"Sekarang aku ingin kalian menempelkan benda ini di sisi kepala kalian." Amartya memberikan sebuah benda lingkar layaknya bola gepeng yang terbuat dari logam, pada masing-masing ketua regu.
Mereka menyipitkan mata saat memandanginya. Mau bagaimanapun bola-bola gepeng ini terlihat seperti batu yang amat mulus dan mengkilap. Terlbih lagi, para ketua regu jatuh bingung mencari cara menaruhnya di sisi kepala mereka karena logam itu tak tercantum pada apapun. Hingga salah satu dari mereka mengira benda itu akan menempel, dan mendekatkannya pada sisi kepalanya.
*!*
Seketika itu juga logam itu melekat, dan dengan cepat terbuka. Lalu terlihatlah energi oranye yang memancarkan cahaya biru keunguan. Para ketua regu yang lain terlihat cukup kagum, lalu mengikuti geriknya.
"Halo-halo, apa kalian bisa mendengarku."
Suara Amartya mendadak datang, dan tiap-tiap dari mereka pun tersentak mendengar dirinya yang terasa seperti berada di dalam kepala mereka. Pemuda itu melihat reaksi mereka, dan betapa senangnya ia menemukan alat itu berfungsi sebagaimana seharusnya.
"Jadi, alat yang ada di kepala kalian ini adalah cara kita berkomunikasi, cara kerjanya mirip telepati, jika kalian tahu apa itu telepati." Jelas Amartya tanpa menggerakkan sedikitpun bibirnya.
Alat ini adalah hasil karyaku. Aku memberikannya kepada Amartya untuk memudahkan komunikasi mereka dalam peperangan kali ini. Aku yakin kalian familiar dengan internet, sistemnya mirip namun punyaku hanya memiliki satu pusat (atau server, mungkin?), ya setidaknya pada saat itu.
Aku menggunakan jaringan magnetku untuk mengirimkan pikiran mereka ke sesama pengguna alat itu. Tentu saja aku terus memantaunya, sehingga apabila jatuh ke tangan musuh, aku akan memutuskan jaringan dari alat yang terenggut. Aku juga membuat alat untuk Amartya yang membuatnya mampu memilih kepada siapa dia ingin berbicara. Dengan ini pasukan Bumi akan memiliki komunikasi yang lebih dari cukup.
Para Ilmuan Langit juga memiliki sistem komunikasi. Mereka menggunakan angin untuk berbicara ke sesama, tentu saja cara komunikasi mereka lebih lambat ketimbang kecepatan gelombang elektromagnetik yang kalian kenal dengan kecepatan cahaya.
"Baiklah, sekarang kalian boleh kembali ke regu kalian. Firasatku, mereka akan datang terang-terangan saat matahari terbit, karena siapapun itu yang memimpin mereka tak cukup bodoh untuk menyerang saat malam." Tutur Amartya.
"Mengapa tidak, kakanda?"
"Singkatnya melakukan penyergapan ke orang sepertiku atau Ayah, lebih pantas disebut bunuh diri."
Satu hal yang perlu kalian tahu dari Genka, mereka mampu melihat melalui perbedaan suhu. Jika aku tidak salah kalian menyebutnya sebagai 'thermal vision'. Tentu saja menyerang regu militer yang mampu melihatmu dengan jelas, sementara dirimu hanya melihat kegelapan, terdengar seperti rencana bunuh diri.
Sebelum tiap kepala regu sempat kembali ke regu mereka masing-masing, DiVarri datang dan memberikan Amartya posisi yang diinginkan untuk disinggahi para musisi.
"Kurasa ini cukup strategis, kalau begitu—"
Namun tiba-tiba, salah seorang Dubalang menyela ucapan Amartya.
"Apakah Tuan butuh kami menjaga para musisi, Tuan?" Dubalang tersebut maju menawarkan jasa regunya.
"Menjaga mereka? Entahlah…" Aku tak tahu mengapa, tetapi firasat Amartya seketika berdentum dan membuat dirinya bimbang.
"Itu bukan ide yang buruk, nak." DiVarri menyadari keraguan Amartya, dan dengan cepat meluruskan tawaran raksasa di depannya.
