Pernahkah kalian berpikir, siapakah diriku? Mengapa sosok sepertiku datang berkunjung dan menceritakan kisah-kisah ini? Kemudian di antara tiap kata yang terucap, benak kalian bertanya, dari mana aku tahu apa-apa yang terjadi?
Tentu saja hal pertama yang ada di benak kalian pastinya Pohon Kehidupan bukan? Memang amat disayangkan, tapi aku sendirilah yang menemukan kisah-kisah ini, bukan beliau.
Mereka memanggilku Raja Magnet atau Raja Gravitasi. Akulah yang menyusun semua cerita yang telah kalian dengar sepanjang pembicaraan kita. Aku mendengar mereka, langsung dan persis. Tiap-tiap suara yang keluar, tiap nada yang berdentum, tiap emosi yang tercurah, dan segala hal yang diriku bisa dengar. Tentu saja aku juga punya caraku sendiri untuk melihat visualisasi dari segala hal yang terjadi di tempat kejadian perkara.
Namun, bagaimana bisa aku masih hidup dan bercerita pada kalian? Sedangkan kisah Amartya bertempat ribuan tahun lalu? Tak perlu terburu-buru, tentu saja kalian akan bisa mengenal lebih jauh diriku, tetapi sekarang bukan saatnya. Mari, kita kembali pada dua tokoh utama kita.
***
6 tahun kemudian...
Malam itu Naema memanggilku dan memintaku untuk membawakan sesuatu untuknya. Dan tentu saja, aku memenuhi panggilannya. Amartya dan Naema selalu menumbuhkan benih-benih yang amat menarik untuk diamati, dan atas dasar itupun aku menemui gadis itu di satu-satunya desa suku Es di Daratan, Marzanna.
"Raja Magnet! Selamat datang di desa kami."
Sang Putri Salju keluar menyambutku dari depan pintu rumahnya, bersandangkan gaun putih dengan corak sian, walau kini tanpa syal membungkus lehernya, mengingat udara di sana cukup membuatnya sejuk.
"Panggil saja Polar, nona." Aku lalu membungkuk, memberikan rasa hormatku padanya.
"Ah tentu, maafkan aku, seseorang mengajariku betapa pentingnya sebuah gelar." Senyum kecil yang ia paparkan seakan menyairkan sebuah puisi kerinduan, hari yang ia nantikan 6 tahun lamanya akhirnya akan segera menyapanya.
"Tentu saja Tuan Putri, tentu saja."
"Ngomong-ngomong, kamu membawa apa yang aku minta?" Matanya melirik pada tas putih yang tersandang di bahuku.
"Ini dia, dua batang magnesium murni, 2000 gram." Aku kemudian memberikannya dua bongkahan logam yang dibungkus kain putih bertuliskan Mg di atasnya.
"Dan tentu saja, ini magnesium spesial yang hanya aku yang bisa membuatnya."
"Terima kasih Raja Magnet. Tapi… apa kamu yakin aku tak perlu membayar apa-apa untuk ini?" Ia tampak tak nyaman dengan kondisi cuma-cuma yang kuberikan.
"Tak perlu, benda ini menyelamatkanku dari kebosanan mengawasi negri di atas awan, tapi jika nona memberikanku manisan beku suku Es yang terkenal, aku akan sangat menghargainya." Aku berharap itu cukup untuk menenangkannya.
"Ahaha tentu…" Gadis itu tertawa kecil, suara lembutnya mengingatkanku akan seekor peri salju.
"Ayo masuk, aku akan membuatkannya untukmu."
Naema membuka pintu rumahnya, dan aku pun mengikutinya.
"Jika aku boleh tahu, Tuan Putri. Apa yang akan dirimu lakukan dengan logam itu?"
"Bukankah dirimu maha tahu? Mereka akan berbicara padamu ketika logam ini telah sempurna."
Naema lekas menutup pintu rumahnya, membiarkan hangatnya kristal api tetap terjebak di dalamnya. Malam itu aku menghabiskan waktuku memakan manisan buatan sang Putri, ia juga membuat beberapa variasi dan memintaku untuk memberikan pendapatku untuk tiap-tiap dari mereka. Peraturan pertama yang perlu kalian ketahui tentang dunia ini, jangan pernah menolak makanan dari suku Es. Bukannya mereka akan marah jika kalian menolak, tetapi makanan yang mereka buat tak tahu kata banding.
*
Hari demi hari pun berlalu, dan Naema akhirnya menyulap logam magnesium yang kuberikan. Kini saatnya ia membenahi barang-barangnya, mengganti pakaiannya dan bersiap-siap untuk beranjak menuju tempat yang telah disepakati dirinya dan Amartya untuk bertemu kembali setelah perpisahan mereka beberapa tahun yang lalu.
