Chereads / Kau Nakhodaku dan Aku Penumpangmu / Chapter 23 - Gadis Cantikku bermata coklat

Chapter 23 - Gadis Cantikku bermata coklat

Pagi hari telah tiba, cahaya mentari bahkan mulai terik menandakan hari yang semakin siang. Tampak di tempat tinggal keluarga Reno seorang gadis yang tengah berlari terburu-buru keluar dari kamarnya, lalu melangkahi tangga rumah secepat mungkin tanpa takut kehilangan keseimbangannya yang berakhir kecelakaan.

Melodi Auristela, gadis cantik berhijab itu buru-buru mengenakan sepatunya di dekat rak sepatu keluarga. Membuat pandangan kepala keluarga yang sedang makan dan ibu rumah tangga yang tengah menyendok nasi tersebut terpaku pada buah hati mereka.

"Kenapa buru-buru gitu? Sini makan dulu!" perintah Diana, membuat Melodi menoleh sekejap.

"Melodi telat, Bunda. Gak ada waktu untuk makan," ucap gadis sebelum bangkit dan meminta salam dari kedua orang tuanya.

Melodi pergi dari ruangan itu, menuju pintu utama yang terlihat sudah terbuka menampakkan mobil Reno yang masih dipanaskan mesinnya.

Reno menggeleng heran melihat kepergian Melodi. "Dasar anak itu," gumamnya.

Sesampai di luar rumah, Melodi langsung berhenti berlari. Nafasnya berhembus tidak normal, bahkan gadis itu sudah membungkuk sambil memegang perutnya.

"Dasar bego! Kenapa gak mesan gojek dulu tadi! Kalau pesan dari tadi kan otomatis Abangnya udah nunggu. Kalau gini kudu berangkat sama siapa?" Melodi mengusap wajahnya gusar. Otaknya mau meledak rasanya, mampuslah ia dihari ujian terakhirnya. Pasti Melodi akan ketinggalan ujian nanti.

"Huwaa ... mana Ayah masih sarapan lagi," gerutu gadis itu mengingat tidak mungkin ia meminta diantarkan ayahnya yang bahkan tengah mengunyah nasinya sekarang.

Sungguh, jujur Melodi menyesal tadi malam pergi keluar. Semuanya kacau sekarang, andai saja ia tidak keluar tadi malam, mungkin ia akan bisa tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi sekarang.

"Kenapa belum sekolah?" tanya seseorang yang bahkan baru gadis itu sadari kedatangannya.

Melodi menatap sinis lelaki yang mengajaknya berbicara itu, seakan tatapan itu mengatakan-- Untuk apa cowok brengsek ini pagi-pagi kemari!

"Hei! Nanti kamu telat lho!" timpal lelaki itu lagi. Dia adalah Dareen, lelaki yang benar-benar Melodi benci saat ini.

Dareen menyapu pandangan ke seliling, merasa ada yang janggal. Lalu akhirnya tersenyum mengerti. "Mau saya antarkan?"

Melodi tidak menjawab, malah lebih memilih beranjak dari tempat itu. Gadis itu berbalik ingin masuk ke dalam rumah, namun tangannya keburu dicekal hingga langkah kaki itu terhenti.

"Anda berusaha memperbaiki akhlak saya yang cacat selama ini, sementara melupakan akhlak anda yang jauh lebih cacat dibanding saya, Tuan Dareen Oliver Aldari," ucap gadis itu yang terkesan dingin.

Kira-kira secepat itulah perubahan sikap Melodi terhadap Dareen. Menggunakan bahasa formal yang terkesan datar dan dingin, dan berbicara tanpa menatap mata lelaki itu.

Dareen yang mengerti sontak melepas cekalannya. "Astagfirullah," ucapnya pelan.

Melodi berbalik, menatap datar Dareen yang sekarang sudah berada di hadapannya.

"Hubungan anda dan saya tidak ada, jangan berbicara seolah kita akrab."

"Kenapa kamu jadi dingin begini kepada saya, Melodi?" terlihat dari wajah lelaki itu ia sangat frustasi dengan sikap baru Melodi. "Setidaknya jika kita tidak berakhir menikah jadikan saya teman kamu. Saya tidak ingin dianggap seperti musuh begini."

"Saya tidak ingin berhubungan dengan orang yang sok suci, sangat munafik hingga di belakang dengan lancangnya ia menyentuh seorang wanita yang bukan muhrimnya."

Dareen paham, paham sekali ke arah mana pembicaraan itu tertuju. Ia sempat melihat Melodi malam itu, sudah dipastikan Melodi melihat semuanya dan salah paham.

"Kamu salah paham, Mel. Saya bisa jelaskan semuanya."

"Simpan aja penjelasan anda untuk diri anda sendiri. Apa yang saya lihat sudah salah, tidak ada hal yang dapat membuktikan menyentuh yang bukan muhrimnya benar. Maupun penjelasan anda," sarkas Melodi pergi dari sana. Gadis itu berjalan ke arah garasi mobil ayahnya. Mengambil sepedanya lalu mengayuhnya pergi dari sana.

Dareen masih berada di posisinya, menatap sendu gadis itu yang mulai menjauh bersama sepedanya.

