Chereads / ❥ theá mou, Selene ☙ / Chapter 3 - 03 -theá mou, Selene-

Chapter 3 - 03 -theá mou, Selene-

♧♧♧ happy reading. ♧♧♧

🌈🌈🌈

Maka Dewiku, tetaplah menjadi terangku

Tanpa pamrih ajaklah aku

Menjadi salah satu konstelasi

Bisakah sang Nyx memberiku toleransi?

Bisakah Ratu Theia memberiku ampunan

Atas kelancangan yang aku lakukan

Agar bisa terus bersamamu

Meski tak lagi bisa merengkuhmu

🌈🌈🌈

Kurasakan rengkuhannya yang mendekapku hangat, "Aku tak mampu berucap lagi," bisik sang dewi.

Tanpa sungkan kubalas pelukannya, "Dan aku tak mampu berbohong bahwa aku baik-baik saja tanpamu. Aku benar-benar takut kehilanganmu dalam gelap gulita yang abadi."

Saat Selene hendak menjawab lagi, terdengar suara menggelegar dari utara, "Selene! Sudah kubilang jangan dekat-dekat dengan tungau itu kecuali jika Nyx memerintahkanmu, apa kau tuli?!"

Helios, itu suara emas sang dewa matahari. Ia sangat tidak menyukai jika adik satu-satunya harus menghabiskan waktu dengan tungau --ya, sebut saja aku begitu. Karena sejatinya, ia menganggap semua manusia yang mendekati sang dewi bulan dengan bentuk cinta yang berlebih adalah seekor tungau.

Selene melepas rengkuhannya perlahan dan menatap saudara laki-lakinya dengan tenang. "Mari pulang, tugasmu sudah selesai dan beberapa saat lagi aku harus mengitari bumi sampai subuh. Tidakkah kau iba padaku?" ucap sang dewi bulan lekas berdiri, ia memberikan senyum terbaik padaku dan berjalan mendekati saudara laki-lakinya.

Helios melemahkan tatapannya, tak tega terus menatap sang adik dengan amarah yang menggebu. Dibuangnya lava yang sudah siap meledak sedari tadi dan digantikan senyum manis khas miliknya. "Tentu, Selene."

Keduanya bersanding dengan anggun, nampak jelas bahwa dirinya, seorang Balthazar Cyrus sangat tidak sederajat dengan mereka.

Sebelum cahaya terang benderang itu meredup, ia dapat melihat wajah rupawan sang dewi bulan yang menatapnya lembut. Disusul wajah penuh amarah yang mati-matian disembunyikan sang dewa matahari padanya karena telah lancang menyentuh tubuh suci adik semata wayangnya.

Kemudian, sinar itu lenyap. Mereka telah kembali ke tempat asal mereka, sebuah tempat yang tak mungkin terjamah manusia biasa sepertinya.

Aku menghela napas panjang, selama tiga tahun terakhir ini, para dewa-dewi muda dikirim untuk menaungi desa mereka yang terus-terusan dilanda bencana.

Dahalu kala, para nimfa yang seharusnya menjaga keseimbangan alam di wilayah mereka mendadak lenyap dan lari kalang kabut. Alam yang ada di sekitar mereka mulai rusak dan tak terkendali, setidaknya, para penduduk awal sampai tiga tahun terakhir mampu bertahan dengan memanfaatkan alam seadanya. Hingga akhirnya, Gaia --sang dewi bumi-- turun tangan. Ia mengatakan bahwa tempat yang mereka pijak sampai sekarang adalah tanah bekas peperangan yang masih tercium kuat aroma darahnya. Itu sebabnya nimfa menjadi sakit-sakitan hingga akhirnya mati dan tidak sanggup hidup di sini.

Sang dewi bumi mengirimkan ketiga cucunya untuk membantu desa mereka, tidak lupa sang dewi malam yang ditugaskan memantau ketiga cucu dari dewi bulan. Cucu pertamanya adalah Eos --dewi fajar yang datang pada tahun pertama, kemudian disusul cucu keduanya, Helios --dewa matahari yang penuh wibawa dan angkuh, dan yang terakhir adalah Selene --dewi bulan, dewi paling menawan yang saat itu datang pada tahun kedua.

Desa mereka perlahan-lahan makmur dan jaya, para penduduk benar-benar menghormati dan memberikan banyak pemujaan yang pantas dan layak pada dewa-dewi yang telah mengangkat kehidupan mereka.

Salah satunya adalah aku, aku begitu antusias dan berjanji akan menikmati hidupku lebih baik. Hingga akhirnya, Nyx datang dan menyampaikan permasalahannya.

