05
♧♧♧ happy reading. ♧♧♧
🌈🌈🌈
Eos telah datang
membagi terang
Sang Fajar
telah pijar
Hiruk pikuk melanda
namun Engkau tak ada
Sepi terasa
menusuk rahsa
Dimana Engkau, Dewiku?
aku mengaku
Rasanya nyaris gila
aku tak pernah rela
Saat kau hilang sekejap mata
terbawa kala dengan nyata
🌈🌈🌈
Pagiku dibangunkan paksa oleh suara ramai dari balai kota. Ah, sepertinya para penduduk dari desa dan kota mulai berkumpul untuk merayakan kehadiran Eos saat fajar mulai menyingsing.
Ya, aku harus bangun dan memberikan sambutan juga. Aku benar-benar tidak mau dianggap sebagai teman yang jahat lagi.
//•Author POV•//
Tapi, udara pagi ini benar-benar membuatnya nyaman bergelung di kasur reyot yang sudah menemaninya sejak umur satu warsa.
Tiba-tiba, pria itu bangkit dengan cepat. Ia mendadak semangat saat terlintas sekilas wajah sang dewi bulan yang tengah terkekeh ketika melihat keterlambatannya dulu.
"Selene pasti datang di pesta penyambutan, aku harus segera menyusul!" serunya.
Pria itu segera membersihkan tubuhnya dan memilih beberapa potong pakaian yang sekiranya 'tidak memalukan', bukankah nanti ia juga harus bertemu dengan Helios? Ah, tetap saja. Sebagus apapun yang nanti ia kenakan, tak akan merubah pandangan sang dewa tentangnya. Ia adalah tungau, tentunya tidak lebih baik dari unggas.
Setelah dirasa cukup 'pantas' dan tampil gagah, Balthazar berjalan keluar sambil membawa beberapa bingkisan.
Benar saja, balai kota penuh dengan hiruk pikuk manusia. Semua penduduk benar-benar merayakan kembalinya sang dewi fajar dengan semangat dan penuh antusias.
Balthazar menerobos kerumunan dengan susah payah sambil sesekali mengedarkan pandangannya, mencari sosok rupawan yang selalu menjadi terang dalam hidupnya.
"Dimana Selene? Bukankah ia selalu berada di tempat yang mudah dijangkau olehku?" bisik Balthazar, mulai cemas karena pikiran buruk menyertainya.
"Ah, ataukah di mimbar?" bisiknya lagi dan mulai mengarahkan atensinya pada mimbar besar yang masih berjarak 500 meter darinya, tentunya dipenuhi oleh lautan manusia yang berebut ingin memberi hadiah dan meminta berkah sang Eos.
Balthazar sudah bertekad, ia harus menerobos kerumunan ini untuk mencari keberadaan Selene. Namun, jika di mimbar tidak ada sosok menawan itu, apa yang harus ia lakukan?
Pria itu menggeleng kuat, ia harus percaya bahwa Selene sekarang ada di mimbar menemani kakak perempuannya. Ya, Balthazar harus percaya akan sugestinya sendiri.
Ia terus berusaha menerobos keramaian. Ah, rasanya lebih susah menerobos kerumunan daripada mengalahkan 100 pasukan dari Utara yang pada dasarnya adalah prajurit terlatih.
Cacian dan makian mulai terlontar, menghujani Balthazar yang secara tidak tahu diri lewat dan mengacaukan konsentrasi mereka di hari yang dianggap sakral ini.
Hingga akhirnya, Balthazar sampai di mimbar. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan Selene.
Nihil.
Yang ia temukan hanyalah Eos yang berdiri anggun di bagian tengah mimbar, Helios yang tengah menyadari keberadaannya dan menatapnya dengan angkuh, Ratu Theia yang juga terlihat anggun dan berdiri di sebelah Eos. Ah, bahkan ada Gaia yang Anggun dan Ouranous yang Agung! Tidak ketinggalan Sang Nyx yang sedari tadi duduk dengan tingkah yang tidak nyaman, dewi malam itu tampak risih dengan pakaian serba hitamnya. Sebenarnya bukan karena pakaiannya --karena ia sangat-sangat membanggakan warna hitam dan gelap-- namun itu pasti karena Helios membuat matahari hari ini begitu terik agar memicu semangat para penduduk, --yang malah memicu emosi sang dewi malam dan membuat ibu dari Thanatos itu terus bergumam tidak jelas.
Tubuhnya mendadak luruh ke tanah, ambruk. Tidak peduli tatapan aneh para penduduk dan teriakan marah orang-orang yang berada di belakangnya --merasa terganggu karena ia duduk di tempat sangat-sangat tidak tepat.
Pasti terjadi sesuatu, tidak mungkin Selene menghilang tanpa kabar seperti ini. Lagipula, sekalipun mendadak, bukankah pasti akan ada pengumuman?
Jika tidak, pasti terjadi hal buruk.
Ya, Balthazar yakin akan hal itu.
Pria itu mengacak rambutnya frustasi, pikirnya mendadak kalut tanpa komando.
