Clara terkejut melihat sebuah jas hitam terlempar ke atas tempat tidur. Berdirilah di dekat jendela, Bram dengan tatapan datar.
Bram melipat kemeja panjangnya hingga sebatas siku.
"Bertransaksi Empat Juta Dollar, lalu menggandeng pria lain. Hukuman apa yang pantas untukmu, Clara Wibisono?" ucap Bram tanpa ekspresi.
Clara mengerutkan dahinya.
"Apa masalahmu? Aku hanya tak sengaja bertemu dengan Gerry. Dan uang itu, adalah uangku. Kamu sudah memberikan kebebasan padaku untuk menggunakannya. Lalu, apa masalahmu?" ucap Clara.
"Oh ya? Apa kamu membayar pria itu seharga Empat Juta Dollar untuk memuaskanmu? Kamu tahu, sudah lama aku tak menyentuhmu. Apa kamu mulai kehilangan kehangatan? Karena itu mencoba mencarinya?" ucap Bram.
"Apa kamu memanggilku hanya untuk omong kosong seperti ini?" tanya Clara.
"Tentu saja untuk menghukum mu," ucap Bram datar dan menunjukan seringai menakutkan di mata Clara.
"Jangan menakutiku. Aku tak takut, karena aku tak bersalah," ucap Clara.
Oh tidak, apa setelah sekian minggu tak bertemu, dia akan kembali berperang dengan Bram?
Bram melangkah perlahan, mendekati Clara. Sontak Clara memundurkan langkahnya hingga dia tersudutkan di pintu kamar hotel. Clara membuka pintu kamar dan terbukalah sedikit. Namun, dia kesulitan untuk keluar karena posisinya terhimpit oleh Bram.
"Bram please. Menjauh dariku!" ucap Clara.
"Kenapa? Apa kamu mulai takut?" tanya Bram tersenyum.
"Tidak. Untuk apa takut? Sudah kubilang, aku tak salah apa-apa," ucap Clara.
Bram memundurkan langkahnya dua langkah, dia menatap Clara.
"Pergilah!" ucap Bram.
"Apa?" Clara tampak bingung.
"Iya, pergilah. Nikmati waktumu," ucap Bram.
Clara menelan air liurnya. Akhirnya dia bisa keluar dari kamar itu.
Brak!
Belum sempat Clara keluar, dia dikejutkan oleh pintu yang terdorong kuat. Rupanya Bram menendang pintu itu dengan kuat. Beruntunglah tangan Clara tak terjepit pintu. Jika tidak, jari-jarinya bisa patah karena tendangan itu cukup kuat.
"Apa kamu sudah gila?" pekik Clara.
Bugh!
Lagi-lagi Clara terkejut saat Bram mendorong tubuhnya ke pintu. Sakit sekali Clara rasakan di bagian punggungnya. Bram benar-benar sudah gila bahkan mendorongnya sekeras itu.
Bram mendekatkan wajahnya, menatap Clara dengan penuh kemarahan.
"Kamu yang gila! Kenapa kamu tak pernah mau mendengarkanku Clara? Apa sebenarnya isi kepalamu, ha? Kamu pikir, dengan bersikap seperti ini kamu bisa mengendalikanku? Jangan harap, Clara. Aku membayarmu, jadi patuhlah padaku!" tegas Bram. Nada bicara Bram begitu tinggi, membuat Clara begitu ketakutan.
"Aku memberimu kebebasan memakai uang. Menggunakan segalanya yang aku berikan, karena aku sudah memberikannya untukmu, dan aku tak berhak melarangmu untuk itu. Tapi aku berhak melarangmu dekat dengan pria lain, karena kamu adalah wanitaku. Wanita simpananku, yang aku bayar selama ini. Selama aku belum membuangmu, kamu tak berhak dekat dengan pria manapun! Apa kamu mengerti?" tegas Bram.
Clara mendorong tubuh Bram, membuat Bram sedikit menjauh dari Clara.
"Jangan bodoh. Kamu ingin aku mengerti semua keinginanmu, tetapi apa kamu mengerti apa yang aku inginkan?" tanya Clara.
