Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 81 - Chapter 18: First Blood

Chapter 81 - Chapter 18: First Blood

Seisi pasukan bersorak-sorai, menghentakkan senjata mereka ke tanah sembari meneriakkan kata-kata yang membakar semangat mereka. Amartya setelahnya pun turun dari tembok tinggi itu untuk menemui Ester.

"Yo Ester!"

"Nuhun, aya naon kang Amartya?"

"Ahahaha, hanya bersapa-sapa bodoh," Amartya lalu berjalan ke arahnya, mensejajarkan badannya dengan Ester dan mulai berbisik.

"Hari ini mungkin akan lebih kelam dari biasanya, aku ingin kau terus perhatikan para musisi dan pastikan sebanyak mungkin bayangan tetap beridiri, mentari mungkin akan bersembunyi esok hari."

"Eh, apa!? Anu? Maksudnya? Kang Amartya!?" Ester mendadak panik, otak tumbuhannya tak mampu memproses apapun itu yang diucapkan sang Ardiansyah.

"Aku bergantung padamu, Ester." Amartya berjalan pergi meninggalkan Ester dalam kebingungannya.

***

Sementara itu pasukan Langit nampak sudah keluar dari perkemahan mereka dan mulai membentuk barisan jauh di timur benteng Sfyra. Mereka dipimpin oleh seorang Profisa dengan listrik menjalar ke mana-mana, mengerubungi penuh tubuhnya. Ia tak lain adalah Parjanya.

"Wah gila memang, mereka sungguh membuat tembok berlapis berlian. Ditambah hukum teleportasi perang, ini akan sangat merepotkan." Parjanya mulai mengoceh, namun ketenangannya tak sedikitpun tampak terganggu.

"Profisa Parjanya, apa tak apa-apa kita mendatangi benteng mereka secara terang-terangan begini?" Tanya salah satu Manshira Listrik, yang jelas bingung dan takut.

"Tak apa kok. Mari, pasang meriam sihir dan kita mulai atur barisan sesuai apa yang telah direncanakan." Parjanya pun mengulurkan tangannya, seraya berjalan kembali ke barisan pasukan Langit.

Di sisi lain Amartya telah melihat kedatangan pasukan Langit dari atas tembok Sfyra.

"Hmm, benerkan Parjanya. Ahh… tidak terlalu menyenangkan rasanya melawan sahabat masa kecil." Pemuda itu melihat ke arah mereka dengan tatapan tidak tega.

"Dirimu mengenalinya kakanda?" Amartya menatap cemas ke arahnya.

"Bisa dibilang, sewaktu kecil aku sering bermain bersamanya dan Hamsah apabila ayah mengunjungi Angkasa, jika dilihat-lihat, sebenarnya banyak dari teman-temanku yang sekarang berdiri menjadi lawan kita."

"Apa ini mengganggumu?"

"Cukup. Meski di masa lampau aku tak memiliki rasa kasih sayang, aku selalu tertarik dengan keunikan mereka, dan sekarang setelah kutukan ini lepas, pertempuran ini akan sekidit menyakitkan untuk dilihat."

"Jika mereka temanmu, apa yang membuat mereka menyerang kakanda seperti ini?"

"Entahlah, bahkan almarhum Yang Mulia Falah tak tahu motif apa yang memicu peperangan hari ini."

"Kakanda bertemu dengannya?"

"Ya, sekitar setahun sebelum Hamsah naik tahta."

"Mungkinkah ada hubungannya dengan Sang Ratu?"

Mendengarnya Amartya tersentak, seketika begitu banyak hal yang melintas di pikirannya.

"Jika dipikir-pikir, mungkin…"

"Hmm?"

"Sudahlah! Ayo Adinda, kita sambut mereka dengan sedikit basa-basi."

Naema mengangguk, keduanya lalu menuruni tangga tembok Syra.

Tiba-tiba di tengah perjalanan mereka, tampak sekumpulan Dramu berpakaikan topeng gagak melintas membawa beberapa gerobak berisikan mayat-mayat manusia dengan sayap menempel di punggung mereka. Di antara mereka berdiri Verslinder, tersadar akan pandangan Amartya dan pasukan Bumi yang tertuju pada mereka.

"Adakah hal yang menjanggal hatimu, Penguasa Api?" Tanya Verslinder, lirikan matanya cukup untuk membuat Amartya merinding, seakan biola yang dibawanya tengah siap mengesek lehernya.

"Ti-tidak… sebenarnya iya, apa yang akan kau lakukan dengan… ah… itu?" Amartya nampak tidak nyaman.

