Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 78 - Side Story : Lost Little Raven

Chapter 78 - Side Story : Lost Little Raven

Oleh: DiVarri Timekeeper

Ah benar, Sang Pencipta tak bercanda tentang ingin membawa kami ke Dunia baru, walau ini sedikit berbeda dari apa yang kuperkirakan. Tempat ini terlalu gelap dan suram, begitu juga dengan kulit dan rambutku, kelabu bagai abu, hitam bagai malam. Jika tak salah ingat, aku termasuk ke dalam kaum dengan kekuatan kegelapan. Sial seharusnya dia mengumpulkan kami kembali setelah menidurkan kami selama ribuan tahun, baru setelah itu mengirim kami ke Dunia ini.

Dunia baru ini seharusnya terbentuk layaknya cerita-cerita fantasi. Aku harus segera mencari tahu cara menggunakan sihir kegelapan yang ia bicarakan, si biadab itu menghambat jalanku ke Surga dengan semua ini. Semoga hidup baru ini cukup menarik setidaknya sampai aku kembali ke Langit Ketujuh.

Walaupun, ada satu hal yang tak aku mengerti, mengapa aku membawa biola ini bersamaku? Ah aku ingat membuatnya, salah satu mahakarya terbaikku. Tunggu sebentar, semua orang di kaum Kegelapan yang aku lihat berkumpul membawa alat musik mereka masing-masing. Mungkinkah sihir kegelapan ada sangkut pautnya dengan musik? Menarik.

"Hmm, should I just try and play?"

Aku terus berputar-putar dalam pikiranku, hingga sebuah melodi merambat di udara. Namun nada-nada yang datang tidak terdengar begitu… gembira. Jadi aku hampiri melodi itu, berharap bertemu dengan si musisi yang memainkannya.

Aku bisa mendengar kesedihan dan kepedihan yang tersirat dari hatinya. Biola yang ia mainkan tak terdengar seperti instrumen dengan kualitas yang baik, namun keahliannya dalam bermain membuatnya terdengar begitu merdu, walau menyedihkan. Tapi di langkahku menuju dirinya, aku mendengar suara lain selain biolanya, mungkin dia tak sendirian.

"God have mercy..."

Sesampainya di sana, seorang anak laki-laki terlihat sedang duduk dan bermain di atas batu besar, bersama di sekitarnya, bernaung gagak-gagak hitam yang nampak meresapi alunan musiknya. Di samping anak itu melayang dua alat musik yang ikut bermain bersamanya, sebuah seluling bambu dan alat musik tebal yang mirip dengan biola, rabab. Mungkin ini salah satu sihir kegelapan yang dimaksud Sang Pencipta.

Begitu ia selesai memainkan satu lagu, aku menghampirinya lebih dekat. Tanpa basa-basi, sekejap ia berpindah ke posisi siaga, dan para gagak mulai berteriak ke arahku. Aku yakin saat itu dia pasti terkejut dan takut melihat kedatanganku, tapi sungguh, aku lebih takut lagi ketika gagak-gagak itu mulai bersuara.

Meski begitu, di antara kesiagaannya ada satu hal yang jelas menarik matanya, biolaku. Tentu aku mengenali tatapan itu, tatapan orang yang haus akan alunan musik. Jadi aku menawarkannya biolaku, Stradivarius, dengan harapan ia akan menyukainya dan mungkin menahan gagak-gagak ini untuk tidak memakanku hidup-hidup.

Ia pun berdiri dari atas batunya dan berjalan ke arahku. Saat itu aku sadar betapa kecilnya dia, mungkin sekitar 150an. Dan jika dugaanku benar, ia meninggal di usia 13-14 tahun. Sungguh malang nasibnya.

Ia kemudian mengambil biolaku dan mencoba menggeseknya, cukup satu gesekan dan ia tertegun dengan mata berbinar-binar. Tentu saja perbedaan kualitas suara Stradivarius yang satu ini dengan biola yang dimilikinya bagaikan langit dan bumi, dan ini membuatnya sangat bahagia. Walau aku sedikit kecewa karena ia tidak tersenyum, tapi tak apa.

Selagi dia sedang gembira, aku memintanya untuk mengajariku salah satu sihir kegelapan yang ia gunakan, karena dari mata ungu dan kulit kelabunya aku yakin dia salah satu dari kaumku.

Ia melakukannya seakan membalikkan telapak tangan, sungguh mengagumkan mengingat kami sama-sama baru menapakkan kaki di Dunia ini. Anak ini mungkin saja seorang jenius, keterampilannya bermain biola juga begitu menakjubkan untuk anak seumurannya.

Satu hal unik yang aku pelajari dari sihir kegelapan adalah kemampuannya untuk membuat benda dari kegelapan, membuatku berpikir mengapa ia tak membuat kursi yang nyaman ketimbang duduk di atas batu.

