♧♧♧ happy reading. ♧♧♧
🌈🌈🌈
Izinkan aku merengkuh
Pada tubuh yang kerapkali angkuh
Menolak untuk kuselami lebih dalam
Lautan yang warnanya segelap malam
Dewiku, izinkan aku mengerti
Tentang duka yang kau lewati
Bersandarlah padaku tanpa ragu
Kan kutepis segala ambigu
Kan kuundang rasa bahagia
Pun, kuliputi harimu penuh suka ria
🌈🌈🌈
Sang dewi bergumam pelan, seolah berpikir apa yang harus ia katakan untuk menjawab pertanyaanku.
"Semuanya pasti akan kulakukan, Dewiku. Asal kau tak lagi tersiksa, asal kau senantiasa bahagia. Setidaknya, izinkan makhluk fana ini melakukan hal baik padamu sebelum ia pergi menemui Kharon untuk terakhir kali," ucapku serius.
Sang dewi lantas terkekeh, "Kharon? Dia pasti sedang menunggumu datang sebagai arwah, setidaknya setelah kau membuatnya kesal setengah mati."
Aku memejamkan mata saat bayangan tentang kelakuan bodohku terlintas sekilas, benar, Kharon pasti sedang menungguku datang sebagai arwah dan akan membuangku ke dunia bawah dengan senang hati. Dia pasti benar-benar kesal karena tingkah bodohku beberapa bulan yang lalu. Ah, ini bukan waktunya nostalgia!
"Dewiku, apa yang harus kulakukan?" ulangku sabar.
Tatapan sang dewi beralih padaku, meninggalkan tatap hamparan air danau yang tampak tenang. Bibirnya terbuka ragu, "Jangan meninggalkanku sebelum aku yang pergi atas perintah Sang Nyx," ucap Selene dengan nada bergetar yang mampu membuatku mencelos.
Pasti ada sesuatu yang besar tentang diriku sampai ia berkata demikian, ramalan kematianku, kah?
Kemudian, ia melotot tak percaya. Ah, dia pasti bisa membaca pikiranku.
"Balthazar, jawab aku." Sang dewi menatapku tajam, lekas mengintimidasiku untuk segera menjawab pertanyaannya.
"Apa maksudmu, Dewiku? Aku tidak akan meninggalkanmu, bukankah aku ditugaskan Dewi Malam untuk terus menjagamu? Lantas, bagaimana aku bisa memalingkan pandangku sejenak sedang ada sosok rupawan yang perlu aku awasi setiap saat?" tanyaku, balik menatapnya dengan tatapan lembut.
Berhasil, kululuhkan tatap tajamnya dan menggantinya dengan tatapan menenangkan seperti biasanya.
"Aku hanya takut ... kau pergi lebih awal," jawabnya pelan.
"Tidak mungkin, mana bisa aku meninggalkanmu sebelum Sang Nyx mengatakan padaku bahwa tugasku telah usai?" tanyaku balik.
"Jika aku melakukannya, pasti akan kudapat tiga siksa paling menyakitkan. Pertama, amukan Sang Nyx dan Ratu Theia, kemudian lonjakan amarah dari Helios, dan terakhir, kekecewaan pada diriku sendiri karena tidak bisa menjagamu sampai waktu yang telah ditentukan." Kutatap iris kelabunya, balik mengintimidasinya agar percaya akan sugestiku.
Kudengar tawa renyahnya, "Kau memang benar-benar Pahlawanku, Balthazar. Aku tidak bisa memungkirinya, tak pernah kutemukan nada bercanda dari setiap ucapanmu," ucap Selene lembut dan kembali membelai rambutku.
Aku menatapnya teduh, "Bagaimana aku bisa bermain-main dengan ucapanku pada seorang dewi yang begitu anggun nan rupawan?" tanyaku serius.
Tangannya berhenti membelai rambutku, memberi celah padaku untuk mendongak dan menatapnya penuh arti.
"Apa? Kenapa? Ada apa, Dewiku?" tanyaku cemas saat paras menawan sang dewi terdiam menatapku lamat.
Selene terkekeh, "Kenapa kau tidak pernah mengatakan pernyataan? Dari tadi kau selalu menjawabku dengan berbagai macam pertanyaan."
Aku ikut terkekeh, lega karena sang dewi terlihat tenang kembali. "Kau tahu, Dewiku, aku tak pandai menyatakan pernyataan. Bukankah selama ini aku selalu melontarkan pertanyaan?" jawabku sembari merebahkan kepalaku di pangkuannya lagi.
Tangannya terangkat, kembali membelai suraiku sayang. "Dan aku selalu suka saat akan menjawab pertanyaanmu."
