Bram bergegas membuka pintu kamar Clara. Dia melihat kamar Clara sudah gelap.
'Apa dia tidur?' batin Bram.
Bram melihat ke tempat tidur. Tak ada siapapun di sana. Di mana Clara? Pikirnya.
Bram melihat pintu balkon terbuka, dia mendekati pintu dan terlihat Clara tengah duduk menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam.
"Untuk apa ke sini?" tanya Clara yang menyadari kedatangan Bram.
"Kamu sedang apa?" tanya Bram.
Clara membenarkan posisi duduknya dan menatap Bram.
"Tak ada. Aku hanya mencari angin," ucap Clara.
"Hm ... Kemarilah!" pinta Bram.
Clara mendekati Bram, dan Bram dengan cepat mencium bibir Clara. Mencecap bibir manis Clara yang menjadi candu baginya. Clara yang terkejut pun gelagapan dibuatnya.
Bram melepaskan ciuman itu setelah beberapa saat. Dia menatap Clara yang tampak mengatur napasnya.
"Apa kamu gila? Yang benar saja datang-datang langsung menerkamku!" kesal Clara.
"Kamu harus dihukum!" ucap Bram.
"Apa? Memangnya apa kesalahanku?" tanya Clara bingung. Rasanya, dia tak membuat masalah apapun hari ini. Bahkan dia menuruti perintah Bram menggantikan sang pembantu di Villa itu.
"Untuk kelalaianmu karena tak menyiapkan makan malam untukku dan Anita," ucap Bram.
Clara mendengus kesal mendengar nama Anita. Entah mengapa dia merasa muak dengan wanita itu yang tadi siang sudah mengerjainya.
"Aku mau tidur. Aku lelah," ucap Clara.
Bram menahan tangan Clara, membuat Clara menghentikan langkahnya.
"Siapa yang mengizinkanmu tidur? Malam ini kamu tak boleh tidur," ucap Bram.
"Apa-apaan kamu ini? Aku lelah, kenapa aku tak boleh tidur?" tanya Clara.
"Kamu membangunkannya," ucap Bram sambil menarik tangan Clara menuju sesuatu miliknya di bawah sana.
Clara membulatkan matanya. Dia merasa heran pada Bram. Pakaian yang dia pakai malam ini tidaklah terlalu seksi, lagi pula sejak kapan milik Bram bereaksi? Dia bahkan tak menggoda Bram sejak tadi.
"Ya ampun, Bram! Turunkan aku!" Clara memekik ketika Bram mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam kamar. Bram menghempaskan tubuh Clara di atas tempat tidur, menatap Clara dengan gairah yang memuncak dalam dirinya. Bram membuka kaos yang dia kenakan. Dia menindih tubuh Clara dan menatap lekat wajah Clara.
"Aku menginginkanmu," ucap Bram sambil tangannya mencoba menerobos masuk ke dalam pakaian yang Clara kenakan. Bram meremas kedua bulatan milik Clara secara bergantian. Clara memejamkan matanya. Dia akui merindukan sentuhan Bram. Sudah hampir tiga minggu mereka tak bercinta. Clara pun memiliki hasrat yang sewaktu-waktu dia rasakan. Namun, dia tak ingin berhubungan dengan sembarang orang. Apalagi kini dia terikat hubungan bisnis dengan Bram. Sudah jelas di perjanjian mereka yang buat, bahwa selama Bram masih menginginkan Clara dan tak mengakhiri kerja sama itu, maka Clara tak boleh berhubungan dengan pria mana pun.
Bram menghirup aroma tubuh Clara seraya memejamkan matanya. Mengecup leher Clara berkali-kali. Memberikan tanda merah di sana yang tak pernah Bram lakukan sebelumnya. Itu semua membuat Clara sedikit terkejut. Untuk pertama kalinya Bram memberikan tanda kepemilikan di lehernya.
Clara mendorong tubuh Bram hingga Bram terduduk. Hampir saja Bram terjengkang. Clara membuka kaos yang dia kenakan dan menarik tangan Bram. Kemudian dia mendorong tubuh Bram hingga Bram telentang di tempat tidur.