Saat itu pun aku membuat salah satu replika cello favoritku semasa hidup. Ia juga tampak begitu bersemangat melihat benda indah ini, jadi ia mengajakku untuk bermain bersama. Dan malam itu kami habiskan bermusik ria, hingga bayangan kembali beristirahat. Ahh sudah sangat lama rasanya semenjak aku bisa merasakan kebebasan ini.

Anak ini tak ingat akan namanya, namun ia mengingat masa hidupnya. Maka dengan didasarkan atas kisahnya aku pun memutuskan untuk menamainya... Verslinder (Pemangsa/ Pelahap).

Selama kurang lebih 37 tahun kami hidup, tak lain ialah umur generasi pertama Pohon Kehidupan, aku mengajari Verslinder banyak hal, dari musik, ilmu hidup, bahasa, sains, dan teknologi. Kudidik ia layaknya anakku sendiri. Kami tidak memiliki agama yang sama, tapi kami menyembah Tuhan yang sama. Itu cukup untuk diriku tak mengajarinya apapun tentang keagamaan.

Verslinder tidak bisa berbahasa Inggris, namun ia lancar dalam empat bahasa, Belanda, Jepang, Indonesia dan Arab. Ada yang salah dengan otak anak ini, dia terlalu cerdas untuk seseorang yang baru hidup sekian lama. Aku mengajarinya berbahasa Inggris, sebagai gantinya ia mengajarkanku bahasa asalnya, Indonesia.

Dan tentu karena kecerdasannya, ia kadang sedikit kesal denganku yang tidak memiliki kecepatan belajar secepat dirinya. Jika saja ia hidup untuk waktu yang lebih lama, ia mungkin sudah menjadi seorang ilmuan atau semacamnya.

Dari 37 tahun hidupku dengan Verslinder, ada hal menarik yang kami pelajari dari tubuh kami. Kami tidak menua, baik fisik maupun mental. Jadi mau setua apapun Verslinder, dia akan selalu terlihat seperti anak kecil, dan bertingkah layaknya anak kecil.

Saat Pohon Kehidupan bereinkarnasi, ada satu hal yang menajam dari naluri kami. Alhasil dalam waktu singkat kami pun bertemu dengan 76 anggota kaum Kegelapan lainnya.

Terkecuali 11 orang, mereka semua membawa alat musiknya masing-masing dan nampak sudah memahami cara menggunakan sihir kegelapan. Namun satu hal yang aku pelajari dari kaumku, tak peduli bagaimana kehidupan mereka sebelum sangkakala berbunyi, di Dunia ini, mereka bukan orang baik-baik.

Setelah masa reinkarnasi pertama Pohon Kehidupan, masuklah era generasi kedua, era tergila dalam sejarah kaum kami. Dunia menjadi jauh lebih kelam dari sedia kala, dihujani oleh keringat, air mata dan darah.

Generasi kedua memiliki hobi yang sangat tidak sehat, perang. Di mata mereka, untuk membunuh dan dibunuh dalam perang merupakan sebuah kehormatan yang tinggi. Aku yakin ini semua ada sangkut pautnya dengan Pohon Kehidupan, tapi di masa itu, aku sungguh tak peduli akan mereka.

Seiring berjalannya waktu di era generasi kedua, orang-orang kaum kami mulai menunjukkan sikap-sikap layaknya kesedihan, depresi, amarah. Aku tak menyalahkan mereka, seharusnya kami sekarang berada di Surga ditemani oleh keluarga dan bidadari. Kini kami hidup bersama 77 orang yang tak pernah kami kenal, dan lebih parah lagi, tak ada wanita di kaum kami.

18 belas tahun berlalu, dan kekecewaan kami berada pada puncaknya. Kaum kami mulai saling menyalahkan satu sama lain atas penderitaan mereka karena tak ada siapapun untuk dijadikan kambing hitam. Kami pun saling membenci dan akhirnya para musisi terbagi menjadi tujuh kubu. Aku untungnya tak termasuk salah satu dari mereka dan tetap netral.

Mereka menyatakan perang antar satu sama lain namun menemukan sebuah kejutan yang membuat keadaan semakin buruk. Kami lumayan kebal, akan semua ilmu, sihir dan serangan yang ada hubungannya dengan kaum Kegelapan. Membuat kami tak bisa membunuh satu sama lain secara langsung.

"This is insanity..."

Salah satu sihir yang mampu kaum kami gunakan adalah nekromansi (ilmu membangkitkan yang mati), dan dengan ilmu ini kami pun mulai membuat pasukan yang mampu melewati kekebalan kami akan kegelapan. Bagaimana kami melakukannya? Dengan bantuan kaum lain tentunya.