"Oh mereka? Gagak-gagak menunggu makanannya, begitu pula dengan kami, alangkah baiknya bagi kami tuk memakan ketakutan makhluk fana tatkalah ingin bermusik ria dengan kegelapan."

"Begitu…? (Itu Ilmuan pads udah mati kan!?) Bisakah kalian tidak melakukannya di depan pasukanku, rasanya mereka sedikit… belum terbiasa dengan kegiatan para Dramu."

"Keinginanmu adalah perintah bagi kami, Penguasa Api." Tanpa menggoyahkan sedikitpun raut wajahnya, sekejap Verslinder dan keluarga Gloria menghilang layaknya butiran debu, bersatu dengan bayangan.

"Perasaanku jadi tak enak. Adinda, bawa Pangeran Cronus dan Putri Rhea ke ruang strategi yang sudah kita bicarakan! Aku akan menyambut pasukan Langit, keadaan nampaknya akan membelok lebih cepat dari apa yang kubayangkan." Amartya meminta seraya berjalan keluar dari gerbang Sfyra dengan mantel apinya yang senantiasa berkobar tak tahu kapan harus terdiam di antara benih-benih manisnya udara.

Pasukan Langit sudah selesai memasang meriam-meriam sihir mereka, barisan pasukan juga sudah terlihat rapih, tak lama hingga mereka akan mulai menyerang. Atau…

"Hey Magistra! Kamu yakin sudah semua klon mengeluarkan elemental mereka? Mengapa masih terlihat sedikit?" Seru Parjanya dengan nyaring, berjalan di antara para elemental berbadan besar yang terbalutkan zirah-zirah tebal.

"Aku yakin sudah semua Profisa, lagipula para klon tidak memiliki kelas penyihir, cuma karena mereka memiliki kekuatan yang sama dengan Shamna atau mungkin lebih, tak menjadikan mereka setara dengan mereka." Sahut si Magistra, yang saat itu tengah mengatur regunya dari balik jubahnya yang tak henti-hentinya terbelai angin.

"Ya apalah itu."

"Ngomong-ngomong Profisa, apa dirimu tahu sesuatu tentang 9 burung hantu raksasa yang bertengger di 3 pohon besar di depan kita? Entah mengapa, mereka sedikit... mengangguku." Si Magistra berjalan hingga sejajar dengan Parjanya, seraya menunjuk ke arah pohon di depan mereka, bermaksud mengarahkan tangan itu tepat pada pandangan sang Profisa.

"Oh mereka? Itu burung Manguni, jangan samakan dengan burung hantu, para Genka tak menyukainya."

"Genka? Hubungannya dengan mereka?"

"Hmm, jadi burung Manguni ini bisa dibilang salah satu dari pelindung suku Api, jika aku tak salah ingat kak Amartya bilang jumlah mereka ada 9 seperti apa yang sedang kita lihat sekarang, mereka merupakan burung yang bijak dan kuat, katanya mereka juga mampu melihat segalanya."

"Mampu melihat segalanya?"

"Ya, seperti perasaan seseorang, arwah, masa depan, itu sebabnya keluarga Vasurha, atau keluarga utama suku Api seperti kak Amartya memiliki insting yang seakan mampu memprediksi masa depan."

"Lalu kegunaan mereka bertengger di sana?"

"Aku dengar beberapa Genka mampu melihat melalui manguni layaknya kita melihat melalui para elemental, jadi kemungkinan mereka menjadi mata bagi penembak jitu Genka atau semacamnya."

"Kalau begitu bukankah sebaiknya kita menyingkirkan para manguni ini?"

"Menyingkirkan? Hahahaha! Jangan bermimpi!" Mendengar tawa sarkas dari Parjanya membuat si Magistra menggertak mulutnya. Desperasi yang keluar dari suara Profisa itu membuat dirinya merasakan sengatan rasa takut berjalan yang merangkak di punggungnya

"Burung-burung itu abadi layaknya para mahkluk tua seperti Nona Zis dan Leviathan ataupun Tuan Behemoth, satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah—"

*Sek!*

Tiba-tiba Magistra yang baru saja ia ajak bicara menyenderkan tubuhnya pada Pajarnya, tak bernyawa, dengan pisau merah tertancap di dadanya. Pajarnya terkejut namun entah mengapa ia tahu hal semacam ini akan wajar untuk terjadi.

"Bukankah lebih baik jika belati itu kau tancapkan di leherku, kak Amartya?" Dibalik nada songongnya, bisa terasa kerinduan serta kecemasan yang mendalam dari ucapan Parjanya.

"Ah Parjanya, jika aku menancapkannya padamu, dua hal buruk bisa menimpa pasukan Langit." Amartya berjalan seorang diri ke arah barisan pasukan Langit. Mata merahnya yang berkoar-koar membuat musuh-musuh yang melihatnya menggigil dilahapnya.

