Petra bersama ketiga teman sekelas pergi mengunjungi pantai lain di sepanjang teluk Lilibel dimana salah satu diantaranya adalah pantai Fatamorgana. Mereka baik sepeda sejauh tiga kilometer menuju lokasi pantai yang Hime maksud.
Melewati jajal beraspal yang masih sedikit basah akibat embun semalam, Petra dapat mendengar nyanyian burung laut yang beterbangan diatas pohon bakau tidak jauh dari tepi jalan. Udara pagi hari yang masih terasa sejuk masuk kedalam paru-paru mereka. Para gadis bernyanyi riang, bahkan Rita yang sedikit tomboy pun bersiulan seakan sedang membalas nyanyian burung laut.
"Selamat datang di pantai Apion." sambut Hime.
Sepeda yang mereka naiki telah sampai di gerbang masuk pantai Apion. Gapura setinggi tiga meter dengan cat berwarna merah metalik menyambut kedatangan mereka. Karena masih pagi belum banyak wisatawan yang datang ke pantai. Mereka lebih memilih untuk menyaksikan turnamen golf dari pada menghabiskan waktu di panti pasir putih tersebut.
Seluruh pantai di Lilibel berpasir putih. Namun ada yang spesial dari pantai Apion yaitu pasir putihnya bersemu merah menjadikan warna pasir terlihat merah mudah seperti garam himalaya. Teresa memekik girang melihat warna kesukaannya menghiasai bibir pantai Apion karena pasirnya.
"Indah sekali pasir disini. Hei, Hime kenapa keluargamu tidak membangun penginapan disini saja? Kalau tahu pasirnya secantik ini seharusnya dari kemarin kamu ajak kami kemari." seru Teresa yang dua tangannya tengah bermain-main dengan pasir. Membuat istana pasir.
"Tanah disini merupakan properti pribadi yang mustahil dijual. Sudah puluhan orang berusaha membeli tanahnya tetapi selalu gagal, bahkan penawaran harga hingga tiga puluh kali lipat harga tanah disekitarnya. Lagipula, kemarin siapa yang merengek memaksa untuk menonto pertandingan pacuan kuda yang ada Lyon..." jelas Hime tidak mau disalahkan, otomatis membuat Teresa dan Rita bungkam tidak bisa berkata-kata lagi.
"Seharusnya kalian berterima kasih kepada Hime karena telah sudi membawa kita kemari. Apa tidak apa-apa kita kemari Hime? Bukankah tanah ini milik pribadi?" celetuk Petra sembari kedua matanya melayangkan pandangan untuk melihat pemandangan ke sekeliling garis pantai.
"Bukan pantainya Petra. Tapi tanah properti pribadi ada disana, mulai dari halaman rumah tua itu lalu membentang hingga ke bukit." tunjuk Hime pada sebuah rumah tua berjarak seratus meter dari tempat mereka berdiri.
"Apa ada penghuninya, Hime?" tanya Rita selidik dan penasaran.
"Tidak ada. Tetapi tiap satu bulan sekali akan ada pengurus rumah yang datang untuk membersihkan rumah tua tersebut. Aku juga heran, kenapa mereka tidak merenovasi rumah itu dan hanya membersihkan?" kata Hime mendesah penuh pertanyaan entah ditunjukan kepada siapa. Tidak ada yang lebih tahu cerita tentang pantai Apion selain Hime sendiri.
"Benar katamu Hime. Terlihat ada yang aneh dari ceritamu barusan. Dan lagi kenapa ada beberapa pohon disamping rumah yang sepertinya bekas terbakar, kamu tahu bagaimana ceritanya?" selidik Teresa menunjuk beberapa pohon zaitun mati tidak jauh dari rumah tersebut.
"Apa kalian pernah mendengar cerita tentang legenda pengendali elemen?" tanya Hime kepada teman-temannya lalu menatap mereka satu per satu seakan sedang mencari tahu diantara mereka bertiga yang tahu cerita tersebut.
"Tidak." jawab Petra, Rita dan Teresa serempak.
"Sungguh? Padahal legenda itu sering diceritakan orang tua kepada anak-anaknya sebelum tidur. Atau mungkin tidak semua orang mengetahui?" kata Hime merasa penasaran sendiri.
