Melodi terjatuh tepat lantai koridor, dirinya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Ditambah Rena yang kehilangan keseimbangannya karena melemahnya tubuh Melodi.
"Ya Tuhan, Mel!" Rena reflek duduk membantu tubuh Melodi agar tidak sepenuhnya kotor lantai koridor. Gadis itu menyanggah kepala Melodi di pahanya.
Rena panik, matanya menoleh ke sekeliling untuk mencari seseorang yang bisa dimintai tolong. Hingga netra itu berakhir tertuju pada lelaki muda yang baru saja keluar dari perpustakaan dekat koridor.
"Dito! Dito tolongin gue!" teriak gadis itu seketika membuat lelaki yang 'tak lain adalah Dito itu menoleh.
Melihat Melodi yang tengah terkapar di lantai semen koridor sontak membuat Dito berlari sekencang-kencangnya ke arah mereka.
Tanpa bertanya apa yang terjadi Dito langsung menggendong Melodi ke UKS, diikuti oleh Rena dari belakang. Raut wajah lelaki itu tercetak sekali tengah panik. Sakingkan cepatnya Dito berlari, sesampai di UKS lelaki itu meletak Melodi di ranjang dengan nafas memburu.
Rena yang sudah di UKS juga langsung meminta anggota PMR untuk segera memeriksa sang sahabat. Rena dan Dito menatap khawatir ke arah Melodi, sesekali keduanya mengusap peluh akibat berlari tadi.
"Kak Melodinya sudah sarapan tadi, Kak?" tanya anggota PMR yang 'tak lain adik kelas dua orang itu.
"Setau gue enggak, entah kalau sarapan pagi," balas Rena menggaruk tekuknya yang 'tak gatal.
"Kak Melodi masuk angin, maagnya juga kambuh. Bentar lagi insyaallah siuman, nanti kalau udah siuman suruh dia minum air hangat sama sarapan ya, Kak," ucap anggota PMR tadi yang diangguki keduanya.
Siswa kelas sebelas itu segera pergi dari sana, meninggalkan tiga orang di dalam sana yang masih diam.
Rena dan Dito beralih menatap Melodi, yang masih terbaring lemah. Baru saja ia diberi minyak angin oleh siswa tadi agar pusingnya mengurang dan badannya terasa lebih nyaman.
"Dia gak kayak Melodi yang gue kenal," gumam Dito menatap sendu Melodi.
"Iya, gak sekuat dan seceria Melodi kita dulu. Gue kangen dia," balas Rena sedih.
Dito berjalan mendekati ranjang Melodi lalu duduk di kursi sebelah ranjang itu. Ditatapnya lekat gadis yang masih ia cintai itu, gadis yang penyabarnya tidak tergantikan di mata Dito. Bagaimana tidak, sudah banyak kalinya Dito mengecewakan dia, tetapi gadis ini tetap menyayangi dan mencintai Dito. Meski tidak ditakdirkan bersama tetapi Dito senang, setidaknya ia pernah dicintai oleh Melodi dan berubah berkat Melodi. Dito masih mengingat sekali masa-masa dia yang masih brandal dan terkena berbagai fitnah dari pembencinya, hanya satu orang yang masih memercayainya. Melodi, gadis itu selalu berkata lembut padanya ketika ia di fitnah.
"Gak apa-apa, gue bakal berusaha percaya sama lu. Dan gue harap lu bisa jaga kepercayaan gue, buktiin pada mereka semua kalau ini bukan salah lu," ucap gadis itu menunjuk dada Dito dengan kuat, seakan tubuh lelaki itu sekuat baja yang tidak akan sakit hanya dengan segitu saja.
Dito ingat sekali kata-kata itu, kata-kata yang pernah ia ucapkan Melodi ketika Dito difitnah menghamili gadis lain. Bahkan lelaki itu tau sekali di balik kata-kata Melodi yang menguatkannya itu sebenarnya ada rasa sakit dan kecewa yang terselip. Tetapi gadis itu berusaha untuk percaya. Membuat Dito semakin mencintai dan mengagumi Melodi.
Lelaki itu sangat mencintai Melodi, meski tidak berakhir bersama ia akan tetap mencintai gadis itu. Mencintai tidak harus memiliki bukan?
