Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 77 - Side Story : Voices of Faith

Chapter 77 - Side Story : Voices of Faith

Oleh: Auspicius Tjoroem

Aku, adalah pesuruh Tuhan. Kami besar di sebuah panti asuhan yang berdiri di bawah salah satu Gereja tua di Eropa. Sebagai bentuk rasa syukur kami kepada Tuhan, kami bersumpah untuk melayani diri-Nya, Gereja dan masyarakat sampai akhir hayat kami.

Hidupku berletak di masa-masa yang kelam, dunia ini bukanlah tempat yang aman untuk menjalani kehidupan. Manusia, hewan, alam, lengah beberapa detik saja dan kamu bisa temukan dirimu terrenggut oleh cahaya.

Pagi itu, beberapa ksatria datang membawa seberkas rahmat untuk kami, bapa memanggil mereka dengan nama Crusader. Pedang suci pun ditepukkan pada kedua bahu kami, lalu mereka meminta kami untuk membela yang benar dengannya dan menghunuskannya pada kejahatan.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, kami dilatih menjadi ksatria oleh mereka. Namun perang suci mulai mengganas, dan janji memanggil mereka ke dalamnya. Kini kesejahteraan Gereja dan mereka yang berada di naungannya berada di tangan kami para yatim piatu, juga Tuhan. Akan tetapi temanku, bukan itu yang akan aku ceritakan pada kisahku ini.

Kami para yatim piatu diberkahi dengan suara-suara emas yang tiada hentinya menyerukan nama Tuhan. Mereka bilang aku yang paling berbakat di antara mereka, lamun ada hal lain yang lebih menarik hatiku ketimbang berdiri berdampingan dengan saudara-saudariku bernyanyi dan menyerukan namaNya.

Gereja tua ini memiliki sebuah organ pipa raksasa. Aku, sudah terpana pada kreasi indah itu sejak pertama kali kutaruh mata ini padanya. Sayangnya bapa bilang suaraku menarik anugrah malaikat, jadi ia memintaku untuk tetap bernyanyi dan membawa kami semua menuju berkah-Nya. Tentu saja aku tak akan pernah menolak setiap perkataannya, namun hati kecil ini terus menggodaku untuk bermain dengan benda indah itu.

Salah seorang biarawati mendengar keinginanku untuk bermain organ, jadi dia mengajakku ke sebuah ruangan di bawah Gereja untuk melihat sebuah barang antik di sana. Tak kusangka terdapat sebuah organ pipa dengan sekala yang jauh lebih kecil ketimbang yang aku lihat di Gereja. Ini adalah anugrah dari Tuhan kataku. Si biarawati membolehkanku untuk berkunjung serta mengajariku cara memainkannya ketika waktu sedang kosong dan tak ada yang melihat.

Aku pun mengorbankan jam tidurku untuk mendatanginya dan bermain di sana. Sayangnya bapa tak menyukai hal ini, ia akan menghukumku dan si biarawati tiap kali kami tertangkap basah bermain dengannya.

Hampir setiap hari aku berkunjung ke sana. Suster yang menuntunku bermain organ memiliki jiwa bagai bidadari, dia selalu mengajariku banyak hal layaknya seorang ibu. Kini beberapa lubang di hati ini mulai terisi oleh kehadirannya. Aku menyayanginya, tiap hari kuberdoa kepada-Nya untuk memberi wanita itu kesehatan dan kebahagiaan.

Sampai datang hari, ketika Gereja kami akan merayakan ulang tahunnya yang ke-666. Aku tahu, angka yang buruk bukan? Dan selebihnya, dunia mulai berbisik kepada kami tentang peringatan mereka.

Awan hitam mulai bergerak ke desa, sementara kami sibuk mempersiapkan perayaan untuk hari dibangunnya tempat suci ini. Kebetulan esok hari minggu, dan para warga datang untuk menyerukan ibadah mereka bersama-sama dengan kami. Akan tetapi, betapa lengahnya kami tak meninggalkan segelintir orang untuk menjaga bagian luar dari desa.

