Clara terdiam mendengar ucapan Bram. Bagaimana bisa Bram akan tinggal dengannya? Apa kata dunia jika sampai mengetahui mereka tinggal di apartemen bersama?
"Kenapa harus tinggal di sini? Kenapa harus tinggal denganku? Bukankah kamu bisa datang kapan saja? Tak perlu tinggal di sini bersamaku," ucap Clara.
"Apa kamu sedang menunjukan rasa keberatan mu?" tanya Bram.
"Ya!" tegas Clara.
Bram mengerutkan dahinya. Dadanya bergemuruh. Sungguh dia tak menyukai penolakan. Bram mengepalkan tangannya.
Menyadari hal itu, Clara pun kembali membuka suara.
"Aku tak ingin namamu menjadi tercemar karena gosip yang tidak-tidak. Kamu bukan orang sembarangan, kamu harus menjaga nama baik dirimu, perusahaan mu, juga keluargamu," ucap Clara.
Bram terdiam mendengar ucapan Clara. Dia berpikir Clara menolak dirinya tinggal di apartemen itu karena alasan lain. Nyatanya, Clara memikirkan nama baiknya.
"Kamu ingin semua tampak baik?" tanya Bram.
"Ya, dari awal pun kita sudah sepakat untuk menyembunyikan semua ini," ucap Clara.
"Kalau begitu, agar semua jelas. Aku punya solusinya. Tentu ini bisa menjadi jalan agar tak ada nama baik siapapun yang tercemar," ucap Bram.
"Apa itu?" tanya Clara penasaran.
"Menikah," ucap Bram spontan.
"Apa?" Clara terkejut mendengar ucapan Bram. Dia menepuk pipinya, berpikir semuanya adalah mimpi belaka. Namun, Clara mengaduh sesaat kemudian karena merasakan sakit atas pukulannya sendiri. Clara bergegas lebih mendekat dengan Bram, menatap Bram dengan serius.
"Apa kamu sedang melamarku?" tanya Clara.
"Tidak!" tegas Bram.
Clara mengerutkan dahinya. Rasanya dia tidak salah dengar saat Bram mengatakan menikah belum lama tadi.
"Aku salah bicara, mana mungkin aku akan mengajakmu menikah." Bram mendadak merasa bodoh. Entah mengapa dia bisa mengucapkan kata itu. Sementara selama ini dia sendiri tak tertarik untuk menikah.
Clara menyentuh dahi Bram.
"Pantas saja, kenapa kamu bisa tiba-tiba demam? Kamu sampai berkeringat dingin," ucap Clara saat merasakan suhu tubuh Bram mendadak meningkat dan keringat pun keluar dari pori-pori kulitnya.
Bram menghempaskan tangan Clara dan mengalihkan pandangannya.
"Tidak apa-apa, aku hanya lelah," ucap Bram.
"Hm ..."
"Jadi, apa solusinya?" tanya Clara.
"Aku tidak jadi tinggal di sini," ucap Bram.
"Apa? Apa kamu serius?" tanya Clara.
"Hm ... Apa yang kamu katakan memang benar. Nama baikku dan perusahaanku adalah yang terpenting. Aku tak ingin, apa yang aku bangun selama ini hancur begitu saja," ucap Bram dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Bram memejamkan matanya, dia merasa tak baik-baik saja. Sepertinya benar dirinya memang demam.
Sebelumnya, aku baik-baik saja. Mengapa setelah aku mengatakan menikah, aku mendadak menjadi demam? Aku benar-benar merasa bodoh. batin Bram.
Clara pun merebahkan tubuhnya di samping Bram. Dia menoleh ke arah Bram, ternyata Bram benar-benar tertidur.
Clara terus memperhatikan wajah Bram. Bram begitu cepat tertidur. Melihat wajah Bram saat tertidur, membuat Clara menyadari satu hal.
Kenapa dia manis sekali saat dalam keadaan tidur seperti ini? Wajahnya terlihat begitu tenang, tak seperti saat sedang bangun, menyebalkan. batin Clara.
Clara teringat kembali kata 'menikah' yang Bram ucapkan. Dia pikir, Bram serius dalam ucapannya. Nyatanya, Bram hanya mempermainkannya.
Apa suatu saat nanti, aku akan menikah? Memiliki keluarga dan anak-anak yang lucu? gumam Clara.