Malam itu, Clara bak rubah liar yang tengah kelaparan. Dia menindih tubuh Bram membuat Bram tersenyum tipis.
Clara memposisikan bulatan miliknya diatas wajah Bram. Seolah mengerti, Bram pun langsung melahap kedua bulatan milik Clara.
Clara hanya dapat mendesah tertahan. Rindu, itu yang dia rasakan. Entah rindu pada Bram atau Rindu sentuhan Bram yang jelas saat ini dia menikmati perlakuan Bram.
Cukup lama Bram dan Clara melakukan pemanasan, hingga akhirnya Bram memulai percintaan mereka.
Cukup lama, mereka bergulat panas di atas tempat tidur hingga akhirnya Bram mengeluarkan benihnya di rahim Clara. Bram dan Clara memang tak cemas ketika Bram mengeluarkan benihnya di dalam rahim Clara. Itu karena Clara menjaganya dengan memakai alat kontrasepsi.
Clara tak boleh hamil, bagaimana pun hubungan keduanya hanya sebatas bisnis. Bukanlah hubungan yang didasari atas rasa cinta.
Selesai pergulatan panas itu, Clara langsung tertidur setelah membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Sementara begitu keluar dari kamar mandi, Bram sudah tak ada di kamarnya.
Clara hanya tersenyum. Ya, sudah jelas Bram menemuinya hanya karena menginginkan tubuhnya. Kini Bram pasti kembali ke kamar Anita, pikirnya.
***
Di sisi lain.
Anita terbangun ketika mendengar suara orang tengah bercinta. Dan dia yakin itu suara Bram. Meski dia tak pernah mendengar suara desahan Bram sebelumnya, tetapi suara itu yakin sekali mirip dengan Bram. Dan suara wanita yang juga terdengar menikmati percintaan itu seperti suara Clara.
Anita hanya terdiam mendengar semua itu. Villa itu memang besar, hingga ketika malam hari seperti itu terasa sunyi dan suara akan terdengar lebih keras dari pada siang hari. Apalagi kamar Anita dan kamar Clara berdekatan.
Anita turun dari tempat tidur, dia ingin menghampiri Bram. Anita pergi ke kamar Clara, dia yakin Bram ada di sana.
Anita membuka pintu kamar, dia melihat Clara sudah terlelap. Anita melihat ke setiap sudut kamar, tak ada siapapun di sana. Anita menutup kembali pintu kamar dan pergi menuju lantai bawah. Dia menemukan Bram, Bram tengah duduk di dekat kolam renang dengan laptopnya yang berada di atas meja.
"Bram! Kamu di sini?" ucap Anita.
"Hm ... Kenapa kamu bangun?" tanya Bram.
"Aku mendengar suara aneh, apa tadi kamu dengan asistenmu itu melakukan sesuatu?" tanya Anita menyelidik.
Bram menghela napas. Dia menunjukan layar laptopnya.
"Sejak tadi, aku memeriksa laporan ini. Aku di sini. Memangnya, suara apa yang kamu dengar?" tanya Bram mencoba mencari tahu. Apa mungkin Anita mendengar suaranya dan Clara saat bercinta tadi? Pikirnya.
"Tidak, lupakan! Aku akan kembali tidur. Kamu lanjutkanlah pekerjaanmu," ucap Anita.
Bram mengangguk.
"Selamat malam," ucap Bram tersenyum.
Anita tersenyum dan kembali ke kamarnya. Dia kembali tidur.
Di kolam renang.
Bram justru tampak tenang meski dia yakin Anita mendengar suaranya dengan Clara saat bercinta tadi. Dia tak takut skandal hubungannya dengan Clara diketahui oleh Anita.
****
Keesokan paginya.
Bram, Clara dan Anita sudah berada di atas kapal. Liburan singkat mereka telah selesai karena sudah waktunya memulai hari untuk bekerja.
Bram dan Clara masuk ke mobil yang sama, tetapi tidak dengan Anita. Anita menaiki mobilnya sendiri dan merekapun berpisah.
***
Di perjalanan.
Bram dan Clara duduk di kursi penumpang. Mobil itu dilajukan oleh seorang supir.
