Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 79 - Chapter 16: Hours Left to Our Lives

Chapter 79 - Chapter 16: Hours Left to Our Lives

Ahh… kehormatan, kata nan indah yang dipuja ribuan Penempa Bumi. Jadikanlah ia alasan, dan mereka akan rela mati karenanya. Tak ada yang lebih agung ketimbang berpisah dengan raga sembari berselimutkan kehormatan di sekujur jiwa.

Malam sebelum hari pertempuran, Amartya mengirimkan tiga orang untuk menyelinap ke kemah pasukan Angkasa. Satu Genka, satu Vhisawi dan satu Dramu. Seharusnya kini mereka telah selesai dengan perkerjaan mereka dan melapor kembali ke Amartya.

*!*

Lalu tiba-tiba, muncullah asap hijau, dan darinya keluar seorang Vhisawi dengan tudung dan penutup wajah. Ia mendatangi Amartya dan memberikan info tentang perangkat alkimia yang tersebar di kemah pasukan Langit. Di antaranya terdapat sebuah zat bernamakan nitrit pekat.

"Tunggu, apa? Mereka memakai nitrit pekat!? Ini mungkin… akan sedikit merepotkan." Naema termenung mendengar laporan si Vhisawi.

"Ada apa dengan nitrit pekat adinda?" Tanya Amartya yang tak terlalu paham dengan alkimia yang tak berhubungan dengan logam.

"Nitrit pekat mampu merubah banyak benda menjadi peledak, elemen utama peledak adalah api dan udara, tentu saja Genka takkan terpengaruh, tetapi Ambawak…"

"Udara satu-satunya yang mampu melemahkan tanah mereka, mungkin ini akan merepotkan, tetapi aku dengar para Dubalang memiliki latihan khusus untuk menghadapi kelemahan mereka, aku harap ini cukup untuk membuat mereka bertahan."

"Semoga saja."

"Walau jujur aku tak paham mengapa tanah lemah terhadap angin…" Aku juga demikian Amartya, jangan terlalu memikirkannya sinergi elemen di dunia baru ini.

Vhisawi tadi pun undur diri.

*Dam dam!* *Dam dam!*

Tak lama dua buah genderang hitam yang berkabutkan asap, muncul di samping Amartya dan berketuk, penuh semangat. Dari bayangan pun keluar seorang Dramu dari keluarga Keshan. Keluarga ini memang terkenal dengan kemampuan mereka untuk meramu dengan bayangan. Ia mendatangi Amartya dan memberikan info tentang kondisi mental pasukan Angkasa.

"Hear me… o King of Fire, hear the voice of truth!" Sang Dramu berbicara dengan bisikan nan semu bagai bayangan.

"Speak o thee, messenger of shadow!"

"The sky… as corrupted as sinned they are, the old ones… fear… honor, the young ones… greedy… arrogant, thus the sheeps… empty… no emotion, only order…"

"Sheeps? Domba? Mereka tak beremosi? Apa maksudnya?" Amartya tak terlalu paham metafora dari Buana Yang Telah Sirna, hal ini membuat dahinya kian mengkerut.

"Mungkin dia berbicara tentang para klon kakanda." Naema menerka-nerka antara elemental dan klon, namun ia memilih yang terakhir.

"Oh? Para klon tidak memiliki emosi? Ini berita yang menarik."

"Ya, Ilmuan Langit belum mampu menciptakan klon yang sempurna, alhasil mereka berakhir hanya memiliki tubuh dari keturunan yang kuat, namun otak mereka memiliki banyak malfungsi."

"Ah, jadi begitu, kurasa mereka perlu belajar lebih banyak soal kloning dari Viper."

Amartya pun mempersilahkan sang Dramu untuk pergi.

Lalu datang penyelinap yang terakhir, seorang gadis dengan rambut semerah mawar dan mata sejingga senja, para Ina Waraney (waraney perempuan) memang terkenal jauh lebih mahir dalam penyelinapan dan pengintaian ketimbang Waraney lainnya, karena tubuh mereka yang ringan, kecil dan lebih lentur serta kemampuan mereka untuk bergerak layaknya kupu-kupu. Gadis ini membawa informasi tentang persenjataan dan perlengkapan perang pasukan Langit.