Kaum kami memiliki kebanggaan (keangkuhan) yang tinggi. Kami beranggapan, sebagai calon penghuni Surga kasta kami jauh lebih tinggi dari para calon penghuni Neraka dan keturunan mereka. Hal ini membuat kami melihat mereka tak lain hanyalah sekumpulan hewan ternak yang bisa kami panen kapanpun kami mau.

Ketujuh kubu berkelana ke tujuh kaum yang berbeda dan mulai membantai orang-orang di sana. Aku berbicara dengan Verslinder mengenai hal ini, dan berusaha memenangkan perang untuk mempersatukan kaum kami. Namun ia sama gilanya dengan anggota kaum lainnya.

"Open your eyes, child!"

Aku pun menantangnya untuk bertarung, membujuknya untuk kembali pada akal sehatnya. Tentu dia menerima tantanganku, aku bukan seorang yang sangat ahli bermusik layaknya anggota kaum lainnya, hal ini membuatnya beranggapan bahwa aku yang terlemah di antara kami. Dan tentu, anggapannya merupakan sebuah kesalahan besar.

Pertempuran dimulai dan tak satupun nada keluar dari biolanya. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat sebuah lambang fermata di atas kepalanya.

Aku pun memanggil satu benda yang menjadi sejatiku dalam bidang musik, sebatang baton. Aku mungkin hidup sebagai Antonio Stradivari di kehidupan kedua. Tapi aku tetaplah seorang Conductor handal dengan nama yang mendunia di kehidupan pertamaku.

Aku berjalan ke arah Verslinder dan ia terus menatap tajam ke arahku. Dari situ aku membujuknya untuk kembali ke akal sehatnya dan membantuku untuk menyatukan kaum Kegelapan. Jujur saja ini tidak mudah, butuh waktu dua malam hingga akhirnya Verslinder bergabung ke pihakku. Namun semenjak saat itu, kami menjadi jauh lebih dekat dari sebelumnya, dan ia menjadi sangat setia kepadaku.

Singkat cerita, kami mendapat bantuan Hakan dan suku Api hingga akhirnya memenangkan peperangan. Namun sebagai hukuman atas genosida yang kami lakukan terhadap kaum-kaum lainnya, ia mengutuk kami dalam hutan yang begitu gelap, dan Sang Pencipta tentu saja ikut campur dengan memperburuk rupa kami. Kami akan terus begini sampai kami mampu menemukan cahaya.

Verslinder adalah anak yang menjalani masa hidupnya berusaha bertahan hidup sendirian di hutan yang keji. Hal ini membuatnya seorang yang sangat ahli mengenai hutan. Dia merupakan salah satu orang yang paling berkontribusi dalam pencarian cahaya.

Seperti yang kalian tahu, kaum Cahaya akhirnya datang ke hutan kami. Dari sinilah masa-masa bahagia Verslinder dimulai, tepat ketika ia dan Austra saling bertatap mata untuk pertama kalinya.

Tidak seperti para musisi lainnya, cinta Verslinder dan Austra murni tumbuh tanpa adanya sihir cinta dan kutukannya. Begitu Austra masuk ke hutan, keduanya saling memandang dan mulai jatuh cinta dari pandangan pertama. Cukup lucu mengingat mereka berdua bertubuhkan anak 12-14 tahun.

Ketika kaum Kegelapan dan Cahaya diminta berdiri berdampingan saat melepas kutukan kami. Verslinder saat itu juga langsung memilih Austra, dan mereka satu-satunya pasangan yang bergandengan tangan selama masa pelepasan. Begitu kutukan terlepas, Verslinder kembali ke wajah tampannya, dan Austra menjadi jauh lebih cantik dari sebelumnya. Hal ini tentu hanya memperkuat cinta mereka.

Setelah selesai berhubungan dengan Guardian dan membangun kerajaan kami, kedua kaum pun setuju untuk membentuk tujuh keluarga. Verslinder masuk ke keluarga Gloria, sementara Austra bersama kakaknya, Borea, memasuki keluarga Keshan.

Ketika pemilihan kepala keluarga, semua anggota Gloria secara spontan langsung menunjuk Verslinder. Tentu saja dia bingung, karena dibanding dirinya, anggota Gloria lainnya hidup jauh lebih lama di Buana Yang Telah Sirna.

Namun satu hal yang tak ia ketahui, bahwa banyak orang yang menyayanginya di kaum Kegelapan. Karena tak hanya pintar, Verslinder merupakan anak yang baik dan menggemaskan, walau lumayan keji dan kejam. Dan dari situ Verslinder pun terkenal sebagai kepala keluarga terkuat dari kaum Ratmuju.

Di sisi lain, Borea menjadi kepala keluarga Keshan dari kaum Kegelapan. Dan sebagai adiknya, Austra pun menjadi wakil kepala keluarga Keshan dari kaum Cahaya.