Clara tersenyum getir. Entah kapan dia akan menikah, jika pun ada pria yang mengajaknya menikah, akankah pria itu menerima dirinya dengan segala masa lalunya?
Clara berbalik membelakangi Bram, dia teringat pada seseorang. Dia merindukan orang itu. Ingin sekali rasanya memeluknya, bercerita banyak hal, mencurahkan segalanya yang Clara rasakan. Sayangnya, dia tak akan pernah bisa melakukannya. Dia tak ingin membuat orang tersebut menjadi sedih karena memikirkan kisah hidupnya.
Clara mengambil ponselnya, dia mengirimkan sebuah pesan pada asistennya untuk membelikannya beberapa barang, esok hari dia berniat akan mengunjungi orang tersebut yang sudah lama tak dia temui. Clara pun meminta asistennya untuk mengirimkan tagihannya kepada dirinya, dia akan membayarnya menggunakan tabungannya sendiri.
Selesai mengirimkan sebuah pesan, Clara pun beristirahat. Dia terlelap.
***
Keesokan harinya.
Clara keluar dari kamar mandi, dia baru saja selesai mandi. Dia melihat ke tempat tidur dan Bram masih tertidur. Tak biasanya Bram masih terlelap dalam mimpinya. Biasanya, Bram sudah lebih dulu menghilang dari pandangan Clara. Clara menghampiri Bram dan mencoba membangunkan Bram. Clara terkejut saat merasakan suhu tubuh Bram tinggi.
'Apa dia sakit? Kenapa demam seperti ini?' gumam Clara.
Clara mengambil termometer dan membuka lengan Bram, dia memasangkannya di ketiak Bram.
'Astaga, 38° celcius. Dia benar-benar demam,' cemas Clara.
Clara bergegas menuju dapur. dirinya mengambil air dan handuk kecil untuk mengompres Bram. Di letakannya mangkuk kecil di laci samping tempat tidur. Dia membasahi handuk kecil itu dan meletakannya di dahi Bram.
Bram sedikit terbangun tetapi tetap memejamkan matanya, sepertinya dia belum sadar Clara sedang mengompresnya.
Clara kembali keluar kamar, mencari obat demam di kotak obat, dan menemukan obat tersebut. Dia berpikir sejenak, sebelum minum obat tentunya Bram harus makan terlebih dahulu.
Clara pergi ke dapur, mengambil apron dan memakainya. Dia mencuci sedikit beras, dan berniat memasak bubur untuk Bram. Meski terkadang Clara kesal pada Bram, tetap saja melihat Bram tengah sakit membuatnya merasa kasihan dan merasa perlu merawat Bram.
Beberapa waktu berlalu, buburpun hampir matang. Di tengah kegiatan membuat bubur, bel apartemen Clara berbunyi. Clara mengecilkan apinya dan pergi membukakan pintu. Terlihat asisten Clara yang datang membawa beberapa paper bag. Clara pun mempersilakan asistennya masuk dan memintanya meletakan semua paper bag itu di atas meja di ruang tamu.
"Terimakasih, tagihannya akan Saya bayar sekarang. Saya ambil ponsel dulu," ucap Clara.
"Saya permisi juga, Bu. Saya akan kembali ke butik," ucap sang asisten.
"Baiklah," ucap Clara dan asistennya pun meninggalkan apartemen.
Clara pergi menuju kamar, ternyata Bram masih belum bangun. Dia mengambil ponselnya dan membayar tagihan barang-barang yang dia pesan sebelumnya. Setelah itu, dirinya kembali mengecek keadaan Bram. Demamnya masih saja belum turun.
Clara teringat kembali obat demam, dia pun berniat mengambil obat itu yang tertinggal di dapur.
Begitu sampai di dapur, Clara mencium bau gosong. Dia pun histeris dan segera berlari menuju kompor. Dia lupa tengah memasak bubur untuk Bram.
"Ya ampun! Gosong sudah buburku! Aku memasaknya dengan susah payah, dan menjadi sia-sia," gerutu Clara.
Clara mematikan kompor dan mengecek bubur itu, apakah benar-benar gosong atau masihkah ada yang bisa di makan?
"Tidak gosong, syukurlah. Hanya aromanya saja, tapi ini masih bisa di makan," ucap Clara.
Clara menata bubur itu di dalam mangkuk dan menyiapkan segelas air putih. Dia meletakannya di trai, dia membawanya ke kamar beserta obat demam tadi.