih sambil tersenyum lebar.
Sebenarnya dokter Arini juga heran melihat Bayu yang dari tadi hanya duduk menyaksikan. Setahu dirinya, mereka adalah pasangan suami istri, tapi kenapa Bayu seakan bersikap masa bodo, bahkan tidak memberi semangat sama sekali pada istrinya seperti pasien-pasien suami istri sebelumnya yang pernah ia tangani.
"Kamu berapa lama terapi? Kenapa dokter Arinitadi bilang perkembangan cepat sekali?"
"Eh? Iya, kenapa Mas?" Zahra yang tadi melamun kurang memperhatikan perkataan suaminya. Bayu juga merutuki dirinya yang tiba-tiba sangat ingin tahu tentang istrinya. Bukankah dia sudah bilang kalau wanita yang ia nikahi hanya gadis kecil yang tidak ia cintai.
"Tidak apa-apa, anggap saja tadi saya tidak bertanya."
Zahra memutar bola matanya pelan. Apa susahnya hanya mengulang pertanyaan, toh tidak akan mengurangi jumlah kekayaannya, kenapa tidak mau? Meskipun sekarang Bayu tengah mendorongnya keluar dari rumah sakit, tapi mereka hanya saling diam sampai tiba di tempat mobil mereka terparkir.
"Kamu mau makan?"
"Kita sudah sarapan tadi pagi, Mas."
"Oh?" Bayu mengusap lehernya, kenapa dia jadi bertingkah aneh seperti ini. Bahkan sampai menanyakan hal yang seharusnya tidak perlu. Menawarkan makanan? Yang benar saja. Kemana sikap dinginnya yang ingin dia tunjukkan, bukankah dia sudah bertekad akan melepaskan Zahra setelah gadis itu menemukan pujaan hatinya. Lagi pula Zahra masih SMA, kalaupun dia memaksakan kehendak untuk bersama gadis itu, sudah di pastikan dia mirip pedofil.
"Lupakan saja, saya lupa."
'Efek usia memang membuat orang mudah lupa.' Ingin rasanya Zahra mengucapkan itu secara langsung. Heran saja dengan tingkah suaminya yang bodo amat.
Bayu berdehem. "Ayo saya bantu masuk ke mobil."
Zahra mengangguk, kemudian merangkulkan lengannya di leher Bayu ketika lelaki itu mencoba membantunya berdiri dan masuk ke dalam mobil. Hampir sepersekian detik keduanya saling menahan napas berada dalam jarak sedekat itu.
Sesampainya di rumah, Zahra mengucapkan terima kasih karena Bayu sudah mau menemaninya untuk pergi terapi. Tetapi lelaki itu hanya ber-hmm ria untuk menanggapi ucapannya, setelah itu melenggang pergi entah kemana.
Malamnya lelaki itu juga kembali begitu larut, tahu-tahu pas buka kamar ia melihat istrinya yang tertidur di atas kursi roda dengan kepa yang rebah di atas ranjang.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu harus menunggu saya, bukankah sudah saya bilang kalau pernikahan ini tidak mungkin berjalan selamanya."
Bayu membuka jasnya kemudian melemparkannya di keranjang cucian, setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi. Sebenarnya ia tadi mau memindahkan istrinya di atas kasur, tapi urung. Ia takut Zahra terbangun dan salah paham dengan apa yang telah dia lakukan.
Selesai mandi dia di kejutkan dengan Zahra yang ternyata sudah bangun dan melemparkan senyuman ke arahnya.
"Mas sudah pulang? Kenapa tidak membangunkanku? Apa Mas ada perlu sesuatu?"
Bayu memicing, kemudian mendekati istrinya dengan keadaan hanya memakai handuk saja. Dia bertelanjang dada.
"Kamu kenapa masih berperan sebagai istri yang begitu perduli dengan saya, bukankah kemarin sudah saya jelaskan kalau saya akan melepaskanmu jika sudah menemukan pujaan hati." Tatapan Bayu mengintimidasi Zahra, bahkan membuat wanita itu tak bisa berkutik. Tapi ia mencoba untuk menjawab Bayu, bukankah dia sudah bertekad untuk bisa meluluhkan hati suaminya.
"Aku 'kan, memang istrinya Mas Bayu, bukankah wajar ya kalau seorang istri itu perduli dengan suaminya." Zahra tersenyum.
"Bukan itu yang saya maksud. Kamu tidak paham maksud saya?"
"Paham."
"Bocah SMA seperti kamu berani menjawab juga yan ternyata."
Zahra terkekeh. "Aku memang begini, Mas. Kalaupun Mas Bayu memintaku dari sekedar menjawab pun, aku siap."
Bayu mendelik, tidak percaya apa yang baru saja di bicarakan istrinya. Dia lebih dari sekedar paham apa yang dimaksud Zahra.
"Saya tidak menyangka pikiran kamu sampai sejauh itu. Coba bicara sekali lagi."
"Sekali lagi."
"Ck! Bukan itu yang saya maksud."
"Lalu?"
"Sudah lupakan saja, bocah kecil seperti kamu ini bisa membuat saya pusing malam-malam begini."
"Kalau Mas pusing, saya bisa meredakannya dengan memijat."
Bayu menarik sudut bibirnya ke atas, sepertinya mengerjai Zahra tidak ada salahnya. Biar lain kali wanita muda di depannya ini sedikit jera.
"Sayangnya saya tidak mudah sembuh jika hanya sekedar dipijat."
"Lalu?"
Perlahan langkah Bayu semakin dekat dengan istrinya, dia mencondongkan tubuhnya ke bawah dan berbisik pelan di telinga Zahra.
"Saya butuh kehangatan dan kepuasan supaya bisa meredakan pusing di kepala saya." Bayu kembali menegakkan tubuhnya kemudian memasang senyum sinis. Ingin melihat bagaimana raut wajah istrinya. Tapi ternyata dugaannya meleset, reaksi istrinya jauh dari yang ia inginkan.
"Begitu ya? Kalau Mas mau itu, saya siap." Zahra tersenyum sambil mengerlingkan matanya. Dia sendiri tidak tahu kenapa bisa seberani itu dengan suaminya.
'Anjir, nih bocah nggak ada takutnya.'
***
Hallo, salam sapa dari author. gimana sama part ini? semoga banyak yg suka ya. terima kasih buat yang udah baca :)