Mereka bersama beranjak memasuki bangunan tersebut. Sebuah rumah kecil dengan ruang kecil di tengahnya. Dalam ruang itu terdapat pintu logam pada lantainya dengan lukisan sembilan kembang, dan mereka lalu berjalan memasukinya. Dari sana mereka menuruni tangga yang berujung pada goa dengan cahaya merah redup merasuki atmosfirnya.
Melayang di dalamnya kunang-kunang merah yang senantiasa mengedipkan cahaya, menempel jejamuran yang memancarkan sinar sendu, dan menggenang sebuah mata air bersama aliran pancuran di sampingnya.
Di bawah genangan air itu terdapat sisi terhiasi bebatuan yang memberikan relaksasi bagi siapapun yang menginjaknya. Di permukaannya terdapat bunga-bunga putih berjenis sembilan yang kian melandai. Sementara air itu sendiri begitu harum, layaknya semerbak ratusan kembang yang berterbangan di Umanacca.
"Selamat datang Tuan Putri, di kolam Asmara. Aku tahu memang terdengar sedikit menggelikan, tetapi memang begitu mereka menamakan kolam ini." Pemimpin gadis-gadis itu berucap lembut dengan senyuman kecil yang terlihat jahat bagi yang memahaminya.
"Maaf, kalo aku boleh bertanya... kalian ini siapa ya?" Naema sedikit gugup dikerubungi sekumpulan Genka sendirian. Panas yang mereka pancarkan cukup menambah betapa gerah tubuhnya terasa.
"Oh, maafkan kami karena tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu." Gadis itu menutup bibir dengan jemari kanannya.
"Tak apa…"
"Aku Nitara, dan kami adalah gadis-gadis pelindung Mentari, orang-orang yang terpilih untuk melayani adat-adat suku Api, mereka memanggil kami... Inolatendo." Para gadis lekas membungkukkan tubuh mereka.
"Inolatendo?"
"Benar, tugas kami adalah untuk memastikan tiap tradisi dan adat suku Api berjalan dengan baik, kami juga memiliki pengetahuan penuh tentang semua norma dan adat yang berlaku di sini."
"Apakah ada syarat tertentu untuk menjadi seorang Inolatendo?" Tanya Naema penasaran, melihat tak satupun gadis Inolatendo yang buruk rupa.
"Tentu, jumlah kami tak banyak karena seleksi yang ketat, seorang Inolatendo dituntut cerdas dan bertata karma, mereka yang membawa nama ini harus mampu memegang kehormatan yang diberikan serta berdedikasi pada adat dan tradisi Genka, kami juga merupakan seorang calon Waraney ketika masih kecil."
"Apakah seorang Inolatendo ada hubungannya dengan kepercayaan?"
"Tidak, masalah tentang Tuhan dan Sang Pencipta di sini diurus oleh Walian Tonaas..." Gadis itu kembali tersenyum dan perlahan berjalan mendekati Naema. "Kurasa cukup perkenalannya."
"Ba-baiklah, bolehkah aku tahu tujuan kita ke kolam Asmara ini?" Naema kembali bertanya. Walau samar, terlihat bahwa dia merasakan panasnya kolam asmara di kulitnya.
"Tentu, Tuan Putri. Kita kemari untuk menjalankan bagian pertama dari adat pertama suku Api, yaitu menyucikan tubuh sang mempelai. Tuan Amartya sudah melakukannya, sekarang giliranmu Tuan Putri."
"Oke... apa yang perlu aku lakukan?"
"Lepas pakaianmu dan biarkan kami membersihkan dirimu."
"Bentar bentar, apa? Pakaianku!?" Naema mendadak matang mendengarnya.
"Ya, ada masalah dengan itu, Tuan Putri?" Gadis bertudung merah itu berucap dengan santainya, sementara Naema sudah bisa mendengar detak jantungnya berlomba-lomba.
"A-ah… itu… bisakah aku melakukannya sendiri?" Rasanya begitu malu, mukanya merah luar biasa.