Kali ini namun, Ester memberi sedikit bantuan kepada perjalanan Putri Salju kita. Suku Alam dengan segala keajaiban mereka, membentuk sebuah taman bawah tanah dari Tarauntalo hingga Maksallatan. Bersamanya juga sebuah jalan pintas, jalur air Tarauntalo-Mitralhassa. Jalur air ini dibangun dari karang dan tumbuhan laut yang saling merajut dan membentuk goa bawah air. Goa ini ditumbuhi banyak jamur matahari yang membantu tanaman di dalamnya untuk tetap berfotosintesis.
Sementara taman bawah tanah sendiri merupakan sebuah kerajaan jamur, ditumbuhi berbagai macam jamur dari masing-masing provinsi. Langit-langit taman dipenuhi dengan serpihan permata yang meneteskan air dari permukaan. Kehadiran mereka membiaskan cahaya ke segala arah, menjaga tempat itu tetap terang dengan jejamuran yang senantiasa menggemakan sinar sendu mereka.
Terdapat banyak manusia jamur sebesar balita yang hidup dan bekerja sebagai penjaga taman ini. Bersama mereka juga terdapat peri-peri yang mengurusi vegetasi yang tumbuh. Makhluk-makhluk mungil ini berpakaian cukup berbeda dengan peri di hutan Tarauntalo. Jika boleh kukatakan, anggap saja mereka lebih… kejamur-jamuran.
Tempat ini juga dihidupi banyak hewan. Beberapa dari mereka berbadan cukup besar, yang mungkin kalian kenal dengan nama: dinosaurus (iya, reptil-reptil raksasa itu).
Layaknya tiap sisi taman, badan mereka juga ditumbuhi banyak jamur. Akan tetapi, aku tak akan katakan apakah simbiosis antara mereka mutualisme atau parasitisme.
Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, taman ini merupakan sebuah kerajaan jamur, mereka terselimuti kegelapan semu bagaikan malam rembulan, dan ketika kalian hendak menonggakkan kepala kalian, maka tanah akan menyambutnya dengan gemerlap permata yang senantiasa berkilau bagai bintang-bintang.
Lalu di saat kalian memandang ke depan, akan terdengar merdunya aliran air dari sungai-sungai kecil yang terpampang bersama rerumputan dan beberapa pepohonan yang menyendiri.
Untuk membantu perjalanan Naema, Ester menyiapkan salah satu dinosaurus besar yang akan mengantarkan gadis itu melewati kedua jalur tersebut. Ankila namanya, hewan berkaki empat dengan punggung berlapis zirah tebal dan ekor bertanduk baja. Konon katanya tertampar ayunan ekor reptil itu bisa memisahkan roh seseorang dengan tubuhnya. Mereka juga bisa memakai sedikit sihir alam untuk memperkuat dirinya ataupun menangkap musuhnya. Sungguh bodyguard yang cukup baik, bukan?
Seperti biasa semua barang Naema disimpan di dimensi pribadinya, jadi satu-satunya yang berada diatas Ankila hanya Naema semata, yang merupakan perempuan langit dengan berat 40-50 kg tanpa sayap dan 50-65 kg dengan sayap. Hal ini tentunya akan menjadikan perjalanan menjadi sedikit lebih cepat jika dibandingkan dengan tubuh gadis alam yang tinggi dan pekat, berbobot 85-100 kg, itupun belum termasuk barang bawaan mereka.
*
Dalam kurun waktu 1 hari 2 malam Naema akhirnya sampai pada lokasi yang dijanjikan. Jika dibandingkan dengan Amartya, pemuda itu hanya butuh beberapa jam saja untuk berlari ke Tarauntalo. Ditambah lagi mengingat kemampuan mengatur stamina rakyat Api yang luar biasa.
Kini Naema berada di pondok kecil yang terbuat dari kayu, dinding-dindingnya dipenuhi corak dari platina, yang kini telah menggambarkan lukisan api, sementara atapnya ditutupi genteng hitam yang saling bertumpukan.
Rumah yang terletak di antara dedaunan coklat yang berguguran, yang berdiri tegak di selatan Mitralhassa. Tak salah lagi, inilah tempat yang dimaksud Amartya 6 tahun lalu.
Pondok ini dulunya milik Tanduk Putih, mereka menggunakannya apabila ingin berkunjung ke ibu kota Mitralhassa, benteng Sfyra. Namun kini mereka tak menggunakannya lagi, dan Hakan pun membelinya, saat ini Amartya punya hak penuh atas tempat ini.
