Chereads / Vicious Circle of Mestonia / Chapter 23 - Ch. 23 Sakit

Chapter 23 - Ch. 23 Sakit

Seumur hidup Petra, baru kali ini ia mendengar tentang sesuatu yang berkaitan dengan dunia tidak kasat mata. Spritisme dan sejenisnya, seperti yang Steven jelaskan padanya. Namun, tetap saja Petra tidak habis pikir kenapa dirinya yang harus mengalaminya.

Bukan rasa takut yang sedang Petra rasakan. Lebih seperti terkejut dengan penuh ketidakpercayaan terhadap klenik dan semacamnya. Tetapi, mengesampingkan hal tersebut Petra benar-benar bertemu dengan Ken dan berbicara dengannya layaknya bergaul dengan manusia biasa pada umumnya.

"Lalu, sebelum genap tujuh belas tahun, seperti apa bentuk Ken?" usik Petra penuh penasaran.

"Ternyata kamu cukup tertarik rupanya. Sebelum mengemban tugas di Taman Nasional Arca Mestonia, Ken kecil masih berupa sebuah wadah. Maksudnya Ken masih berwujud manusia seperti kita. Hidup seperti kita, sekolah dan lain sebagainya. Hingga pada akhirnya Ken cukup umur maka wujud aslinya terbentuk. Yaitu dalam bentuk seperti yang kamu lihat kemarin." ungkap Steven menatap Petra yang masih diselimuti oleh kebingungan.

"Jadi...Ken itu peri atau malaikat?" tanya Petra geram sendiri.

"Tidak keduanya. Tapi kamu bisa mendefinisikan kesalah satu dari mereka. Yang jelas mereka ada. Dan karena mereka, Mestonia negara yang kita tinggali ini, sampai saat ini masih terjaga dengan aman tentram damai tanpa ada kekhawatiran akan ancaman atau bencana apapun." tukas Steven tenang.

"Lalu..."

"Pengetahuanku baru sampai disitu, Petra." jawab Steven buru-buru. Kalau tidak Steven katakan seperti itu maka Petra akan terus memberondong dirinya dengan bermacam-macam pertanyaan lebih dalam yang berpotensi tidak bisa ia jawab.

"Tunggu dulu. Maksudku bukan seperti itu, lalu kenapa kamu bisa tahu hubunganku dengan Ken? Dan apakah kamu juga bisa melihat Ken?" cecar Petra tidak senang ucapannya dipotong.

"Oh...saat itu aku sedang melakukan penelitian di Finelan dengan beberapa sepupuku. Dan tanpa diduga aku melihatmu berbicara sendiri seperti orang gila. Berkhayal tentang Pangeran Salju atau semacamnya. Jadi sekarang kamu tahu jawabanku kalau aku atau orang lain tidak bisa melihat Ken. Kecuali Ken sendiri menginginkan untuk dilihat oleh orang yang dikehendaki." jelas Steven.

Pemuda itu lalu menekan salah satu pelipisnya perlahan. Membentuk gerakan melingkar, memijit pelan-pelan. Bisa dilihat kalau Steven mulai lelah menjawab pertanyaan Petra yang tidak ada habisnya.

"Baik, baik. Hingga detik ini aku mulai memahaminya. Atau setidaknya aku berusaha untuk paham. Walau pun sebenarnya akalku menolak itu semua. Sangat tidak masuk akal Stev." gerutu Petra menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Tentu saja. Kamu punya hak untuk itu. Aku sedang tidak memaksamu untuk percaya." celetuk Steven, meringis sendiri. Takjub menghadapi gadis pintar namun bebal dihadapanny.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa ada di Upenina?" selidik Petra mengalihkan perhatian dari pelototan penuh kesal dari Steven.

"Bukan urusanmu. Yang jelas, penelitian untuk makalah akhir tahunku jadi kacau balau karena harus menemani dirimu." gerutu Steven pura-pura. Dengan senyum lebar seperti orang yang tiba-tiba mendapat lotre, Petra yakin kalau Steven merasa bersyukur bisa kabur dari rombongan kelas tiga yang ikut datang untuk penelitian tugas akhir tahun.

"Benarkah. Lagi pula aku tidak meminta dirimu untuk datang." sanggah Petra juga pura-pura kesal.

"Kamu yakin?" ledek Steven jahil.

"Tentu. Disini ada banyak perawat dan dokter. Lagipula besok bibi akan datang." ujar Petra bohong.

