Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 4 - Chapter 2: Earth Bandits

Chapter 4 - Chapter 2: Earth Bandits

Uap panas berhembus dari mulut Hakan. Dengan fokus yang canggung ia segera menarik Amartya untuk bersembunyi di antara semak dan dedaunan yang kini menutupi tubuh mereka. Hanya saja, buruan Amartya yang sudah tertumpuk rapih dapat terlihat dengan jelas tergeletak di tepat di depan sana, ia sadar cepat atau lambat para bandit pasti akan menemukan mereka berdua.

"5 orang... Amartya, keluarkan senapanmu nak, tapi kalau orang-orang Tanah itu tak menemukan kita, jangan sekali-kali menyerang." Hakan mengintip keluar dari celah semaknya, memantau tiap pergerakan yang mungkin dapat mengancam mereka.

"Banditkah? Dimengerti."

"Ini agak— ayah tak sangka mereka akan datang sejauh ini."

Amartya segera mengambil peluru dari tas besar yang ia bawa, salah satu cincin di tangan kanannya lalu berubah menjadi sebuah senapan sepanjang badan dan kepala orang dewasa.

Situasi ini cukup membahayakan, setidaknya jika dilihat dari potensialnya. Orang-orang suku Tanah memiliki fisik yang sangat kuat. Mereka adalah manusia-manusia yang paling tahan banting di bumi, jika kamu familiar dengan istilah 'Tanker' mungkin akan lebih mudah bagimu untuk memahaminya.

Ditambah tubuh mereka lebih dari dua kali lipat tinggi suku Api. Akan tetapi mengingat mereka hanyalah bandit, ceritanya bisa cukup berbeda saat berhadapan dengan keluarga utama suku Api layaknya Amartya dan Hakan.

"Yakin da? Mereka kamari?" Tanya salah seorang gadis di antara kelima bandit.

"Yakin, tadi ada suaronyo dari siko." Jawab bandit tertinggi.

"Tanang se lah, mereka ndak kan bisa lari dari awak doh."

Mereka yang berelemen Tanah adalah pelacak yang handal. Mereka mampu mendeteksi gerak-gerik musuhnya melalui getaran yang diterima oleh bumi. Menggerakkan bagian tubuh yang menyentuh daratan walau sedikit saja, sama seperti terang-terangan memanggil mereka ke lokasi kita. Walau tentu saja, hal ini bisa menjadi kelemahan yang cukup krusial, jika kamu tahu bagaimana memanfaatkannya.

"Apa kita benar-benar harus bersembunyi, yah?" Bisik Amartya yang kian tenang mengisi senapannya.

"Harus, selain ibumu, tak ada yang tahu kita pergi berburu, kondisi suku bisa gawat jika hal buruk menimpa kita."

Keduanya sebenarnya cukup ahli dalam menjaga diri mereka tetap terdiam. Mereka bisa mengatur suhu tubuh serta pembakaran yang terjadi di dalamnya, sehingga tubuh mereka tidak menggigil atau terlalu pegal di saat yang kurang bersahabat, menghindari tubuh untuk tergerakkan secara tak sadar. Hal ini ada sangkut pautnya dengan teknik pernapasan mereka, menjadikan rakyat Api termasuk yang terbaik dalam menyelinap. Namun kembali lagi, masalah selinap menyelinap bisa sangat bergantung dengan di mana kita berpijak.

"Sial kepala ayah sakit menonggak ke atas, kenapa sih tubuh mereka harus setinggi itu!?"

Rambut coklat, mata hijau serta kulit kuning langsat yang kumuh, tak salah lagi, mereka adalah bandit-bandit suku Tanah, dan para penyamun itu kini bergerak semakin dekat. Kehadiran tubuh-tubuh raksasa mereka sudah tampak jelas di mata Hakan.

"Da, itu bangkai ruso kok rapi bana nampak nyo yo?"

Mereka melihatnya, hasil buruan Amartya, udara pun menjadi ramai dipenuhi suara bandit yang saling memperingati rekannya akan kehadiran pemburu Api. Karenanya, kedua tokoh kita terpaksa mematung.

