♧♧♧ happy reading ♧♧♧
🌈🌈🌈
Parasmu rupawan
Indahmu tak karuan
Mana bisa aku berkedip?
Yang ada dirimu lenyap
Tak berbekas
Terbawa sarkas
Jadi kutatap saja tanpa henti
Walaupun akhirnya aku mati
🌈🌈🌈
"Eos, aku minta maaf. Sungguh, akhir-akhir ini aku juga sibuk berkelana menemani Selene ke pulau lain, kumohon pengerti--"
BUK!
Eos memukul punggungku seperti biasa, dia kembali tertawa terbahak-bahak. Sungguh, dia adalah dewi paling ramah dan frontal yang menaungi desa mereka. Beberapa dari penduduk desa ini bahkan pernah bercanda langsung dengannya tanpa takut dihukum pancung, dia benar-benar terbuka pada semua orang.
"Kau selalu terlihat konyol saat meminta maaf, harusnya kau tahu itu, Balthazar," ucap sang dewi menyudahi tawanya. Ia mengeluarkan beberapa barang dari tas selempangnya.
"Ampun, Dewiku ... aku memang payah," akuku menunduk penuh sesal.
"Sudah kubilang jangan meminta maaf, kau terlihat konyol!" seru Eos menatapku kesal, walau terselip nada bercanda, namun rautnya seolah-olah ia marah besar.
"Astaga, kumohon. Ampuni aku, kenapa kau begitu marah? Apa yang harus kulakukan?" tanyaku bingung.
Alih-alih mendengar pertanyaanku, sang dewi fajar malah terdiam dengan tatap kosong.
'Aku terlalu marah melihatmu yang begitu mencintai adikku, sedangkan aku mencintaimu begitu besar dan melimpahkanmu banyak berkah. Sulitkah memandangku sebentar saja?'
"Dewiku ...." panggilku, berusaha menyadarkan.
// •Eos POV• //
Aku tersadar dan melemparkan sebuah senyum lebar, "Bagaimana peragaanku? Bagus kan?" tanyaku, menepis sakit yang mulai menjalar pada ulu hatiku.
Kulihat Balthazar menghela napas lega, "Astaga, aku benar-benar takut kau akan marah besar dan menenggelamkanku pada lautan."
Aku terkekeh, mana tega?
Kuserahkan beberapa bingkisan yang kubeli khusus untuk laki-laki dihadapanku ini, ia menerimanya dengan senang hati dan tampak antusias saat melihatnya satu persatu.
"Ini indah sekali, Dewiku," ucapnya kagum.
Aku kembali tersenyum miring, Balthazar memanggilku sama seperti saat ia memanggil Selene.
'Dewiku'
Aku terlalu senang saat mendengarnya dulu, sampai tidak sadar bahwa sebenarnya itu berbeda.
Ya, kata-katanya sama.
Namun suara dan atensinya tetaplah berbeda.
Kami orang yang berbeda, mana mungkin mendapat perlakuan sama dari laki-laki bernama belakang Cyrus ini?
Dia memanggil Selene penuh cinta dan perhatian, tak pernah kudengar ia lelah menyuarakan panggilan yang selalu membuat hatiku senang dan sekarat secara bersamaan. Sedang dia selalu memanggilku dengan hangat, sebagai seorang teman, tak pernah lebih.
'Oh, Balthazar, mengapa tak pernah kau palingkan sejenak pandangmu padaku?'
// •Eos POV end• //
"Ini sudah hampir petang, kau harus segera kembali, Dewiku." Aku berdiri dan mengulurkan tanganku untuk membantu dewi fajar itu berdiri.
Eos menerima uluran tanganku dan berdiri sambil meregangkan otot-otot tubuhnya. "Ya, aku harus segera kembali, aku sensitif dengan Nyx dan Selene. Mereka bisa membakarku hidup-hidup!" ucapnya jenaka.
Aku terkekeh, "Tidak mungkin," desisku.
Sang dewi fajar memilih acuh dan tidak ambil hati dengan ucapanku barusan. Ia berlari kecil untuk menjauh dariku, tentunya untuk teleportasi, dan aku segera menjauh. Bisa-bisa aku yang terpanggang matang saat tidak sengaja terkena cahaya terang itu.