Kaca-kaca seketika pecah menghujani tubuh kami. Anak-anak panah melesat ke sana kemari, menembus kulit dan daging kami. Bola-bola kecil masuk dan mengeluarkan asap yang membutakan dan menyesakkan. Pintu Gereja pun di dobrak, dan bala tentara musuh mulai masuk, menghunuskan pedang mereka.

Menghadapinya, kami segera mengambil pedang dan tombak yang telah kami persiapkan di antara kursi-kursi Gereja, kini tempat ini menjadi kian rusuh dan ternodai darah-darah manusia. Begitu banyak mayat bergelimpangan gugur di lantai yang suci ini.

Para yatim piatu tentunya maju ke tengah pertempuran. Akan tetapi biarawati itu, dia menarik kami, dan menaruh kami di sebuah tempat tersembunyi di bawah Gereja. Ia berkata, "anak-anak Tuhan harus tetap hidup dan membimbing manusia menuju jalan yang dikasihi-Nya."

Kemudian dia menutup tempat itu rapat-rapat dan menyembunyikan kami dari mata dunia untuk sementara waktu. Aku melihat saudara-saudariku menggigil ketakutan mendengar suara-suara mengerikan yang datang dari luar. Seseorang dari kami menenangkan mereka, dan untungnya itu cukup untuk mengambalikan benih-benih harapan yang mulai sirna.

Setelah sekian lama, mulai tak ada lagi suara yang terdengar melainkan nafas kami yang tersengal-sengal. Setelah itu beberapa suara jejak kaki pun muncul, perlahan memudar, dan suara pintu tertutup pun terdengar.

Kami diam beberapa saat, memberikan mereka waktu untuk pergi dari desa, setelahnya kami mulai mengintip dan perlahan berjalan keluar dari persembunyian. Saudara-saudariku seketika terjatuh lemas, menangis, dan mengelus mereka yang meninggalkan kami. Di antara mereka terlihat bapa bersender di depan mimbar kesayangannya, dengan darah membasahi sekujur pakaiannya. Sementara aku berdiri di depan tubuh seorang wanita, dengan senyuman manis berlumurkan darah terlukis di wajahnya.

"Ahh, suster. Dirimu mungkin seorang pendosa tapi aku tetap menyayangimu, jika tuhan mengizinkan, akan kupastikan doa dan jiwa ini membawa dirimu menuju Surga yang selalu Ia janjikan."

Yang tertua dari kami mulai menenangkan para saudara, dan mengajak mereka untuk mendoakan jiwa-jiwa yang telah gugur. Setelahnya mereka mulai bertanya, apa yang akan kami lakukan sehabis ini? Mulutku hanya terdiam, namun tubuh ini bergerak, mengangkat tubuh wanita yang kukasihi dan mendudukkannya pada kursi Gereja.

Lalu kuangkat warga lainnya dan melakukan hal yang sama pada mereka.

Saudara-saudariku bertanya, "apa yang sedang kau lakukan, saudaraku?".

Aku pun menjawab, "jika hari ini adalah hari terakhir mereka, maka jadikanlah ini hari terakhir mereka menyanyikan nama-Nya di dunia yang fana ini."

Lalu aku terus melanjutkan mengangkat tubuh-tubuh mereka yang gugur ke atas kursi Gereja. Perlahan salah seorang dari saudaraku mulai mengikutiku, dan satu demi satu dari mereka akhirnya melakukan hal yang sama.

Begitu mereka semua telah terkumpul, aku pun duduk di depan organ pipa tua nan indah itu. Kuelus, dan perlahan mulai kumainkan dirinya, menuntun nada-nada doa yang dinyanyikan oleh saudara-saudariku.

Sungguh aku bisa mendengar suara-suara penghuni desa menggema dikepalaku. Oh betapa rindunya diri ini akan suara merdu mereka. Kumainkan terus jemariku di atas organ ini bersama jentikan air mata, teringat akan kenangan mereka.

Hari itu kami terus meninggikan namanya hingga bulan tengah menguasai angkasa, dan para yatim piatu terlelap di dalam balada yang menimpa mereka.