"Aku juga punya perasaan, Bram! Ada saatnya aku merasa terganggu dengan ucapanmu! Kamu tak pernah memikirkan perasaanku, sehingga bicara ataupun berbuat seenakmu!" kesal Clara.
Bram terkekeh. Clara sungguh lucu mengharapkan Bram untuk mengerti dirinya.
"Sejak awal kamu tahu, hubungan kita hanya sebatas sama-sama membutuhkan. Aku membutuhkan tubuhmu, dan kamu membutuhkan uangku. Jadi kamu tak perlu melibatkan perasaan!" ucap Bram.
Clara terdiam. Benar juga yang dikatakan Bram. Seharusnya dia tak merasa sakit hati dengan ucapan Bram.
Namun, dia tak bisa menampik ketika dengan sendirinya rasa sakit hati itu dia rasakan. Dia tetaplah manusia biasa yang memiliki hati dan perasaan. Pada dasarnya hati wanita memang lembut, jangankan dicaci maki, perasaannya akan mudah tersentuh jika melihat hal-hal yang mengharukan.
"Sudahlah, bisa gila aku berdebat denganmu!" kesal Clara.
"Kamu tak boleh pergi, sampai aku menyuruhmu pergi," ucap Bram mencengkram tangan Clara.
Entah mengapa, semakin lama Bram semakin geram menghadapi sikap keras kepala Clara. Namun anehnya, dia tak ingin melepaskan Clara. Dia bisa saja membuang Clara dan mencari wanita lain. Tapi hatinya seolah mendorong pikirannya untuk berpikir berulang kali untuk melepaskan Clara.
"Jadi, kamu mau apa? Di luar adikmu sedang melangsungkan resepsi pernikahannya. Sebagai Kakak, seharunya kamu hadir di tengah kebahagaiaanya, bukan malah mencari ribut denganku!" tegas Clara.
Bram melepaskan tangan Clara, dia berbalik tak mempedulikan Clara.
"Dasar menyebalkan!" kesal Clara dan keluar dari kamar itu.
Begitu keluar, Clara berpapasan dengan wanita yang bersama Bram tadi. Wanita itu tampak bingung melihat Clara.
"Siapa kamu? Kenapa keluar dari kamar Bram?" wanita itu menatap Clara dengan tatapan penuh selidik.
Tak lama Bram keluar, dan wanita itu langsung memeluk pinggang Bram.
"Bram, siapa dia?" tanya wanita itu.
"Bukan siapa-siapa," Bram tersenyum manis pada wanita itu, bahkan Bram mencium kepala wanita itu penuh sayang.
Berbeda sekali dengan sikapnya pada Clara. Bram bahkan tak pernah semanis itu.
Dengan kesal Clara meninggalkan Bram dan wanita itu.
"Kamu melarangku dekat dengan pria lain, tapi kamu mencium wanita lain. Bahkan dihadapanku. Benar-benar sialan!" gerutu Clara.
Clara meninggalkan hotel. Perasaannya benar-benar hancur. Entah karena ucapan Bram yang menyakitinya, atau mungkin karena hal lain. Dia sungguh tak mengerti.
*****
Keesokan harinya.
Clara terbangun dari tidurnya, dia mengerjapkan matanya dan saat akan bangun, ada sebuah tangan di atas perutnya. Sontak Clara melihat ke samping dan Bram sedang tertidur.
'Dia di sini?' gumam Clara.
Clara bergerak. Membuat Bram mengeratkan pelukannya.
"Bram, singkirkan tanganmu. Aku mau bangun," ucap Clara.
Bram tak menggubris ucapan Clara, Bram justru bergeser dan meletakan kepalanya di leher Clara.
Aku merindukanmu, gumam Bram.
Clara tercengang mendengar gumaman Bram, yang jelas sekali terdengar karena bibir Bram berada tak jauh dari telinganya. Clara menggeser paksa kepala Bram hingga kepala Bram terhempas di atas bantal.
"Kamu bilang apa tadi? Rindu? Maksudnya, kamu merindukanku? Begitu, Bram?" Clara mengoceh tetapi Bram tetap tertidur.
Clara mengguncang tubuh Bram, mencoba membangunkan Bram tetapi Bram tetap tak bergeming.