Bicara soal Tanduk Putih, kurasa dari awal pertemuan kita, aku tak pernah memanggil orang-orang suku dengan sebutan mereka yang semestinya, semua ini tentu agar kalian lebih mengerti mengenai apa yang aku bicarakan. Tapi mulai saat ini, anggap saja demi ketepatan sejarah, aku akan memanggil mereka sebagaimana seharusnya mereka dipanggil.
Lanjut, kini setelah Genka (suku Api) mengambil alih kepemilikan pondok itu, terdapat dua tugu api yang menyala tak kunjung padam, serta sarang dari salah satu burung terhormat di kalangan Genka, burung Manguni (burung hitam besar menyerupai burung hantu). Akan tetapi pada kedatangan Naema, sarang ini sedang kosong, ia pun tak memiliki kewajiban untuk memberikan penghormatan padanya.
Setelah tak menemukan siapapun di luar, gadis itu langsung berjalan menuju pintu pondok, sepasang pintu ganda berwarna hitam dengan tekstur yang rumit. Pada masing-masing pintu terdapat lingkaran berwarna sian dan merah, mereka nampak bisa ditempel oleh sesuatu, layaknya puzzle yang harus diisi agar lengkap.
Warna keduanya mengingatkan Naema pada sesuatu, benda yang diberikan Amartya kepadanya 6 tahun lalu. Ide pun menyambar pikirannya, gadis itu kemudian melihat ke arah cincin api di jemarinya, dan perlahan mendekatkannya pada lingkarang berwarna merah.
Naema merasa paham dengan teka-teki yang dimaksud, ia langsung melepas cicin itu dari jarinya, walau tak mudah. Tentu saja perih melanda, suhu panas cincin itu bergesekan dengan jari Naema yang bertambah lebar sesuai berjalannya umur.
Dia pun meletakkan cincin merah itu untuk mengisi lingkaran merah. Namun tak seperti apa yang harapkan, tidak ada yang terjadi pada pondok di hadapannya.
"Ha...?"
Keringat pun menetes dari wajahnya, membasahi syal bergaris putih sian yang menyelimuti lehernya agar tetap dingin.
Ada yang tak benar, warna mereka cocok, tetapi pintu tak kunjung terbuka. Namun di tengah semua itu, Naema kemudian teringat kata-kata Amartya mengenai dualisme api dan es pada diri mereka berdua. Dengan cepat ia langsung memindahkan cincinnya tersebut pada lingkaran biru.
*Shhnnngg!*
Lingkaran itu langsung bersinar benderang, dari cincin api pun mengalir cahaya merah yang perlahan mengisi tiap corak pada pintu kiri. Api lekas membentuk sebuah lukisan yang menyerupai seorang wanita.
Dugaan Naema benar, pintu kiri pun perlahan terbuka. Senyuman rindu tak kuasa terukir pada wajahnya ketika melihat dua warna itu Bersatu, terdapat perasaan hangat yang seakan menyelimuti tubuhnya (walau aku yakin itu hanya panas dari pintu api). Kini Naema bisa memasuki pondok itu tanpa ada halangan.
Seperti apa yang ia duga, bangunan itu tua dan terbengkalai, dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Bertahun-tahun pelatihannya untuk menjadi penjaga rumah yang baik membuatnya resah pada apa yang ia lihat.
Naema segera membuka dimensi pribadinya, mengeluarkan segala peralatannya, dan membersihkan total pondok kecil itu bersama kedua elemental esnya yang berpakaikan topi silinder dan dasi hitam.
Anak itu nampaknya telah maju dari obesisinya akan topi dan mulai mencari banyak pakaian baru untuk mendandani elemental miliknya. Ia juga banyak membaca buku-buku tentang cara berpakaian masyarakat dari Buana Yang Telah Sirna.
Hari berganti malam, kini pondok yang terbengkalai sudah bersih dan rapih. Naema juga menghias tempat itu dan memasang barang-barang yang menurutnya penting, layaknya kulkas dan beberapa peralatan memasak. Ia juga menaruh kasur katun besar bersepraikan merah biru serta sepasang bantal di atasnya, berhubung pondok itu memang kosong tak berisi.
"Sekarang aku mengerti mengapa papa memintaku membawa Kasur, mungkin seharusnya kubawa sofa juga."
Sekarang seisi pondok telah rapih, Naema tak lagi menemukan kegiatan yang ingin ia lakukan malam itu. Ia pun meninggalkan pakaiannya, menyisakan kulit seputih salju itu hanya terbungkus syal es dan secarik kain putih, lalu beranjak tidur. Besok adalah hari perjanjian pertemuannya dengan Amartya.