"Sungguh? Aku tak yakin…" Bahkan kemampuanku tak mampu melihat apa yang membuat Amartya begitu gelisah. Mungkin para Manguni tengah memberinya peringatan, atau fakta bahwa Dubalang yang biasa hanya mengikuti perintah tiba-tiba memberinya masukan.
"Wanita-wanita cahaya akan membentuk pelindung yang menahan setiap serangan sihir yang datang ke arah kami, sementara para Dubalang bisa menahan para penyihir yang hendak menyergap datang, sekiranya memberi kami cukup waktu untuk menyadari kedatangan lawan."
"Kami akan menjaga mereka dengan nyawa kami, Tuan Amartya." Dubalang tersebut menggenggam jemarinya di depan dadanya, memperkuat tawarannya.
"Hmm, jika memang ini yang kau inginkan DiVarri… apa boleh buat. Kalau begitu aku ingin 64 prajurit Panukok (palu) di sekitar para musisi."
"Tentu, Tuan!" Jawab si Dubalang, seraya menggangguk menundukkan pandangannya memberi penghormatan.
"Aku harap dirimu tidak akan menyesali ini DiVarri, perasaanku benar-benar tidak enak."
DiVarri hanya membalas Amartya dengan senyuman.
Para musisi lalu berkumpul di titik yang telah ditentukan. Mereka mulai membuat panggung seraya memasang dan mempersiapkan instrumen mereka, sementara 64 dubalang mengitari mereka dan merubah diri menjadi dinding batu.
"Ah, ngomong-ngomong Alisha, mari kita kembali ke barisan Waraney terlebih dahulu," Ucap Amartya pada sekertarisnya.
"Sebaiknya kamu juga memberikan bimbingan pada para Malianis, adinda. Kalian para mahkluk Angkasa tak pernah diciptakan untuk saling bertumpah darah." Amartya melanjutkan perkataannya sembari menggiring Alisha kembali ke kemah Waraney.
Naema pun mengangguk paham dan bergegas ke barisan para penyihir Es, sementara Amartya kembali ke para Waraney yang tengah bersiap-siap. Ia lalu meminta mereka untuk berkumpul di hadapannya.
"Aku membawa 3 regu berisikan masing-masing 333 Waraney untuk pertempuran kali ini, 1 laki-laki (Santi), 1 perempuan (Ina), dan 1 campuran (Istinggar), tentu saja kalian tahu Santi Waraney dan Ina Waraney memiliki keunggulan yang berbeda, apalagi Istinggar Waraney." Tutur Amartya seraya beridiri tegap di hadapan para Waraney, menyita fokus mereka.
"Seperti yang telah direncanakan, Tuan Amartya. Ketiga grup akan ditempatkan di posisi yang berbeda. Grup Istinggar akan bersarang di atas tembok, grup Santi akan bertindak sebagai elemen kejutan, sementara grup Ina Waraney akan berdansa bersama kupu-kupu sebagaimana seharusnya." Sebagai sekertaris Amartya, Alisha mengerti dan menguasai detail rencana-rencana serta strategi Amartya. Walau ya… mungkin tak sepenuhnya, mengingat perbedaan tingkat kecerdasan yang jauh antara keluarga utama dan Genka biasa.
"Aku menaruh jumlah kalian tepat 999, angka yang suci bukan? Semenjak Naema berhasil menghapus kutukan sial itu dari hatiku, aku mulai merasakan berbagai macam hal aneh dari orang-orang yang aku pimpin." Amartya menepok jidatnya, dan dengan mata tertutup mengehela nafas berat yang asapnya hampir setinggi tubuhnya.
"Oleh karena itu... aku punya satu permintaan untuk kalian adik-adik sialan, kumohon… jangan mati." Matanyapun kembali terbuka, tatapan yang muncul darinya bisa membuat siapapun merinding.
Para Waraney terdiam tak mampu berkata-kata, walau berbicara pada saat itu bukan ide yang baik. Mereka bisa merasakan kehangatan api Amartya menyelimuti jiwa-jiwa mereka, dibalik aura kecaman yang kini ia pancarkan. Semenjak Amartya bisa merasakan kasih sayang, banyak yang berubah dari cara dia memimpin dan mengatur strategi. Ia mulai mementingkan keselamatan pasukannya, ketimbang kemenangan.