"Oh? Dan apakah itu, kak Amartya?" Suaranya terdengar semakin lancang, ia jelas berusaha melawan ketakutannya.

"Kamu ini cerdas tapi membuat darahku mendidih..."

"Bukankah hal itu selalu terjadi? Kakak Amartya."

"Ahahaha!" Antara rasa canggung dan tak tega, keduanya bercampur dalam tawanya.

"Tentu saja, tentu… baiklah, satu, pasukanmu akan kabur kebingungan karena pemimpin mereka sudah tumbang, lalu karena kalian kalah cepat dengan Penempa Bumi, pasukan Langit akan dibantai dengan memalukan, cukup buruk bukan?"

"Sayangnya kakak lupa akan satu hal mengenai itu, Ilmuan Langit tak akan pulang tanpa kehormatan."

"Aku mengenalmu sebagai pengecut Parjanya, tak kusangka aku akan mendengarmu berbicara soal kehormatan perang."

"Setiap orang tumbuh dewasa kak Amartya, mungkin seharusnya kakak lebih sering mengunjungi Angkasa."

*Tch!* Amartya mendecakkan lidahnya.

"Ah sial! Kalian sendirilah yang membuat hubunganku canggung dengan Angkasa."

". . ." Parjanya tak mampu menyangkalnya.

"Oke yang kedua, Pasukan Langit akan menyerang dengan membabi-buta dan menjadikan mereka lawan yang mudah untuk Pasukan kami."

"Wah, aku tak yakin dengan kata mudah, kak Amartya, bukankah itu terlalu sombong bahkan untukmu."

Mendengar itu, Amartya lekas menghela nafas, "jangan gila Parjanya, pulanglah, kalian tidak diciptakan untuk berperang."

"Maksudmu kami terlalu lemah untuk bertarung, seperti itu?"

"Jika memang begitu caramu melihatnya, iya."

"Jika kakak memang merasa kuat, lalu untuk apa membawa pasukan sebanyak ini!?"

Amartya kembali menghela nafasnya, ia hampir tak tahu harus berkata apa.

"Layaknya kalian, para Penempa Bumi juga makhluk yang gila akan kehormatan, dan atas hal itu, mereka juga punya hak akan kehormatan membela tanah air mereka."

"Kakak pikir aku akan membeli omong kosong itu?"

"Ya… jika dirimu ingin aku membantai seisi pasukan Langit sendirian saat ini juga..." Amartya menatap dengan begitu tajam, rasa ngeri yang ia pancarkan begitu pekat seakan dapat terlihat dengan mata telanjang.

"Dengan senang hati akan kulakukan."

Parjanya tergertak kian hebat dan memundurkan langkahnya.

"Pulanglah Parjanya, hidupmu lebih berarti dari ini." Amartyapun berbalik arah dan hendak berjalan kembali ke benteng Sfyra.

*!*

Namun mendadak keluarlah perisai api dari belakang mantel angkuhnya. Sekejap setelahnya, sebuah misil listrik datang menerjang ke arahnya dan menabrak perisai tersebut detik itu juga.

"Wah serangan kejutan, kamu belajar dengan baik Parjanya, aku bangga." Bisik Amartya, matanya sayu, ia hampir saja tersenyum.

Namun apa yang tak ia sangka, ribuan misil sihir kemudian datang melayang-layang, berterbangan menelusuri udara.

"DINDIANG PARISAI!" Seru keras Amartya, suara lantangnya mengguncang telinga tiap Dubalang di sana.

Para Dubalang Parisai pun membuat barisan rapat dengan perisai berlian mereka berjajar, membuat dinding-dinding kolosal perkasa, lalu dengan kokohnya menghadang setiap sihir yang tertuju pada mereka.

Salah satu hal unik dari Ambawak adalah perisai mereka tak hanya melindungi apa yang tertutupi perisai tersebut, melainkan satu daerah besar yang lebarnya dua sampai lima kali lipat besar perisai mereka tergantung dari kemampuan masing-masing. Dan para Dubalang dalam kasus ini, merupakan petarung dengan kemampuan tertinggi di kalangan Ambawak.

Di tengah semua itu, sihir mulai terlihat terjun dari Angkasa, walau hanya untuk menemukan dirinya terhadang oleh atap sihir raksasa yang dibuat Lishmi demi memastikan pertarungan ini tetap terjadi sejajar di Daratan.

"Ah sial, benar-benar merepotkan!" Gerutu Parjanya.

"AHAHAHA! Selamat datang di medan perang, Parjanya!"