"Tentu saja tidak, itulah gunanya kami disini." Senyum Nitara semakin lebar, ia tampak begitu jahat di mata Naema. Sementara Tuan Putri kita tak bisa menjawab apa-apa, dia terlihat sangat panik dan gelisah.
"Kita semua yang ada disini perempuan, Tuan Putri. Tak ada yang salah dari menunjukan tubuhmu, dan walaupun semisalnya kami memiliki kelainan dalam hasrat kami layaknya para Iska, Pohon Kehidupan tidak sedang bereinkarnasi, kamu tak perlu khawatir."
"Aku seorang Iska! Apa kalian lupa!?" Entah karena suhu atau apapun itu, tapi kulit Naema seakan melepuh seketika itu juga.
"Tentu saja kami ingat~" Seringaian Nitara benar-benar luar biasa, mata jingganya seakan bergemerlap terang, menembus tudung merahnya, sudah sangat jelas ia sedang menjahili Naema.
"Ehm… kamu yakin aku tak bisa melakukannya sendiri?" Ia begitu merinding ketakutan.
"Jika Tuan Putri memang sebegitu malunya, persilahkan kami menemanimu menikmati uap yang panas ini."
Para Inolatendo serentak melepaskan pakaian mereka, menampilkan kulit sawo matang yang begitu mulus seakan cahaya tergelincir di atasnya. Satu-satunya yang tersisa hanyalah tudung merah yang tetap menempel di kepala mereka. Naema tampak tak mampu berkata-kata, tubuhnya entah mengapa semakin panas.
Udara di kolam asmara mendadak kian menyejuk dibuat Naema, seakan memanjakan tubuh para Inolatendo.
Hei jangan salahkan aku jika aku tak terlalu paham tentang apa yang aku ceritakan oke? Perempuan— terutama perempuan Iska, mereka makhluk rumit yang sulit untuk dimengerti. Tak ada satupun romansa sesama jenis di dunia baru ini, tapi entah mengapa mereka tetap terangsang pada apapun yang mereka lihat.
"Lihat, tidak ada masalah apa-apa kan, Tuan Putri? Mengapa udaranya jadi sejuk seperti ini?" Nitara mencondongkan badannya, mendekatkan matanya yang berseri-seri pada wajah Naema.
"Maaf tonaas, tapi sepertinya Tuan Putri kita sudah… kau tahu… memuncak~" Salah satu Inolatendo lain turut menggoda Naema dengan senyum sinisnya.
"Ah iya, benar... aku harap kamu menikmati pemandangan ini Tuan Putri." Nitara memandang dengan begitu liar, walau dirinya tak merasakan apa-apa (ditambah lagi nafsunya dikekang), sikap merendahkan Iska pada Genka, tetap mendarah daging di tiap Inolatendo.
Naema terlihat sangat tertekan, tetapi akhirnya perlahan-lahan mulai melepas setiap helai kain yang menempel pada tubuhnya, menampilkan kulit putih kemerahan yang tak lagi terlihat dingin layaknya salju. Sementara wajahnya tak bisa lebih matang lagi dan kedua tangannya berusaha tetap menutupi tiap sisi tubuhnya.
"Baik, sekarang berdirilah di bagian kolam Asmara yang landai dan dialasi batu, kita akan memulai tradisi yang dinamakan Lumelek dan Bacoho, kamu tak perlu melakukan apa-apa Tuan Putri, biar kami yang menyucikan tubuhmu." Para Inolatendo bergerak mengambil peralatan mereka.
Naema pun berdiri di atas bagian kolam yang landai. Nitara kemudian mengambil gayung di dekatnya dan menyiram Naema dengan air kolam dari batas leher sampai ujung kaki. Lalu dirinya kembali menyiram tubuh Naema, terus sampai sembilan kali.