"Eh iyo yo, alah uda kecek an, mereka pasti dakek siko."

Akan tetapi sayang, peluru senapan Amartya belum terpasang rapat pada senapannya karena keterburuan anak itu, yang tak siap menghadapi situasi ini. Terlebih grafitasi... cukup jahil pada hari itu.

"(Celaka!)"

*Kling!* Bumi pun memantulkan getaran peluru. Setiap bandit serentak merasakannya dan menaruh pandangan mereka ke arah kumpulan semak di mana mereka bersembunyi. Situasi mungkin takkan berakhir baik untuk kedua tokoh api kita.

"Mereka dakek!"

Langkah-langkah yang berat bisa terdengar jelas berjalan ke arah keduanya, musuh mereka sudah memasang posisi siaga. Kini hanya menunggu waktu... dan tanpa mereka sadari jarak antar kedua grup akhirnya berjarak luar biasa tipisnya.

[Seni Api]

[Tingkat 6]

"(Terhempaslah Api!)"

"Genledias..."

Tiba-tiba tanah menumbuhkan retakan merah yang menjalar di antara pijakan para bandit, lalu tanpa pamrih meledak, menghempaskan tubuh-tubuh besar itu ke udara.

Hakan lekas melompat pada musuh terdekat kemudian menusuknya dengan santi, memutar tusukannya, mengirimkan panas pada pedangnya, dan bagai uap yang terbakar, meledakkannya. Kini dirinya terlontar jauh, dan darah mengucur dari tubuh raksasa itu, tetes demi tetes pada tanah yang begitu panas.

"I Yayat U Santi! Amartya!"

Di Dunia ini keterampilan, atau jurus dalam bahasa kalian, dibagi menjadi 9 tingkat, semakin tinggi tingkatannya maka keterampilan yang dikeluarkannya semakin rumit. Misalnya tingkat 1 itu mengeluarkan api, tingkat 2 menembakkan api, tingkat 3 membuat perisai dengan api. Tentu saja untuk menggunakan tingkatan tertentu seseorang harus memenuhi syarat, dan cukup kuat untuk melakukannya.

"Tuama Nyaku Tuama..."

Amartya mulai mengambil kembali peluru api yang terjatuh ke tanah dan segera menyalakannya. Sementara Hakan mengeluarkan dua buah pistol dari cincin di kedua tangannya dan terus-menerus menembakkan peluru-peluru api ke tiap bandit di sekitarnya, berusaha mengganggu, dan menarik perhatian mereka dari Amartya.

"Jangan salahkan kami, kalian sendiri yang mengusik perburuan gembira kami."

Anak itu sudah siap dengan senapannya. Dia mengarahkannya ke arah salah satu bandit, bersama mantra api yang berputar, menyala-nyala di belakang senapannya.

"Merana"

"Terdiam"

"Biarlah si Jago Merah"

"Melahap ragamu di sarangnya"

Tiga lingkaran api berbaris dari belakang senapan Amartya. Kecil ke besar, ketiganya dengan cepat tertarik menjadi satu kesatuan, bersama aksara api yang senantiasa bergerak spiral di dalamnya.

[Seni Api]

[Tingkat 5]

"(Tembakan Terpusat...)"

"Charuu Intera!"

Suara seakan tertarik ke satu titik, dengan cahaya merah menggema dari ujung senapannya. Dan sayap api pun terbentang lebar, menghiasi kedua sisi batangan logam panjang itu. Bersama angin, kilatan peluru api melesat menembus tubuh bandit terjauh yang mampu ia lihat. Sinarnya menerangi seisi hutan, hampir membuat buta siapapun yang melihatnya.

Kerusakan yang dihasilkannya cukup besar, tapi mampukah untuk dikatakan fatal? Sayangnya tidak, tidak cukup kuat untuk mengakhiri hidup si bandit. Tetapi setelah beberapa detik berdetak, sang raksasa mulai kehilangan kesadarannya.