"Dito, gue mau beli nasi goreng buat Melodi dulu ya. Lu jagain dia bentar," ucap Rena menghentikan lamunan Dito.
Dito mengangguk lalu menatap kepergian Rena yang menuju kantin.
***
Melodi masih duduk di UKS, makanan yang di belikan Rena tadi sudah ia habiskan. Memang benar ternyata ia belum makan sedari pagi, penyebabnya adalah terlambat bangun. Sehingga ia ke sekolah dengan perut kosong. Ditambah lagi harus berjuang mengayuh sepedanya dengan jarak yang tidak dekat, menambah buruk kondisi lambungnya.
"Ada yang mau lu makan? Atau mau ngapain gitu? Biar gue bantu?" tanya Rena yang duduk di tempat Dito tadi, sementara Dito sudah pergi entah kemana.
Melodi yang duduk di atas ranjangnya itu langsung menyahut, "Gue mau ke kelas, bentar lagi ujian kedua."
"Lu pulang aja ya, biar gue atau Dito yang anterin lu pulang?"
"Lu mau gue tabok? Gue mau ke kelas. Bentar lagi mau ujian, bukan arisan yang mudah aja gak di hadirin," celoteh Melodi yang membuat Rena terkekeh.
"Oke sekarang gue udah percaya lo udah sembuh. Yuk, gue bantu ke kelas." Rena membantu Melodi untuk turun dari ranjang UKS lalu mulai berjalan pelan menuju kelas.
Sesampainya Melodi di kelas, seisi kelas sontak menginterogasinya seakan menjadi wartawan dadakan.
"Melodi! Lu gak apa-apa kan?!"
"Melodi apanya yang sakit? Lu kenapa gak makan?"
"Udah aku bilang kamu jangan banyak gerak, kan mual lagi. Kalau anak kita nanti kenapa-napa gimana?"
"Lu mau mati?" tanya Melodi sinis membuat Daniel yang berbicara barusan bungkam.
Daniel tersenyum kikuk lalu menjawab, "Selow Adinda Mel-mel yang paling comel, Kakanda cuma bercanda."
"Ren, buruan ambil pisau lipat gue di dalam tas, emosi gue lama-lama."
***
Melodi merebahkan tubuhnya di atas kasur, memejamkan matanya yang melemah. Tidak hanya itu, tubuh ringkihnya bahkan juga melemah. Ia pulang tadi diantar Rena, sebenarnya Rena memaksa Melodi agar pulang bersama Dito, tetapi gadis itu menolak keras dan ingin tetap bersama Rena. Bahkan Melodi sempat-sempatnya duduk di jok belakang motor Rena sambil memeluk erat sahabatnya yang ingin pulang itu agar tidak lagi dipaksa untuk turun dan naik ke motor Dito. Gadis itu sudah persis seperti anak Rena yang tidak ingin di tinggal oleh ibunya.
Ceklek!
Lama memejamkan mata sambil menetralkan pusing di kepalanya, gadis itu kembali membuka matanya. Mencari tau siapa yang membuka pintu kamar.
"Apa yang kamu bilang pada Dareen, Melodi?! Kenapa tiba-tiba aja lelaki itu membatalkan perjodohan kalian?!" bentak ayah Melodi, membuat gadis yang mulai beringsut untuk terduduk itu menunduk takut. Melodi tidak takut pada siapapun kecuali Allah, ibu, dan ayahnya. Oleh karena itu ia masih diam dengan jantung berpacu ketika dimaki sang ayah.
"Jawab Melodi! Apa yang membuat kamu gak suka sama lelaki itu? Dia baik, pandai mencari, dan tampan sesuai selera gadis-gadis seusiamu. Semuanya hampir mendekati kata sempurna, lalu apa yang kamu tidak sukai dari dia?!"
"Kamu tau 'kan Melodi, dia itu udah berjasa sekali sama keluarga kita. Gak seharusnya kamu begini, harusnya kamu hargai kebaikan dia. Bagaimana lagi cara kita membalas budinya kalau bukan dengan begini?"
"Ini bukan masalah tampan atau kaya, Yah! Ini masalah cinta," balas Melodi beranjak untuk berdiri.
"Persetan dengan cinta! Nenek dan kakek kamu nikah tanpa cinta, bahkan sampai mempunyai cucu mereka tetap langgeng, Ayah dan Ibu kamu menikah tanpa cinta! Tapi tetap langgeng sampai sekarang."