Setelah itu Nitara meminta Naema berendam di dalam kolam dan menyandarkan kepalanya ke pinggir kolam. Airnya terasa hangat, membuatnya jadi sedikit santai. Para Inolatendo kemudian mengeluarkan sehelai kain yang berisikan 9 jenis tanaman, mereka menutup rapat kain itu lalu mencelupkannya ke dalam kolam. Setelah itu mereka mengangkatnya dan memerah keluar air dari kain itu.
Para Inolatendo kemudian menggunakan kain tadi untuk membersihkan rambut Naema. Rambutnya yang telah bersih mulai memancarkan cahaya sian, sementara tubuhnya yang tak ditutupi selendang es putih sian pada lehernya mulai mendidih karena panasnya air di kolam Asmara.
Setelah selesai Lumelek dan Bacoho, para Inolatendo mulai membersihkan sekujur tubuh Naema dan memijatnya. Naema menjadi begitu nyaman dan santai, ditambah dengan semerbak bebungaan di kolam Asmara membuatnya mengantuk.
"Nona Inolatendo." Panggil Naema pelan.
"Ya, Tuan Putri?" Sahut si pemimpin.
"Ketika kalian menikah, siapa yang akan menyucikan tubuh kalian?" Suaranya lemas dan begitu rileks.
"Kami tidak diperbolehkan menikah Tuan Putri, tapi kami masih berkembang biak sebagai kewajiban putri-putri Pohon Kehidupan." Ia tetap lanjut memijat Naema.
"Apa maksudmu berkembang biak tanpa menikah? Bukankah itu tidak diperbolehkan?" Ia terdengar cukup kaget, tapi tubuhnya menjaganya tetap tenang.
"Penempa Bumi selalu memiliki jumlah perempuan yang lebih banyak berkali-kali lipat, tentu saja ini kehendak Pohon Kehidupan karena beliau ingin jumlah kami meningkat pesat di masa Dunia yang masih dini ini." Jelas Nitara.
"Untuk menghadapi hal itu tiap suku memiliki caranya sendiri agar setiap orang berkembang biak, tentunya tiap cara sudah disetujui Sang Pencipta, yang disampaikan melalui gabriel."
"Oh? Bisakah kamu... beritahu aku cara masing-masing suku?" Matanya menoleh ke Nitara, ia cukup tertarik mendengarnya.
"Tentu, Tuan Putri." Nitara tersenyum dan menundukkan sementara pandangannya. Bagaimanapun juga, sebagai mempelai Amartya, Naema berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari tiap orang ada di kolam itu.
"Dari Ambawak (suku Tanah), para wanita adat atau dengan kata lain penduduk desa biasa... mereka yang gagal mendapat pasangan akan mendatangi raja adat untuk dipasangkan dengan para polisi adat yang memiliki keturunan yang kuat, anak laki-laki mereka kemudian akan dididik oleh polisi sementara anak perempuan tetap bersama ibunya, sayangnya anak laki-laki yang tak mendapat kasih sayang tersebut banyak yang berakhir menjadi bandit, bukan malah polisi yang melindungi desa mereka."
"Mereka harus membenahi penanganan anak-anak mereka..."
"Aku tak bisa lebih setuju lagi, Tuan Putri."
"Lalu kaum bangsawan yang hidup di Benteng dan Istana?"
"Kaum bangsawan sendiri sama seperti kebanyakan Genka, mengawini saudari-saudari perempuannya sendiri, bedanya status dari adik-adik perempuan itu akan berbeda tergantung dari sikap kakak mereka selama masa reinkarnasi Pohon Kehidupan."
"Lagi-lagi sistem yang buruk... lalu para militer, apa sih mereka namanya… Dubalang bukan?"
"Para Dubalang memiliki keluarga besar yang sama dengan para wanita pengrajin Industri di Benteng mereka, para ksatria ini tidak terikat hubungan pernikahan, mereka juga tak tahu siapa-siapa adik mereka, atau siapa ibu mereka. Mereka akan berkembang biak dengan siapapun itu yang ditugaskan pada mereka. Satu hal yang Dubalang tahu bahwa rekan seperjuangan mereka adalah saudara dan keluarga mereka, hal ini membuat hubungan mereka luar biasa erat."