"Anak tu gilo!"

"Uda, situasi awak buruak. Caliaklah langan urang tu!" Gadis bandit menunjuk pada lempengan emas di lengan Hakan.

"Mereka dari keluarga utamo? Awak ndak bisa main-main doh!"

Perlakuan Amartya pada rekan mereka, membuat para bandit mulai menaruh mata mereka padanya, penuh dengan kesiagaan. Salah seorang dari mereka dengan keras menghentakkan palunya ke bumi, membentuk dua dinding tanah dari bawah Amartya dan ayahnya.

Walau nampaknya, keduanya spontan melompat menghindarinya ke belakang.

[Teknik Tanah]

[Tingkat 4]

"(Menerjang Bagai Sang Suci.)"

"Jangkabau!"

Tanpa basa-basi salah seorang bandit berlari dengan kencang dan menerobos dinding tanah di depan Hakan dengan perisainya. Dan pria api itu tak cukup cepat untuk merespon, kini tubuhnya tertabrak kian kerasnya.

Sementara seorang lainnya melompat dari samping, sembari mengangkat palunya yang siap meremukkan badan Hakan pada perisai rekannya.

"Argh, berat!" Namun Hakan langsung menempelkan pistolnya pada prisai bandit yang menerjangnya.

[Seni Api]

[Tingkat 2]

"(Tembakan Api!)"

"Gentera!"

Mata jingga Hakan terang menyala, dan ia tembakkan seni apinya dengan keras pada perisai si bandit, menghantarkan gaya hantam yang membuat mereka bertiga terpental oleh ledakan yang dihasilkannya.

Tingkatan keterampilan memang dibedakan berdasarkan kerumitannya, namun seberapa kuat keterampilan itu dibedakan berdasarkan peringkat dan keahlian penggunanya. Peringkat seseorang juga dibagi menjadi 9:

1. Niuba

2. Stada

3. Farsha

4. Kastra

5. Wizzura

6. Shamna

7. Manshira

8. Magistra

9. Profisa

Magistra hanya bisa diemban oleh seorang kepala keluarga (laki-laki) dan wakilnya (perempuan), atau bisa juga oleh mereka yang menjadi bagian dari keluarga utama. Sementara Profisa hanya bisa diraih oleh seorang kepala suku. Setiap suku memiliki persyaratan mereka masing-masing untuk meraih suatu peringkat, yang tiap-tiapnya diatur oleh seekor Bayangkara—makhluk mistis yang menjaga keseimbangan elemen.

Karena kesulitan yang diberikan oleh Bayangkara suku Api, yaitu si Jago Merah, Hakan yang merupakan seorang kepala suku hanya berakhir sebagai seorang Magistra. Tetapi kembali lagi ke pembicaraan awal kita, meskipun Hakan hanya menggunakan keterampilan tingkat 2, namun karena dirinya yang merupakan seorang Magistra, hasil ledakan keterampilannya cukup untuk melahap habis satu rumah.

Para Bandit saat itu terdiam lemas, melihat asap dan abu yang tersisa dari tembakan sederhana pria itu.

"Lihat diri kalian menciut, sayang sekali kalian tidak terlalu pintar memilah sumber bahaya..."

"TAPI MASALAH UTAMA KALIAN BUKAN AKU DI SINI!" Suara Hakan seketika melengking keras.

Hakan terkenal di antara para Penempa Bumi akan senyum hangatnya, namun siapapun mampu melihat dengan jelas pada saat itu, seringaiannya... terlalu membakar untuk dibilang hangat.

Kupu-kupu api muncul dan bertengger di kepala kedua bandit. Sebelum mereka sempat melihatnya, hewan itu berubah menjadi berlapis-lapis lingkaran api yang bernaung di hadapan pandang mereka. Malangnya tubuh besar mereka tak sempat bereaksi, dan dalam sekejap peluru api melesat, membakar setiap lingkaran dari pusatnya, melahap seisi tubuh mereka dalam gejolak api.