"Jagalah angka suci ini, pastikan Azrael tak bertamu di depan pintu ruh kalian, dan kembalilah untuk menyambut reinkarnasi ketiga Kalpataru." Pemuda itu kembali berdiri tegap dengan kedua tangan saling menggenggam di belakang pinggangnya.
"Oh, dan pastikan kalian menghasilkan generasi keempat, paham?"
"Paham pak!" Waraney menjawab serentak, namun terdengar cekikikan kecil di antaranya.
"Paham!?" Amartya membentak lantang, kembali tersulut api amarah.
"Siap! Paham pak!" Jawaban mereka kian mengeras, kini dengan postur yang luar biasa tegap.
"Baiklah, ada pertanyaan?"
Salah seorang di antara Ina Waraney pun mengangkat tangannya. Amartya kemudian menatap ke arahnya dengan mata merah menyala-nyala seakan ingin membakarnya di tempat.
"Bicara!"
"Ah… itu Tuan…gini…" Aku bisa merasakan rasa takut gadis itu, ia pasti sadar betapa bodohnya pertanyaan yang akan dia lontarkan.
"Ayolah Minara, kita tak punya banyak waktu! Cepatlah!"
"Siap, Pak! Me-mengenai para klon, Nyonya Permaisuri bilang mereka terlahir dari penyihir terbaik, lalu mengapa mereka lebih mudah dihadapi...? ee... e... Maaf membuang waktu Anda, Pak!"
Api amarah Amartya seketika padam mendengarnya, betapa kecewanya dia mendengar pertanyaan dari gadis itu. Ia menghela nafas panjang dan memegangi jidatnya seakan ingin meremas kepalanya sendiri. Si gadis mulai terdiam dengan wajah yang tertunduk malu.
"Demi Mentari, Minara… bukannya kita sudah belajar soal ini di Papendangan?"
"Maaf, Tuan..."
"Gini ya, inti dari sihir pertempuran para Ilmuan Langit itu terletak pada ketepatan dan kebijakan penggunaannya, seperti kapan harus menghindar, menyerang, bertahan dan sebagainya, para klon tidak memiliki inisiatif yang tajam layaknya para Ilmuan Langit seutuhnya, serangan mereka mungkin mematikan, tapi membantai mereka akan jauh lebih mudah ketimbang melawan seorang Manshira atau Magistra Ilmuan Langit yang sudah mengikuti pembelajaran sedemikian lamanya."
Gadis tadi mengangguk paham, tetapi dia terlalu malu dan takut untuk berkata-kata lagi.
"Jika semua sudah jelas, aku ingin kalian segera berangkat ke pos kalian masing-masing setelah aku menutup forum perang ini."
"Siap, Pak!" Jawab para Waraney.
"Semoga Mentari bersama kalian, saudaraku!"
Di sisi lain, Naema telah selesai memberikan bimbingannya kepada para Malianis. Kini ia dan Amartya pun naik ke atas tembok Sfyra dan mulai menarik perhatian para Penempa Bumi. Tiap pasukan yang ada di sana menjadi sunyi, dan mengalihkan fokus mereka pada Amartya.
"Saat-saat seperti ini seharusnya aku memberikan pidato untuk membakar semangat kalian sebelum pergi ke medan perang, tetapi kita tak punya banyak waktu (lawannya juga gampang, perang apanya...), kurasa hal itu tidak mungkin kulakukan, jadi hanya ini yang akan kuucapkan."
Amartya lalu menarik nafas terdalam yang ia bisa, hawa-hawa panas yang mengepul dapat dengan mudah dilihat terhirup ke dalam tubuhnya.
"MARI KITA TUNJUKKAN PADA BURUNG-BURUNG KEPARAT INI, SIAPA YANG BERKUASA ATAS DARATAN!"
Amartya berteriak begitu nyaringnya, hingga gelombang udara dari suaranya bisa terasa di kemah-kemah pasukan Langit.
Seisi pasukan Bumi pun bersorak, meneriakkan tangisan perang mereka, mengangkat senjata mereka tinggi mengarah ke Angkasa. Hari itu Bumi terguncang, getarannya begitu dasyat hingga penduduk lautan terdiam karenanya.
"Demi Kalpataru!"
"Demi Stigra Tala!"