Hingga tiba-tiba, ada tangan besar mengamitnya. Memisahkannya dari keramaian yang membuat dadanya sesak secara spontan. Telinganya berdenging, kepalanya pusing bukan main.
// •Balthazar POV• //
Bisikan-bisikan itu mulai terdengar, nampak beberapa siluet sosok menawan yang tengah tersenyum dalam benakku.
"Akh!" teriakku kesakitan, bersamaan dengan tarikan dari tangan besar yang sedari tadi mengamitku dengan paksa.
Suara dan bayangan dalam benakku seolah berebut menarik fokusku, aku memejam kuat dan menahan sakit yang tiba-tiba terasa di ulu hatiku.
"Akh," keluhku nyaris tak terdengar.
Suara yang kurindukan terdengar menyapaku dengan anggun, wajah yang amat menawan itu terlintas dengan senyum rupawan.
"... Ar ...."
Dewiku?
"... Zar ...."
Dewiku, dewiku ....?
"... Azar ...."
Dewiku, kau ada dimana?
"... Hazar ...."
Dewiku, jangan ditinggalkan aku!
" ... Thazar ...."
Kumohon, aku benar-benar akan hancur.
"... Althazar ...."
Dewiku, kumohon. Jangan pergi ....
"Balthazar!"
"Oh, Selene!" teriakku tanpa sadar.
// •Author POV• //
Teriakan Balthazar yang menggema tak membuat atensi para penduduk kembali terarah padanya, sepertinya mereka sudah menganggap Balthazar sebagai gelandangan gila yang mencoba mengais berkat sang dewi.
Napas pria itu memburu, seolah baru saja berperang melawan ribuan pasukan dari Utara yang mencoba menyerang kota ini beberapa tahun yang lalu.
Apa yang baru saja ia lakukan?
Bisikan apa tadi?
Bayangan siapa tadi?
Penglihatan macam apa yang tadi terlintas?
"Balthazar, kau mendengarku?" tanya pemilik tangan besar yang sedari tadi memisahkannya dari kerumunan.
"Ah, ya .... Oh? Kau siapa?" racau Balthazar yang masih diambang batas. Terlihat jelas bahwa pria itu tengah berusaha keras mengumpulkan kesadarannya yang tadi sempat tersita tanpa aba-aba.
"Itu ...." Suara laki-laki mudah yang tadi mengamitnya itu tampak ragu, Balthazar mengernyit saat menatap tubuh laki-laki dihadapannya yang tampak besar dan tinggi. Balthazar yakin, ia belum pernah bertemu dengan laki-laki muda ini, sama sekali. Wajah dan tubuhnya asing, apalagi suaranya yang terdengar lebih melengking seperti perempuan.
"Ya? Ah, atau aku yang tidak mengenalimu? Maaf, aku benar-benar tidak fokus," potong Balthazar cepat ketika laki-laki itu terlihat murung.
"Tidak, mari menyingkir dulu," ajaknya sambil berlari kecil ke arah bangunan kosong yang terbengkalai di ujung kota.
Hening, tidak terdengar hiruk pikuk keramaian penduduk saat mereka berjalan lebih dalam dan berada di jalan setapak yang tidak terpelihara.
Kemudian, laki-laki itu dengan cekatan menarik kain yang ia kaitkan pada tunik bagian belakangnya dan melemparkannya pada Balthazar.
Ia berlari secepat kilat, bahkan sebelum Balthazar sempat membuka mulutnya untuk mengujarkan beberapa pertanyaan.
"Semoga Ouranous dan Gaia melindungimu."
Balthazar kembali mengernyit bingung.
"Semoga Nyx memberkatimu."
Semakin dibuat bingung ketika tubuh laki-laki kekar itu mengeluarkan sinar terang, persis seperti Selene, Eos, bahkan Nyx saat merubah wujudnya menjadi apa yang mereka mau.
"Semoga Ratu Theia tak pernah bosan memberimu belas kasihnya."
Ya, pasti.
Laki-laki yang tadi menyeretnya adalah seorang Dewa.
"Dan, semoga Hyperion mengampuni kelancanganmu!"
Kemudian, cahaya terang itu meredup. Berganti dengan tubuh ramping gadis muda yang tengah berlari menapak tanah, yang perlahan-lahan mulai terangkat seperti kapas. Ah, terbang! Ia memiliki sayap putih besar dengan rambut kecoklatan panjang yang seolah ikut menerbangkan tubuhnya.
Ah, Balthazar ingat sesuatu.
Filotes!
Ya, Dewi Kasih Sayang yang merupakan anak dari Sang Nyx!
"Pergunakan baik-baik! Aku akan menyuruh semua saudara laki-lakiku untuk menghukummu jika kau tak melaksanakan perintahku!" teriaknya sebelum lenyap.
Balthazar menatap nanar kepergian sang dewi, "Ah, apalagi ini?" desahnya lelah.
Kacau, pagi ini benar-benar kacau tak terkendali.
Banyak kejadian yang berawal dari mimpi buruknya menjadi kenyataan.
Sebenarnya apa yang terjadi?
⭒⭒⭒ to bo continue. ⭒⭒⭒