'Benar-benar tidak ada harapan lagi,' batin lelaki itu yang terlihat lelah. Lelah akan perasaannya yang mendapat luka yang bertubi-tubi.

***

Sedikit lagi sampai, tidak apa terlambat yang penting ujian. Gadis itu terus mengayuh sepedanya dengan peluh sebesar jagung di dahi bersihnya.

Jarak rumahnya dengan sekolahnya buka dekat, tetapi untuk berangkat tidak memakan waktu sampai satu jam. Mungkin sekitar tiga puluh menit, hanya saja menitnya bertambah ketika menghadapi macet Kota Jakarta.

"Semangat Melodi! Ini olahraga pagi, kamu sehat setelah ini!" teriaknya menyemangati diri sendiri, tanpa sadar ada mobil di belakang yang tengah mengikutinya. Seseorang di dalam mobil itu tengah memerhatikan si gadis dengan tatapan iba.

Akhirnya sepeda Melodi sampai di gerbang sekolah, gadis itu mulai masuk meletakkan sepedanya di parkiran lalu berlari sekuat tenaga ke kelasnya. Bel sudah berbunyi sedari tadi, sehingga lapangan sudah sepi karena siswa yang sudah mulai ujian.

Di lain tempat seseorang yang tengah mengamati Melodi tadi sudah menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah. Memerhatikan Melodi yang mulai jauh bahkan menghilang.

"Selamat tinggal, mungkin ini kali terakhir saya melihatmu," ucapnya tersenyum pilu.

Dia Dareen, lelaki yang disakiti hatinya oleh cinta pertamanya. Mengapa cinta pertamanya? Sebab sebelum bersitatap muka bedua, lelaki itu sudah lebih dulu mencintai si gadis. Memerhatikannya dari jauh, hingga tanpa sadar mengklaimnya sebagai tulang rusuknya.

"Jika memang dirimulah tulang rusukku, kamu akan kembali pada tubuh ini. Gadis cantikku yang bermata coklat," gumamnya tulus penuh harap.

Dareen mulai kembali menghidupkan mesin mobilnya, kembali ke rumah Melodi untuk membicarakan perjodohan yang akan ia batalkan. Sesuai dengan tujuannya tadi pagi.

***

"Assalamualaikum, Buk! Maaf saya terlambat," suara nyaring itu tiba-tiba mengisi ruangan yang hening. Seluruh siswa bahkan guru di kelas itu mencari si pemilik suara, yang ternyata tengah berdiri tertunduk di depan pintu dengan keringat yang bercucuran.

"Ya sudah langsung duduk saja, waktu kamu tidak banyak." Untung saja yang mengawas Buk Fiola, guru muda yang berhati lemah lembut.

Melodi berjalan gontai ke bangkunya, mengeluarkan alat tulis lalu botol minumnya. Diam-diam gadis itu meneguk air minumnya lalu menyimpan botolnya sambil melirik Buk Fiola yang masih mengambil kertas soal dan jawaban.

Kring ...!

Bel sekolah mulai berbunyi, menandakan istirahat telah tiba. Melodi menghembus nafas lega, akhirnya ia dapat menyelesaikan ujiannya.

Dibanding kekantin bersama siswa lain, gadis itu lebih memilih tidur di kelas. Kepalanya sangat pusing bahkan hanya untuk berjalan. Gadis itu melipat tangannya lalu menundukkan wajahnya dengan tangannya dijadikan penyanggah.

Tok!

Tok!

Tok!

Merasa ada yang mengganggu, gadis itu sontak mengangkat kepalanya dengan wajah yang menggeram kesal. Andai saja seseorang yang mengganggu Melodi dengan mengetuk meja gadis itu barusan tau betapa pusingnya kepala si gadis, mungkin sudah Melodi tempeleng sekarang juga.

"Apa sih, Ren?!" ketus Melodi mulai jengah.

"Ya ampun, Mel! Muka lu kok pucet?!" kaget gadis yang 'tak lain adalah Rena.

Melodi mengangkat bahunya lalu meletakkan kepalanya kembali dilipatan tangannya tadi, tetapi tiba-tiba tangannya ditarik paksa dan tubuhnya dirangkul tiba-tiba oleh gadis yang mengganggunya tadi.

"Lu harus ke UKS pokoknya! Harus!" tegas gadis itu membawa paksa Melodi. Padahal tanpa dipaksapun Melodi akan menurut.

Semakin jauh berjalan kepala Melodi semakin pusing, perutnya bahkan mulai sakit. Wajahnya sudah pucat pasi karena menahan sakit. Jangan lupakan keringat dingin yang bercucuran sedari tadi, membuat penderitaannya lengkap sudah.

"Sabar Melodi sayang, kita bentar lagi sampai. Tahan sakit lu ...," ujar Rena mengingatkan agar gadis itu dapat bertahan.

Rena terlihat panik, ia mengerti betapa Melodi berusaha menahan sakitnya. Bahkan ia dapat merasakan Melodi yang sekarang bukan seperti Melodi yang ia kenal.

Melodi terus berusaha untuk bertahan. Walau langkahnya mulai melemah dan matanya mulai perih untuk tertutup, ia masih berharap segera sampai di UKS.

Bruk!