"Bagaimana dengan Tanduk Putih?"
"Pertanyaan bagus, mereka satu-satunya yang memperbolehkan sistem poligami, tapi itu adalah permintaan dari para Melati (wanita) di sana, jadi tak perlu berburuk sangka pada mereka."
"Begitu, aku dengar hidup sebagai laki-laki di sana juga tak begitu menyenangkan." Naema masih begitu santai dengan para Inolatendo yang terus memijit tubuhnya.
"Hehe seperti yang diharapkan dari Tuan Putri kita." Nitara menekan tubuh Naema sedikit lebih keras demi menjaganya tetap terjaga, kini ia bisa merasakan api dari jemari gadis bertudung merah itu.
"Selanjutnya Vhisawi (suku Toksik), suku Toksik agak sedikit… tidak manusiawi, mereka tak lagi terpengaruh waktu reinkarnasi Pohon Kehidupan, jadi mereka melahirkan anak tiap tahun dengan tabung-tabung dan tipe wanita khusus dari keluarga Americia, namun mereka tetap bercinta secara bebas dalam jumlah besar tiap harinya."
"Itu terdengar agak… seru— eh maksudku mesum!"
"Hihiii… iri gak sih tuh~" Nitara sadar bahwa Naema perlahan mulai mabuk karena aroma bebungaan di kolam Asmara.
"Mereka anak-anak Surga Tuan Putri, bebas akan dosa, walau sebenarnya aku yakin tak ada dosa di Dunia baru ini."
"... Lalu bagaimana dengan pernikahan di sana? Ataukah mereka melakukan segalanya semau mereka?" Ia masih mampu menanyakan pertanyaan yang baik.
"Itu yang aku kurang tahu, ada beberapa hal tentang suku toksik yang tidak mereka sebar luaskan, dan kita juga tak punya kemampuan untuk melihatnya sendiri, namun seperti yang aku katakan sebelumnya, mereka bercinta secara bebas dengan siapapun."
"Begitu…" Bahkan aku tak tahu perasaan apa yang dirasakan Naema saat mengucapkannya.
"Untuk Dramu (musisi Kegelapan) dan Lishmi (musisi Cahaya) mereka memang sudah menikah, walau sayang tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan keturunan, tapi aku dengar mereka masih mampu melakukan kegiatan suami istri. Mereka kan tak terikat oleh Pohon Kehidupan seperti kita-kita."
"Lalu suku Alam?"
"Mereka dilahirkan langsung oleh Pohon Kehidupan."
"Te-tentu saja... aku hanya bergurau." Naema perlahan mulai tak mampu berpikir benar.
"Terakhir adalah Genka, gadis-gadis kami yang tak mendapat pasangan akan membuat perjanjian suci dengan seorang pria di keluarganya, lalu kami berkembang biak dengannya, dan anak yang kami lahirkan akan kami besarkan sampai berumur 3 tahun, lalu mereka akan di latih di Papendangan (sekolah Waraney), itu juga yang terjadi pada calon Inolatendo. Entah anak-anak itu besarnya akan jadi Waraney atau tidak itu pilihan mereka."
"Apakah Amartya akan melakukan hal yang sama?"
"Tidak, keturunan utama hanya akan menghasilkan keturunan yang agung dari wanita yang agung pula."
"Begitu… baguslah…" Kita hampir kehilangan gadis ini.
"Kurasa saatnya dirimu untuk keluar Tuan Putri, sebelum tubuhmu matang direbus kolam Asmara." Nitara tak ingin merusak hadiah untuk sang Ardiansyahnya.
Dengan ini Naema pun dikeluarkan dari kolam. Mereka memasangkan handuk putih pada dirinya, lalu para gadis memindahkannya ke rumah lain lewat pintu belakang, dan mulai memakaikannya gaun pernikahan, serta mendandaninya hingga sore tiba.