"Hmm, ratna-ratna ini memiliki kelas yang tinggi, tongkat sihir mereka mungkin akan memberikan dampak yang buruk untuk kita." Gumam Amartya setelah memeriksa serpihan ratna yang dicuri gadis itu.

"Para Malianis memakai ratna yang hampir serupa, namun, ya, kualitas mereka lebih tinggi ketimbang kami." Naema meneruskan.

"Lalu zirah mereka… hanya zirah ringan? Bukankah ini terlalu nekat? Terlebih lagi berhadapan dengan Genka dan Tanduk Putih yang memiliki serangan mematikan."

"Zirah terlalu berat untuk Ilmuan Langit, jadi kemungkinan mereka akan memakai zirah sihir, seperti zirah es atau semacamnya."

"Hah? Zirah kan bisa dibuat ringan... bahkan beberapa terbuat dari kapas..." Sebenarnya Amartya tak cukup heran, mengingat ilmu peperangan Ilmuan Langit yang teramat minim.

"Oh ngomong-ngomong saya menemukan ini, Tuan Amartya." Gadis Ina Waraney itu memberikan Amartya secarik kertas.

"Wah! Ini!?"

-----------------------

NOTA:

Muticus | Infanteri | Ali | Magus

Bartelsi | Elemental | Ali | Sayap

Harpatex | Infantri | Gun | Magus

Bulweri | Elemental | Gun | Perusak

Cassidix | Infantri | Is | Magus

Diabolic | Elemental | Is | Benteng

Solodia | Infantri | Hya | Pendukung

Pegasus Hya | Kavaleri | Hya | Kuda Udara

Shadhawar Hya | Kavaleri | Hya | Kuda Darat

Sur Laavak | Infantri | Sur | Spesial

-----------------------

"Ini nota yang sangat kecil, bagaimana kamu bisa menemukan benda sekecil ini?"

"Oh, ini nota saya yang buat, Tuanku. Aku merangkum apa yang ada dari mereka, dan menulisnya di secarik kertas, jika dirimu menghendaki, kita bisa berbicara lebih lanjut mengenai detail." Tutur si Ina Waraney. Amartya cukup senang mendengarnya, berarti gadis itu mendengar pelajarannya di Papendangan dengan benar.

"Jadi begitu, memang tak salah aku menyerahkan tugas ini kepadamu."

"Ngomong-ngomong, nona. Apa yang dimaksud dengan spesial ini?" Naema menunjuk pada secarik kertas itu.

"Oh, itu—"

"Kamu akan mengetahuinya saat melihat mereka adinda, sekarang tidurlah, besok kita sudah harus siap sejak dini hari." Amartya dengan cepat menyela ucapan gadis itu dan menutup mulutnya dengan tangan kirinya.

"Ba-baiklah... lalu kakanda?"

"Ada yang harus aku urus terlebih dahulu, jika memungkinkan, aku akan bergabung denganmu nanti."

"Jika memungkinkan?" Raut wajah Naema berubah risau.

"Tidurlah, adinda…"

Naema pun berhenti bertanya dan mulai mengembangkan sayapnya, ia lalu terbang menuju rumah mereka. Sebelum beranjak tidur Naema membuat sebotol minuman berbahan dasar kafein dan sebuah es krim dari rhodiola rosea, lalu mengirimkannya pada Amartya melalui seekor Manguni yang hinggap di sana, jikalau memang Amartya akan mencoret jam tidurnya untuk hari ini. Kemudian gadis (wanita) itu membersihkan semua pikiran yang mengganggunya dan beranjak tidur. Iya, aku masih belum bisa memanggilnya wanita sepenuhnya…

***

Langit masih kian gulita namun sudah terdengar suara ricuh dari arah Sfyra. Naema membersihkan dirinya, lalu bergegas menuju benteng tersebut. Alangkah terkejut dirinya ketika melangkahkan kaki keluar rumah. Paparan Aurora menari-nari di angkasa, merambat menuju lokasi di mana Amartya berada. Kini ia mengikuti cahaya indah itu, melesat menuju kekasihnya, seraya terhipnotis kumpulan warna yang tengah bersimfoni.