Sebelum lenyap, Eos tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Aku membalasnya seraya berkata, "Sampaikan salamku padanya, aku sudah rindu!" kataku, seolah tidak tahu diri. Padahal seharusnya aku yang bilang rindu pada Eos karena sudah berpisah hampir satu tahun, namun yang kulakukan malah menyuruhnya untuk menyampaikan salam rinduku pada Selene.
Tapi biarlah, kami bersahabat baik.
Dia bahkan membalasnya dengan senyum lebar sampai matanya terlihat sipit seperti Sanyī.
Mengenai Eos, dewi fajar yang terlihat lebih dewasa ketimbang Helios dan Selene itu sudah menjadi teman dekatku sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di desa ini.
Entahlah, sejak awal aku dan Eos tak pernah canggung. Kami selalu dekat dan berbagai cerita, begitupula dengan penduduk desa ini yang juga dekat dengannya. Aku juga selalu menjadikannya tempat bercerita, dia sudah kuanggap sebagai kakak perempuanku sendiri.
Anehnya, Helios tak pernah marah ataupun sampai menyudutkanku di lorong pojok kuil sambil membawa tombak kebanggaannya. Ia bersikap biasa, terlalu biasa sampai membuatku terheran-heran. Apakah dia salah makan?
Tapi nyatanya, tidak.
Dewa tak butuh banyak makan untuk menjernihkan otaknya.
Mereka sudah terlahir sebagai dewa, mereka telah sempurna sejak lahir ke dunia.
Ah, atau mungkin Helios lebih mempercayai Eos saat akan dekat dengan manusia manapun karena hidupnya lebih lama dan merupakan saudari tertua di antara mereka?
Hm, atau mungkin Selene pernah memiliki masa lalu yang buruk dengan dicintai manusia melebihi kadarnya sehingga Helios sangat membenci manusia yang mencintai dan memuja adiknya tanpa tahu malu?
Entahlah, manusia fana sepertiku mana tahu rahasia semesta yang seperti itu. Setidaknya, hidup tanpa dibenci dengan dewa dan dewi manapun sudah merupakan berkah besar.
Sepeninggal Eos, aku selalu menghabiskan waktu sendirian saat berhadapan dengan Helios. Biasanya Eos pasti datang dan melerai mereka, namun beberapa bulan terakhir ini aku menghadapi amukan Helios seorang diri tanpa bantuan Eos apalagi Selene.
Selene tak pernah tahu tentang perlakuan buruk kakaknya padaku, Helios selalu bisa menyembunyikannya. Sekalipun Selene mengetahuinya, ia pasti akan menyeret Helios tanpa sepatah kata dan mengobati luka sayat di hati dan kulitku dengan sangat lembut.
Sebenarnya, Eos juga begitu. Namun sang dewi fajar tak pernah berhasil menyembuhkan luka sayat yang disebabkan Helios di relung hatiku, hanya Selene yang bisa.
Ah, benar juga. Aku sudah lama tak bercerita tentang Selene pada Eos. Dulu, Selene selalu menjadi makanan pembuka di setiap awal aku dan Eos berjumpa. Wanita itu selalu mendengarkanku dengan seksama saat aku mulai bercerita tentang adik perempuannya, ia tak pernah irit bicara atau terlalu banyak berbicara saat kita membicarakan Selene. Eos selalu menjadi pendengar yang baik dan memberikan saran yang tepat tanpa bertele-tele.
Namun, tiba-tiba ada urusan mendadak yang harus segera ia selesaikan. Menstabilkan hubungan antara Kerajaan Timur dan Barat yang memanas awal tahun lalu, untunglah sekarang ia sudah kembali. Itu artinya, aku bisa kembali berbagai cerita dengannya lagi, bukan?
Semoga saja Eos tidak sibuk dan tetap seperti dulu, mau meluangkan waktunya untuk mendengar celotehanku tentang adik perempuannya dan menanggapinya dengan alasan bijak. Tentunya, aku harus mau membelikan setumpuk permen dan manisan untuknya.
Katanya, itu bayaran karena telah menyewa jasa konselingnya.
Ah, Eos benar-benar teman terbaik yang pernah kumiliki. Semoga saja dia juga berpikir demikian.
✨✨✨
Kami bersahabat baik
Bahkan seperti kakak beradik
Walau nyatanya berbeda genetik
Kami sama-sama suka air gemericik
Berebut permen sampai jungkir balik
Sedekat itu sampai seolah melanggar kode etik
Ah, mana mungkin kami saling tertarik?
✨✨✨
⭒⭒⭒ to be continue. ⭒⭒⭒