"Apa kamu mau pualng ke apartemen?" tanya Bram.
"Tidak, aku ingin ke Butik. Sudah lama aku tak ke sana," ucap Clara.
Bram mengangguk dan meminta sang supir untuk mengantar Clara terlebih dahulu ke butiknya sebelum ke Kantor.
Sesampainya di Butik Clara.
Clara keluar dari mobil.
"Thanks," ucap Clara.
Bram hanya diam dan mobil pun melaju menuju ke Kantor.
Clara memasuki Butiknya. Di sana sudah ada para pekerjanya.
Tak lama, masuklah seorang pria memakai kemeja berwarna maroon dan celana jeans dongker ke dalam Butiknya. Penampilan yang cukup segar dilihat.
"Gerry?"
Ya, pria itu adalah Gerry. Clara melihat Gerry dengan bingung. Dari mana Gerry tahu Butiknya? Pikirnya.
"Kamu di sini?" ucap Clara.
Gerry tersenyum mengangguk.
"Hai, Clar. Sorry, tanpa sepengetahuan mu aku menanyakan alamat Butikmu pada Viona. Ponselmu sulit kuhubungi. Apa kamu baik-baik saja?" ucap Gerry.
Terakhir kali, Gerry menghubungi Clara dan mendengar Clata tengah menangis melalui sambungan telepon. Entah apa yang terjadi pasa Clara saat itu? Pikir Gerry. Gerry pun tak ingin mencampuri urusan pribadi Clara. Setiap orang punya privasi masing-masing dalam hidupnya.
"Tak apa. Apa ada yang bisa kubantu?" tanya Clara.
"Ya, aku membutuhkan bantuanmu," ucap Gerry.
"Mari ke ruanganku!" ajak Clara.
Gerry mengikuti Clara hingga ke ruangan Clara. Dia duduk berhadapan dengan Clara.
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Clara.
"Apa kamu suka perhiasan?" tanya Gerry.
Clara mengerutkan dahinya. Merasa bingung mendengar pertanyaan Gerry.
"Ya, tentu saja. Aku rasa semua wanita menyukai perhiasan. Kenapa?" ucap Clara tersenyum. Bodoh jika ada wanita yang tak suka perhiasan, pikirnya. Keindahan wanita dapat tercermin melalui perhiasan.
"Mamiku ulang tahun, rencananya aku ingin membelikan dia satu set perhiasan. Tapi, aku kebingungan mau membelikannya dengan model seperti apa yang cocok untuk seusianya," ucap Gerry.
"Lalu?" tanya Clara semakin dibuat bingung. Dia bukanlah designer perhiasan, mengapa juga Gerry membicarakan soal perhiasan padanya?
"Apa kamu mau menemaniku untuk memilihkan perhiasan untuk Mami? Aku tak pernah membeli perhiasan, jadi aku tak mengerti," ucap Gerry.
Maklum saja, dia pria dan sibuk bekerja. Selama ini dia pun tak pernah membeli perhiasan.
Clara tersenyum. Dia memiliki banyak waktu.
"Tentu saja," ucap Clara.
"Sungguh? Apa kamu tak sibuk?" tanya Gerry.
"Tidak, aku memiliki banyak waktu," ucap Clara tersenyum.
"Syukurlah, aku merasa lega," ucap Gerry tersenyum.
Keduanya saling melemparkan senyuman, membuat keduanya menjadi merasa canggung seketika.
"Oke, kalau begitu kapan kita pergi membeli perhiasan untuk Mami mu?" tanya Clara.
"Pukul Sepuluh nanti, toko jewellery mulai buka. Nanti kita ke sana. Sekarang masih belum buka," ucap Gerry.
Clara melihat jam tangannya. Masih ada waktu dua jam lagi.
"Kamu suka kopi?" tanya Gerry.
"Ya, apa kamu mau mengajakku minum kopi?" tanya Clara terkekeh.
Gerry mengangguk.
"Jika kamu tak keberatan," ucap Gerry.
"Tentu saja tidak. Ayok, di dekat sini ada Kafe. Kita ke sana saja!" ajak Clara.
Gerry mengiyakan. Mereka pun pergi menuju Kafe tersebut.