Oleh: Merkuria Aes
Lautan Utara, Buana Yang Telah Sirna. Malam itu diriku bertemu seseorang dengan jiwa sebebas lautan luas. Ia menculikku dari papa dan mama, lalu menjadikanku sebuah piala. Dibawanya tubuh dan jiwa ini ke kapalnya, melayari samudra untuk pertama kalinya.
Bersamanya awak-awak kapal terkuat berdiri, menguasai laut Utara bagai miliknya sendiri. Ia berlayar dari laut ke laut, pulau ke pulau, kapal ke kapal, mengambil apa yang dia anggap layak dan menghabisi apa yang dia anggap tidak.
Hari ini terdengar olehnya sebuah legenda yang terbukti kehadirannya, instrumen yang hanya mampu dibawa raja lautan sejati, pusaka yang mengemban kekuatan tiada tara. Sebuah gitar yang konon melodinya mampu memanggil mahluk yang membawa teror dari lautan terdalam. Tergerak hati itu mendengarnya, dan tanpa berpanjang kata ia meminta kami tuk pergi tidur malam itu, karena esok akan menjadi hari yang panjang.
Ah betapa indahnya hari tuk pergi berlayar, mentari bersinar, burung-burung camar berterbangan, angin menari-nari di angkasa. Menurut salah satu awak, benda keramat itu berada di sebuah kapal milik kerajaan di daratan barat, yang kini sedang berlayar di lautan utara. Mereka hendak membawanya ke raja mereka setelah mencuri benda itu dari perairan kami, namun kabarnya tak satu pun dari mereka mampu memanggil dengannya.
Menurut legenda hanya ia yang terpilihlah yang mampu menggunakan instrumen itu. Kapten kami yakin bahwa dirinyalah yang layak untuk memegang si benda suci, dan untuk alasan itu ia hendak mengambilnya dari tangan para pelaut barat saraya membuktikan bahwa ialah raja sejati dari Lautan Utara.
Namun nampaknya mendatangi kapal mereka tak akan menjadi hal yang mudah untuk kami. Salah satu dari awak kami memiliki seekor elang yang mampu berbicara dengannya, hewan itu kembali pada kami setelah menjelajahi rute lautan, ditemani oleh kabar buruk.
Tak jauh terdapat badai besar yang mampu meratakan kapal kami, namun jika kami tak melewati badai itu, tak ada kesempatan bagi kami untuk mengejar kapal orang-orang barat. Tak hanya itu, jikapun kami mampu melewati badai itu dalam keadaan utuh, terdapat belasan kapal yang melindungi kapal pembawa instrumen.
Para awak mulai kehilangan semangat mereka, saling menatap, melihat kecemasan di wajah rekan-rekan di sekitar. Akan tetapi di tengah itu semua, dengan keteguhan hati bagai benteng baja, Sang Kapten berjalan di antara awak-awaknya, menggerek nyaring pedangnya, melukiskan cakarnya pada geladak kapal. Diangkatnya pedang itu angankan badai yang menerjang, memunculkan petir-petir liar yang menggonggong dari gelapnya angkasa. Angin-angin ganas menghempas topi di kepalanya, mengibarkan rambut panjangnya bagai ombak-ombak perkasa yang tak henti-hentinya menerjang kapal ini. Hari itu kami percaya jika ia bukanlah raja lautan, maka dunia ini tak lain hanyalah dusta belaka.
Diputarnya roda kemudi kapal bagai baling-baling yang tertiup topan, ia terjang badai layaknya batu permata yang tak tahu kapan harus tergores, dan ia pecah ombak andaikan pedang yang membelah jerami di kemarau yang berkepanjangan. Sungguh ganas, bahkan lautan pun takut akan dirinya.
Dari kabut tebal badai perkasa, kapal ini melesat bagai peluru menembus barisan kapal-kapal barat yang tercenggang melihat kedatangannya. Bola-bola meriam berterbangan di udara, namun tak satupun diindahkannya.
Ia tabrak kapal utama dan melompat ke dalamnya, berlari melewati musuh-musuh yang menghujaninya dengan peluru. Diambilnya kapak di pinggangnya, lalu ia lempar pada musuh yang berdiri di depan pintu ruang kapten. Keluarlah pedangnya dan ia tebas semua yang berdiri di hadapannya, awak-awaknya pun ikut melompat ke kapal lawan dan dibantainya mereka yang berdiri di atas sana.
Sang Kapten berhasil memasuki kapal itu, namun betapa terkejutnya ia melihat tak ada satupun benda yang terlihat berharga di dalamnya. Sementara di saat yang sama, kapal-kapal lain mulai berdatangan mendekati kapal tempat mereka berpijak dan menghujani para awak dengan bola-bola meriam. Jumlah mereka terlalu banyak untuk bisa dihadapi bahkan oleh orang-orang terkuat di Utara.
Tapi di tengah-tengah kekosongan inti kapal, Sang Kapten melihat sebuah gitar yang tampak kusam, menjamur dan berlumut layaknya telah melapuk selama ribuan tahun di dasar laut, mungkinkah?
Tak peduli dengan betapa bodohnya ide ini terdengar, Sang Kapten membawa gitar itu ke geledak kapal dan mulai memainkan melodi tentang teror lautan utara.
Setiap petikan gitar itu menggetarkan lautan, membuat ombak menari-nari dengan liar.
Dalam sekejap perairan di antara mereka menjadi hitam gulita, terdengarlah suara paling mengerikan dari dasar lautan terdalam. Kesunyian lalu menghantui mereka, memberikan selimut rasa takut yang tak hentinya menggerogoti tubuh siapapun yang mendengarnya. Para pelaut mulai memandang satu sama lain, berdoa agar ini bukan mimpi buruk yang mereka harap tak akan pernah datang.
Tiba-tiba, muncullah dari lautan tangan-tangan gurita raksasa, lebih tinggi dari layar kapal, lebih tebal dari pepohonan, menggeliat ganas mengelilingi mereka. Tangan-tangan itu menghempas awak-awak barat dari kapal mereka, mengangkat mereka ke udara dan menarik mereka ke lautan dalam. Kapal-kapal di sekitar digenggam olehnya, dan orang-orang barat pun dengan panik menembakinya dengan senapan dan meriam mereka. Namun mereka hanyalah menunda-nunda kematian. Tangan-tangan itu terus mengamuk seiring dengan melodi dari sang kapten, hingga luluh lantah lah musuh-musuhnya.
Tak lama hingga hanya kami yang berdiri di tengah lautan luas, monster itu menyelam kembali ke lautan dalam setelah Sang Kapten berhenti memainkan gitarnya. Sungguh tak pernah ada rasa ragu di hati kami, bahwa ialah raja sejati Lautan Utara, atau mungkin, seisi samudra.