Aku tersenyum, "Jadi, aku akan lebih banyak melontarkan pertanyaan ketimbang pernyataan, ya?" ajuku sambil mendongakkan kepala lagi.
Kulihat raut wajahnya berubah jenaka, terlihat menawan bahkan saat tertawa. "Aku suka semuanya, jadi tidak ada batasan."
Kemudian, hening sejenak.
Kita hanya saling tatap tanpa beranjak.
"Ada apa Pahlawanku?" tanya sang dewi, menghentikan belaian tangannya pada rambutku.
Jari lentiknya turun, menyapa wajahku yang menatapnya penuh damba. "Tidak apa, hanya terlalu senang."
"Apa aku yang membuatmu senang?" tanyanya yang membuatku mendelik.
"Pertanyaan macam apa itu, Dewiku? Tentu saja, bukankah sudah kubilang berkali-kali bahwa kau sumber bahagiaku? Jika tidak ada dirimu, bagaimana aku bisa hidup?" tegasku meski dengan mata bergulir cemas, Selene tidak akan meninggalkanku, kan?
Ia terkekeh geli melihat raut wajahku yang seketika berubah cemas, "Aku bisa membaca pikiranmu, Balthazar. Aku tidak akan meninggalkanmu, kenapa kau begitu cemas?"
Aku mengacak rambutku frustasi, "Bagaimana aku tidak cemas? Membayangkannya saja sudah nyaris membuatku gila."
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Pahlawanku," jawab Selene anggun, terdengar serius meski diucapkan dengan nada rendah yang menawan hati.
"Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku hidup tanpamu, aku pasti hilang arah, terpelosok dalam jurang terjal yang membuatku tak mampu bangkit kembali," ucapku, lagi-lagi terdengar putus asa.
Selene tak melunturkan senyumnya, "Kau tetap akan bisa hidup, bukankah sudah kubagi sebagian terang sang rembulan padamu?"
Aku menggeleng, "Itu tak akan berfungsi, itu akan percuma jika kau tak ada. Aku membutuhkanmu, persetan dengan terangmu, Dewiku .... Aku, aku hanya butuh kau ada disampingku sampai ajal menjemput," ucapku kalang kabut, kenapa dari tadi pembicaraan mereka seolah-olah hendak mengucapkan selamat tinggal?
Selene menggeleng pelan, tangannya terulur untuk membelai lagi paras nanarku. Menyalurkan hangat yang memaksaku mau tidak mau untuk mengurangi gurat-gurat kecemasan yang tidak berangsur membaik sedari tadi. Tentu saja, kata-kata Selene seolah meramalkan nasib keduanya esok hari.
"Aku akan terus bersamamu, Pahlawanku."
Aku mencari kebohongan ditatapnya, namun yang kutemukan malah keseriusan yang dirangkai lembut nan hangat.
Lagi, kami terdiam.
Saling tatap tanpa kata.
Hingga kemudian, bibirku terbuka. Menyuarakan pertanyaan konyol yang mungkin takkan pernah terjadi. "Bisakah aku menjadi salah satu dari konstelasi?"
Selene tertegun, tampak tidak percaya dengan pertanyaanku. Lantas ia menatapku lamat, "Apa kau begitu menginginkannya?"
Aku mengangguk yakin, "Tentu, Dewiku .... Aku masih ingin terus bersamamu walau tak lagi bisa merengkuhmu."
Butiran kristal itu jatuh tanpa aba-aba, Selene menangis. Untuk pertama kalinya, aku mengerti sang dewi bulan tengah menangis dengan tatap nanar. "A-apa?" ucapnya terbata, seolah dalam kata-katanya masih dipenuhi ketidakpercayaan dan menyuruhku untuk mengulanginya.
"Aku bukan makhluk abadi sepertimu, atau bukan Raja yang barangkali bisa mempersuntingmu, apalagi manusia setengah dewa yang bisa terus melindungimu tanpa takut mati. Aku hanya manusia biasa, yang saat bertarung masih takut akan kematian. Aku hanyalah pemuja Dewi Bulan, yang amat menawan. Aku manusia fana, yang mungkin bisa saja mati esok hari," ucapku panjang lebar. Menjelaskan lebih rinci kata-kata yang mungkin terdengar ambigu beberapa saat lalu.
"Oh, Balthazar, Pahlawanku!" seru sang dewi masih diliputi isak tangis, ia menjajarkan tubuhnya dengan tubuhku yang tengah berlutut.
✨✨✨
Datang gelisah
Diserbu resah
Aku takut semakin terpelosok
Tak mampu keluar dan menyosok
Pada tempat terjal
Alih-alih dangkal
✨✨✨
⭒⭒⭒ to be continue. ⭒⭒⭒