Dewi perwujudan malam itu ingin aku menjaga Selene --dewi bulan yang katanya putri terakhir dari Ratu Theia.

Selene yang saat itu datang masih dirasa kurang matang oleh sang Nyx. Ia memerintahkan manusia fana --ya, itu aku-- untuk menjaga Selene dengan diberkahi kekuatan darinya.

Sejak itulah, aku selalu mengikuti sang dewi rupawan itu. Tak pernah kuhabiskan hariku tanpa bertemu dengannya dan mengikutinya ke sana kemari mengelilingi desa. Aku bahagia, tentu. Tak akan kuelak, aku jatuh hati pada saat menatap parasnya pertama kali.

Awalnya, semua berjalan normal. Hingga akhirnya, perasaan terlarang ini muncul. Aku mencintainya, selayaknya laki-laki mencintai perempuan. Aku mulai takut kehilangannya, padahal tentu saja aku akan mati sebelum memilikinya. Dan, sang dewa matahari mengetahuinya, dia bisa melihat aura tak wajar yang nampak saat melihatku bersama adik semata wayangnya.

Dia selalu mendecih tidak suka, atau diam-diam menyudutkanku di lorong ujung kuil sambil membawa tombak panjang dan mengucapkan berbagai kata ancaman jika aku berani menyentuh Selene dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Katakanlah aku gila, ah, memang benar. Aku tidak takut dengan ancamannya, racun Eros benar-benar menghilangkan rasa takutku. Dewi cinta itu benar-benar membuatku lupa akan dunia, dan yang pasti ... membuatku lupa akan jati diriku sebagai manusia yang takkan pernah mampu menyandingnya.

"Balthazar," sapa suara yang membuatku langsung tersadar dari angan lama.

Aku menoleh, mencari sumber suara yang ternyata berjarak dua meter dari arahku. Dahiku mengernyit heran, 'Siapa wanita bergaun mewah itu?' batinku.

Wanita itu melangkahkan kakinya, memutus jarak antara dirinya denganku. "Apa aku memang selalu mudah untuk dilupakan?" tanyanya yang membuat dahiku semakin kernyitan.

"Ah, kau benar-benar menyakiti hatiku, Balthazar." Suaranya dibuat-buat agar terdengar sedih.

Aku berpikir keras, tidak mungkin Selene kembali dan menggunakan wujud manusia yang tidak aku kenali. Sekalipun aku tak bisa mengenalinya, sinyal spontan dari tubuhku pasti akan langsung mengenalinya jika itu Selene. Dan catat! Selene tidak akan pernah menggunakan gaun mewah seperti wanita dihadapannya, ia lebih memilih pakaian terbuka dengan rancangan sederhana ketimbang gaun mewah dengan panjang yang di atas mata kaki.

Wajah wanita dihadapannya berubah bingung, "Apa ini? Kau membandingkanku dengan Selene? Tentu saja berbeda!" tawanya mulai terdengar, wanita itu tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya.

Aku semakin bingung, apa maksudnya? Wanita ini bisa membaca pikiranku? Berarti ia .... "Oh, Eos, Dewiku!" seruku setelah cukup lama bergulat dengan memoriku.

"Ya Dewa, kenapa kau lama sekali mengenaliku?" Eos --dewi fajar dengan penampilan wanita dewasa itu menghapus sisa air mata yang tercipta karena tawanya tadi.

Aku menggelengkan kepalaku, merasa bodoh dengan memoriku yang tak mampu mengingat penampilan terakhir sang dewi fajar sebelum berpamitan pergi ke pulau lain. Ah, atau aku yang terlalu sibuk mencintai Selene sampai melupakan itu? Astaga, aku benar-benar teman yang buruk.

Eos tersenyum miring, ia mengajakku duduk di tempat yang menjadi saksi bisu percakapan terpanjangku dengan Selene beberapa saat lalu.

"Benar, kau terlalu sibuk mencintai Selene sampai melupakan teman baikmu ini, oh, aku benar-benar sakit hati!" balas Eos tanpa dosa, dia benar-benar suka membuatku malu dengan mendengarkan suara hatiku kemudian mengolok-oloknya sampai puas.

✨✨✨

Takdir yang membawaku

Pada kerupawananmu

Tak mampu kuberpaling

Sosokmu membuatku terpelanting

Jatuh pada keindahan

Terpelosok menawan

Indahmu membuatku terperangkap

Pada sosok yang tak mampu aku dekap

✨✨✨

⭒⭒⭒ to be continue. ⭒⭒⭒