Para pasukan sudah berbaris di depan gerbang bagian dalam benteng Sfyra, sekumpulan kunang-kunang putih menyelimuti barisan mereka dengan cahaya, dan memberi mereka rasa aman. Terlihat para ketua regu yang telah dibentuk Amartya tengah berdiri mengelilinginya dengan raut tegang dan mata yang terfokus padanya.

Amartya sendiri berdiri di samping seorang gadis Waraney, dengan botol pemberian Naema di pinggangnya dan sebuah batang merah di tangan kanannya, batang itu mengeluarkan asap layaknya cerutu. Sementara si gadis Waraney memegang papan yang di atasnya bersandar lembaran-lembaran kertas berisikan segala hal yang dibutuhkan Amartya.

Naema pun turun dan bergabung dengan mereka.

"Selamat pagi adinda, sudah siapkah dirimu untuk hari besar ini?" Tanya Amartya, ia sama sekali tidak terlihat letih, walau jelas dia belum tidur sejak kemarin.

"Selamat pagi kakanda, mengapa diriku baru dengar kalau kakanda merokok sebelumnya?"

"Ah ini? Ini permen api."

"Permen api?"

"Ya, para Genka mengubah nutrisi pada kristal elemen api menjadi sebuah permen yang dimakan melalui asapnya, ya seperti yang adinda sudah ketahui aku gagal tidur semalam, ini adalah cara tercepat untuk memulihkan kembali energiku yang hilang, para Waraney juga menggunakannya, bahkan sekertarisku yang sedang berdiri di sampingmu." Amartya menunjuk ke saku Alisha di sampingnya yang berisikan sepaket permen api.

Mendengar ucapan Amartya, Naema pun mulai melihat-lihat sekitar dan menemukan banyak dari para Waraney yang sedang menghisap permen api layaknya Amartya.

"Kreatif." Puji Naema, banyak ide berdatangan ke benaknya untuk membuat makanan baru.

"Ah iya, ngomong-ngomong adinda, bisakah dirimu menjelaskan mengenai pasukan klon pada para ketua regu yang berdiri di depan kita ini?"

"Oh, tentu!" Dan gadis es itu pun memulai penjelasannya.

Akan aku rangkum penjelasan Naema. Jadi, para pasukan Langit sebagian besar diisi oleh para klon karena pada dasarnya Ilmuan Langit tidak dilatih untuk bertarung. Para klon ini memiliki sihir yang kuat karena mereka terbuat dari genetik-genetik terbaik di Angkasa.

Namun, seperti yang kita tahu, para klon tak mampu berpikir secara inisiatif ataupun logis tingkat tinggi, sehingga mereka tetap perlu dibimbing oleh para Ilmuan Langit dalam pertempuran. Hal ini membuat tiap regunya yang teridiri dari ratusan klon, juga diisi oleh Ilmuan yang membimbing mereka. Segelintir orang di tiap regu mereka terdiri dari sekian puluh Manshira, dan seorang Magistra.

Para Manshira merupakan penyihir yang amat kuat di kalangan Ilmuan Langit, sementara Magistra tentunya sudah tak perlu dijelaskan lagi. Menjatuhkan para klon mungkin tak terlalu sulit karena mereka bisa terjerumus kesalahan bodoh kapan saja. Akan tetapi untuk para Ilmuan, mungkin akan menjadi pekerjaan yang cukup berat untuk menjatuhkan mereka.

Kata Naema, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk meruntuhkan sebuah regu pasukan Langit. Menghajar para klon, dan meruntuhkan moral para Ilmuan. Para klon merupakan lawan mudah dengan moral relatif stabil dan tak banyak berpikir, sementara para Ilmuan sulit untuk dijatuhkan, sehingga harus dilumpuhkan secara moral.

Ilmuan langit mungkin tak ahli berkelahi, tapi kemampuan mereka untuk menggunakan sihir blink dan berpindah secepat kedipan mata, akan membuat mereka amat sulit untuk diraih.