[Seni Api]

[Tingkat 4]

"(Peti Kupu-kupu)"

"Krendha Kaper…"

Terlihat asap yang pekat meluap dari senapan Amartya.

"Whoa lihat itu, panggil aku sang pemburu raksasa." Wajah anak itu berbinar kian cerah.

"Anak ini... coba katakan itu di depan Raja Alam." Hakan agak prihatin melihat putranya gembira setelah menembak kepala tiga orang.

"Ah... tawaran yang baik, tapi tidak terima kasih..." Catatan: Raja Alam merupakan manusia tertinggi di muka Bumi.

Berhenti bergerak bukanlah ide yang baik saat melawan mereka yang berelemen api, hal ini membuat tubuh yang tergeletak karena ledakan Hakan menjadi sasaran empuk untuk senapan anak itu.

"Kalera! 3 dunsanak awak tumbang!" Di sisi lain, Raksasa yang tersisa gemetar kian bingung dan kesal.

"Awak harus mundur da!" Sementara si gadis raksasa menggigil ketakutan.

"Indak bisa Lalita, urang-urang api talalu capek dek awak, iko salah uda bawa awak kamari..."

"Tapi kini awak hanyo punyo duo pilihan, manang atau kalah!"

"Tu, awak harus baa da!?" Gadis itu hampir menangis.

"Pakai pangumban kau, uda ka mancubo mandakek i sinapang tu."

Betapa mengagetkannya. Ternyata Amartya bukanlah satu-satunya yang bisa menyerang dari jarak jauh. Si gadis seketika mengeluarkan sebilah pengumban raksasa dan mengisinya dengan manik-manik dari kantongnya yang kemudian berubah menjadi logam berat sebesar kurang lebih 4 kali lipat kepala Hakan, dengan bantuan kemampuan tanah.

[Teknik Tanah]

[Tingkat 4]

"(Rintikan Hujan Baja)"

"Rintiak Janbaja"

Gadis bandit pun memputar-putar pengumbannya, cepat dan penuh kekuatan. Lalu mengayunkan dan melemparnya ke arah Amartya satu demi satu layaknya sebuah meriam berkecepatan tinggi.

"Tch!"

Bola-bola logam kini tanpa pamrih menghujani Amartya. Walau beruntungnya, kecepatan gerak suku Api membuat menghindarinya cukup mudah untuk anak itu. Secepat apapun putaran si bandit, gravitasi dan momentum benda seberat itu takkan menyentuh rakyat Api yang aktif bergerak di medan tempur.

"Aniang la!" Bentak si bandit berbadan tinggi.

Tentu saja gerakan Amartya membuat mereka muak, bandit yang paling tinggi lalu menghentakkan senjatanya ke daratan, hingga muncul duri-duri tanah yang amat besar dari depan Amatya. Gerakan kemampuan itu di bawah tanah, membuat dirinya sulit mendeteksi bongkahan tanah yang datang, dan badannya kini terhempas ke udara.

Amartya pun terjatuh, sementara salah satu bola logam terbang ke arahnya.

"Celaka!"

Panik, bimbang, Ia pun mengeluarkan santinya dan berusaha menangkis bola itu. Tergeseklah si logam, tergeser melesat melewati bahu kanannya, akan tetapi sebagai gantinya, santinya lah yang menjadi korban benda kolosal itu.

Jika saja ia menggunakan seni api, mungkin ia mampu membelah logam-logam yang berterbangan ke arahnya. Perasaan kaget setelah terhempas oleh bongkahan tanah, membuatnya tak mampu berpikir untuk melakukanya.

Di sisi lain, nampaknya si gadis pengumban kehabisan peluru. Dan di saat Amartya sibuk berusaha memulihkan kesengalan pernapasannya, tatapannya tertarik pada bola logam yang kini berbaring di belakangnya. Dan cukup sekilas saja bagi mereka yang berguru di bidang tempa besi, untuk menyadari hal istimewa dari logam itu.

"Ahaha, lihat dirinya... bukankah benda ini terlalu bagus untuk di lempar-lempar?"