Tentu saja Petra tidak berani memberitahukan tentang dirinya yang terluka dan terbaring di rumah sakit Upenina kepada bibi Mia. Petra tidak ingin membuat keluarganya di Finelan khawatir dan meninggalkan semuanya hanya untuk menemani dirinya.

-

Petra baru saja bisa memejamkan mata setelah kepergian Steven beberapa menit yang lalu. Namun, suara berisik dari luar pintu kamar membuatnya kembali membuka mata. Anehnya, tanpa susah payah Petra bisa mengetahui siapa pembuat onar tersebut.

Lyon datang dengan sebuah buket bunga mawar putih. Berjalan lebar-lebar kearah Petra dan meletakkan buket bunga tersebut diatas meja kecil disamping tempat tidur. Lyon hanya diam sambil memandang Petra penuh arti.

Petra merasa sangat tidak nyaman terus dipandangi dengan tatapan tajam seperti itu oleh Lyon. Bahkan pemuda berwajah dingin tersebut tidak serta merta membuka mulut.

"Kenapa kamu kemari?" celetuk Petra mengalihkan tatapan Lyon dari gips yang membalut tangan kirinya ke wajah Petra.

"Tentu saja mengunjungi pacar. Kekasih macam apa aku ini yang tidak peduli saat belahan jiwanya terbaring sakit seorang diri di rumah sakit." ejek Lyon dengan nada dingin seperti biasa. Seperti saat perintahnya tidak dituruti Petra dengan benar.

"Terima kasih atas perhatiannya. Tapi maaf, simpati palsumu itu sama sekali tidak berguna. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah tidur. Jadi pergilah." usir Petra secara halus.

Petra menarik selimut hingga menutupi kepala dan berharap Lyon segera beranjak dari ruangannya.

"Kamu pikir bisa lolos begitu saja. Bagaimana dengan laporan-laporan? Dengan siapa aku pergi kursus? Belum lagi lomba memanah yang harus kamu ikuti membutuhkan latihan yang tidak cukup singkat. Jadi kenapa kamu melukai tanganmu sendiri? Apa kamu sengaja melakukannya untuk mengejekku?" gerutu Lyon berapi-api.

"Jadi apa kamu pikir aku juga senang kalau lima jam yang lalu tanganku baru saja dioperasi sungguhan? Kamu pikir aku ini kurang kerjaan begitu? Kenapa juga aku harus berbuat konyol dengan melukai tanganku sendiri yang berharga?" sembur Petra tidak mau kalah.

Sepertinya emosi Petra semakin tidak terkendali sejak percakapannya dengan Steven tadi. Ditambah dengan kedatangan Lyon yang seakan menambah minyak diatas bara api amarah Petra.

"Begitu rupanya. Jadi kamu memang jatuh dari lantai dua gedung musik itu?" selidik Lyon yang kini suaranya sudah melunak.

"Iya." jawab Petra singkat.

"Pertanyaanku adalah bagaimana bisa kamu sampai tersesat dari rombongan hingga ke gedung musik? Letak dua bangunan itu saling bertolak belakan loh. Coba jelaskan alasanmu?" cecar Lyon tidak mau mengalah begitu saja.

Walau pun suara Lyon sudah lunak tidak seperti diawal kedatangan, tetap saja wajahnya masih berusaha berkata lain.

"Sepertinya itu...aku melupakan apa yang aku kalukan karena terjatuh tadi. Sejak kapan orang yang tersesat membutuhkan alasan?" timpal Petra balik bertanya.

"Dasar kamu ini. Jangan pernah membuat lelucon kepada orang yang sedang mengkhawatirkanmu, tau!" cebik Lyon frustasi.

"Apa aku tidak salah dengar? Kamu khawatir?" ralat Petra tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Kenapa? Tidak boleh?" bela Lyon, berlagak tidak peduli.

"Boleh saja. Asal kamu mau meninggalkan aku sendiri sekarang. Aku sangat mengantuk." kata Petra, tanpa sadar menguap dihadapan Lyon.

"Lain kali jaga sopan santunmu. Tidak baik menguap seperti itu didepan orang lain. Aku melarangnya. Jangan ulangi lagi, oke!" ujar Lyon, lalu pergi meninggalkan Petra dengan sedikit membanting pintu.

Petra hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Lyon yang dia sendiri berlaku tidak sopan didepannya. Atau mungkin, Petra masuk kedalam daftar orang yang tidak harus diperlakukan secara sopan?

-tbc-