"Ayah jahat! Ayah gak mikirin perasaan Melodi, Melodi kira Ayah sosok pahlawan dalam hidup Melodi, tapi ternyata Melodi salah. Ayah adalah sosok yang paling kejam yang Melodi kenal, sosok yang suka memaksakan anaknya meski sang anak menderita," lirik Melodi dengan tangis yang sudah meleleh. Reno menatap sarkas Melodi, lalu berjalan keluar kamar sang anak dengan emosi yang tertahan.
Lebih baik ia pergi dulu dari sana dari pada berakhir melukai anaknya nanti. Reno tidak mengerti apa yang ada di pikiran putrinya, lelaki itu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Ia hanya tidak ingin sang anak terjerobos ke dalam kehancuran di masa depan.
Melodi menangis tersedu-sedu di kamarnya, mengapa semua orang tidak ada yang mengerti akan dirinya. Bahkan ayahnya sendiri, lelaki pertama yang ia lihat dan cintai setelah keluar dari rahim ibunya.
Melodi terduduk di lantai kamar yang dingin, bersandar pada tepian ranjang dengan kaki yang ditekuk dan tangan yang dilipat di atasnya. Wajah pucat gadis itu bersembunyi disana, dengan punggung yang bergetar hebat.
"Hiks ... hiks ... Bunda ..., Ayah jahat! Melodi benci Ayah, Ayah bukan pahlawan Melodi lagi. Ayah jahat hiks ... hiks ...."
Melodi menangis sejadi-jadinya, tanpa seorangpun yang menemaninya untuk menenangkan si gadis. Sementara bunda yang ia panggil-panggil tengah bersandar didepan tembok kamar sang putri. "Maaf Sayang, Bunda gak bisa bela kamu. Dareen sudah berjasa banyak pada kita, bahkan pada kamu yang sekarang," lirih Diana dengan suara pelan di sana.
***
Entah apa yang dipikirkan Melodi hingga ia tidak ada lagi di rumah pagi ini. Tidak pagi, bahkan sejak subuh Diana dan Reno sudah kehilangan sang putri. Awalnya bermula dari Diana yang subuh tadi berniat membangunkan sang putri untuk shalat subuh. Tetapi sesampai di kamar, wanita itu kejutkan akan pemandangan kosong kamar Melodi dengan lemari yang terbuka lebar. Memperlihatkan separuh pakaian putrinya yang menghilang.
Melihat hal itu Diana langsung syok, wanita itu segera bergegas memberitahukan apa yang ia lihat pada Reno dengan tangis dan rasa khawatir yang mendesak di hati.
Reno panik, bahkan ia merasa bersalah sekali pada sang putri. Semua teman anaknya ia telepon, tidak ada satupun yang mengaku melihat sang putri. Hingga telepon terakhir berakhir pada lelaki yang sangat Reno harapkan dapat membantunya menemukan anaknya.
"Hallo Reen!" panggil Reno yang terdengar sangat panik, bahkan lelaki itu sampai lupa mengucap salam sakingkan paniknya.
"Assalamualaikum. Iya, Om. Ada apa?" jawab lelaki di seberang.
"Walaikumsalam. Om mau tanya, sebelumnya kamu ada ketemu Melodi?" tanya Reno berusaha menahan rasa khawatirnya.
Di seberang sana lelaki muda itu tampak hening sekejap, lalu menjawab, "Terakhir kali kami bertemu pagi kemarin, Om. Memangnya apa yang terjadi, Om?" tanya lelaki itu.
"Melodi pergi dari rumah, Reen. Sejak subuh tadi dia gak ada di rumah, semua temannya udah Om tanyain tapi gak ada yang tau dia di mana."
Dareen terdiam, mata lelaki itu bahkan terbelalak. Jantungnya mencelos dengan rasa khawatir tiba-tiba menyelimuti hatinya.
"Baik, kalau begitu saya coba cari Melodinya, Om. Om jangan khawatir, Om masih bisa ngandelin saya, jadi tetap tenang. Assalamualaikum," ucap lelaki itu menutup panggilan Reno. Meski lelaki itu merasa khawatir sekarang, ia masih menyempatkan diri untuk menenangkan lelaki paruh baya yang bahkan bukan siapa-siapanya itu.
TBC.