"Orang tua kami sibuk bekerja sejak aku bayi. Dan soal Petra, dia kan yatim piatu jadi wajar kan?" jawab Rita mewakili mereka bertiga.
"Baiklah. Akan aku ceritakan intinya saja. Dahulu, sebelum Mestonia benar-benar menjadi negara yang mandiri dan berdaulat seperti sekarang, ada penduduk asli pulau yang hidupnya dihabiskan untuk menjaga pulau tetap aman. Mereka adalah para pengendali elemen. Tidak hanya sebatas air, api, udara dan tanah tetapi beberapa elemen lain yang ada di pulau. Uniknya, tidak sembarang orang dalam garis keturunannya akan mewarisi kekuatan mengendalikan salah satu elemen. Hanya mereka yang terpilih dan mampu saja yang akan mendapatkan kekuatan tersebut. Tidak ada yang tahu siapa mereka dan dimana mereka sekarang. Apakah masih hidup atau benar-benar hanya sebuah legenda. Hanya tinggal rumah tua itu saksi bisu keganasan penguasa elemen api yang konon katanya disebut-sebut sebagai penguasa api terakhir." cerita Hime penuh penghayatan.
"Itu terdengar seperti sebuah cerita rakyat dalam literatur pelajaran Sejarah Dunia Baru saja? Terlebih lagi, semua yang barusan kamu ceritakan terlalu mustahil terjadi dalam kehidupan kita Hime. Sudah ada Tuhan yang mengatur alam semesta. Kenapa harus ada sosok manusia super semacam pengendali elemen?" ujar Rita yang terkenal kritis dan pola pikir rasionalis.
"Seperti yang diawal aku katakan bahwa cerita tersebut hanya sebatas dongeng sebelum tidur. Yang aneh menurutku adalah orang tua kalian yang sama sekali tidak pernah mengetahui tentang cerita tersebut. Bahkan kamu Petra, seharusnya murid cerdas sepertimu tahu akan cerita itu walau pun hanya sebatas dongeng pengantar tidur?" celetuk Hime. Gadis itu mengalihkan pandangan kearah dimana Petra berdiri paling jauh dari mereka bertiga dan heran dengan orang yang Hime sindir tersebut ternyata sama sekali tidak menyimak pembicaraan.
Petra yang berdiri mematung sejak melihat rumah tua itu, dengan latar belakang pohon zaitun yang terbakar, tetap diam membisu seolah tidak percaya dengan indera penglihatannya sendiri. Petra menajamkan matanya, memastikan kalau rumah tua bercat kuning gading yang sudah mengelupas disana-sini bukanlah rumah berlantai dua seperti yang ada didalam mimpinya tadi malam.
Tetapi, sekeras apapun Petra berusaha untuk menyakinkan diri sendiri yang mencoba membandingkan kedua rumah dari alam mimpi dan apa yang saat ini ada didepan mata apakah ada yang berbeda atau benar-benar persis bak duplikat yang menua, maka rasa tidak percaya adalah jawabannya. Kali ini Petra sama sekali tidak bisa mempercayai kedua matanya, seolah Petra masih berada ditempat tidur dengan selimut yang terjatuh dilantai dan keringat dingin bercucuran membasahi hampir seluruh tubuhnya.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah kenapa baru kali ini Petra mengalami mimpi mengerikan semacam itu. Apakah saat ia kecil, kedua orang tua Petra pernah menceritakan tentang legenda pengendali elemen kepadanya sebelum tidur?
Akan tetapi, kenapa mimpi yang Petra alami tadi malam seolah seperti nyata dan benar-benar pernah terjadi dalam hidupnya dimasa lalu. Seolah mimpi tersebut adalah bagian dari kepingan masa lalu Petra yang tidak bisa ia ingat dengan baik. Petra pun tidak habis pikir, bagaimana mungkin dirinya yang sejak kecil tinggal di Finelan bisa menghabiskan waktu dimasa kecilnya dalam sebuah rumah yang sedang ia lihat di Lilibel.
Pertanyaan berikutnya, kenapa paman Jon dan bibi Mia tidak sekali pun menceritakan kepada dirinya tentang masa kecilnya? Mereka lebih memilih bungkam dan mengalihkan pembicaraan ketika Petra mencoba menanyakan tentang kedua orang tuanya?
-tbc-