"Adam, Mami ingin kamu bahagia. Tak adakah niat untuk mencari pasangan hidup. Kamu sudah mapan dan siap secara batin dan usia, Nak."
"Mami..."
"Mami enggak ingin kamu sendirian sepanjang usia, kamu sudah dua puluh enam tahun. Kemarin Mami bertemu dengan putri Om Johan. Kamu masih mengingatnya, Clara. Yah bukankah dia gadis yang cantik dan Mami dengar dia satu kerjaan sama kamu di rumah sakit. Kebetulan Om Johan datang ke Jakarta menghadiri pernikahan putra Pak Darma. Ibu enggak nyangka Clara sudah menjadi gadis yang cantik."
Aku hanya diam menyaksikan layar televisi sebuah acara reality show disalah satu stasiun televisi swasta.
"Adam..." suara ibu meninggi karena aku tak menghiraukannya
"Yah, Adam. Papi juga ingin cepat menimang cucu." Ayahku ikut berkomentar
"Pap, Mi, aku kan laki-laki jangan mengkhawatirkan aku. Agnes saja kalian carikan jodoh terlebih dahulu."
"Agnes??"
kata Ibu dan Ayah bersamaan.
"Adam, adikmu masih berusia dua puluh dua tahun. Kamu jangan becanda ah!."
"Habis kalian selalu mojokin aku sama hal pernikahan." Aku berdiri dan duduk di hadapan mereka di meja makan.
"Mam, Pap. Adam akan membawa wanita yang Adam cintai ke Mami dan Papi. Tapi bukan untuk saat ini, Adam janji engak akan mengecewakan kalian. Dan satu hal jangan coba-coba menjodohkan aku sama Clara. Karena aku enggak pernah menyukainya. Tittik." kataku tegas dan sedikit emosi.
Ayah dan ibuku saling berpandangan, aku mencomot irisan buah mangga lalu pergi meninggalkan mereka dengan wajah terbenggong-bengong, aku tersenyum menaiki tangga menuju kamar tidurku.
Fara, aku tersenyum sendiri sambil merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Aku masih ingat pertama kali bertemu dengannya, dia masuk ke dalam ruang praktekku dengan wajah tersenyum tak henti dan kedua bola matanya ke kanan ke kiri tak bisa diam. Aku dan yang lain tengah sibuk dengan pasien dan ia duduk di depan meja kerjaku dengan sesekali memperhatikan aku dan para suster. Aku sering kedatangan pasien mengenakan jilbab tapi kali ini ada sesuatu lain yang aku rasakan. Aku langsung tak bisa berpaling menatap wajahnya, seakan ia telah menghipnotisku. Aku tersenyum padanya walau ia tak benar-benar senyum padaku ia melihat ke sekeliling ruangan entah apa yang ia cari.
"Fara Azahra."
"Ya, dokter."
"Apa yang kamu rasakan.." aku membuka map pasien di tanganku dan sekilas ku baca. Stroma[1], diagnosa sementara. Aku memandanginya dan ia justru menatapku tajam. Ku palingkan wajahku ke atas meja, jantungku langsung berdetak kencang, Oh Tuhan.
"OK. Sssstttrrrrrooommmmaaa" kataku terbata.
"Dokter," Fara memajukan tubuhnya dan sedikit berbisik kepadaku.
"Dokter, boleh mereka suruh keluar sebentar, hanya aku dan dokter."
Sambil berkata mata Fara mengedar ke seluruh ruangan, wajahnya terlihat bersinar, aku menahan nafas.
Aku melirik ke para suster di belakangku, lalu menatap Fara dengan mengernyitkan dahiku.
Ia mengharap sekali kepadaku, aku bingung. Baru ini ada pasien begitu memaksa dan mengatur aku.
"Hmmmm... baiklah. Suster bisa kalian keluar sebentar." Aku menyuruh mereka untuk keluar dan mereka menatapku tajam melirik Fara penuh dengan tanda tanya. Aku hanya tersenyum kepada mereka.
"OK. " kataku, "Ceritakan apa masalahmu, aku baca di sini. Stroma. Bisa kamu...." aku menghentikan kalimatku, aku sadar mengapa ia minta mereka untuk keluar.
"Dokter, harus bisa jaga rahasia. Kalu enggak bisa jaga rahasia aku yakin Tuhannya dokter pasti akan marah sama dokter."
Aku tersenyum melihat wajahnya yang serius. Aku hanya mengangguk berkali-kali sambil menahan senyum.
"Baiklah Dokter." Ia membuka jilbabnya dan menunjukkan lehernya. Aku berdiri mendekat sebagai dokter aku harus memeriksanya. Dan ketika aku menyentuhnya, aku bergetar, ada benjolan dis ebelah kanan leher Fara. Setelah aku yakin aku menyuruhnya untuk menutup kembali jilbabnya.
"Kenapa kamu datang ke sini, Fara."
"Yakin aja kalau dokter bisa bantuin aku."
"Bukannya di luar sana banyak rumah sakit yaaaaanngg.."
"Dokter, aku tahu. Aku salah dalam hal ini, tapi bukankah setiap pasien memiliki insting atas apa yang ia yakini. Aku berharap dokteeeeerrrrrr.... Adam bisa membantuku." Fara berkata dengan wajah manisnya, aku hanya bisa tersenyum sedkit, wajahnya terlihat memesona.
"Sudah berapa lama kamu mengetahui penyakitmu ini" tanyaku lagi berusaha tenang meski sebenarnya jantungku enggak bisa tenang,
"Enam tahun." jawab Fara sambil matany, lagi bergerilya,
"Enam tahun?" alisku berkerut mendengarkan jawaban Fara,
"Iya dokter. Kenapa?"
"Hmmmm... berapa usia kamu..
"Dua puluh dua" jawab aku dan Fara bersamaan, aku membaca data personal Fara. Fara meringis saat aku ekor mataku menatapnya sesaat.
"Kamu tahu, apa jenis penyakitmu ini."
"Aku sudah mengenalnya dengan sangat Dokter." jawab Fara tegas.
Saat bersamaan Suster Maria membuka pintu, aku memberinya isyarat untuk menunggunya sebentar lagi dengan tanganku.
"Kelenjar Hyperthyroid, suatu kelenjar bening ynag dapat membunuh setiap wanita, aku memiliki kelebihan di kelenjar ini dan jarang sekali yang bisa sembuh dengan total. Aku sudah tahu benar dokter. Awalnya mereka bilang Stroma. Tapi akhirnya aku tahu setelah aku banyak baca dan mencari informasi di internet. Sudah beberapa dokter aku datangi mereka memberi saran kepadaku untuk operasi tapi aku enggak mau aku yakin bisa sembuh tanpa operasi tapi ternyata aku salah."
Aku terdiam saat mendengarkan Fara bercerita. Kini wajahnya menunduk, kedua tangannya bertumpu di atas kedua kakinya. Aku hanya bisa melihat sudut jilbabnya yang menutupi sebagian wajah atas Farah. Bulu matanya terlihat lentik, panjang dan hitam tanpa make up terlihat natural tapi sangat mengagumkan, kenapa ada wanita semanis ini ya Tuhan.
"Bagaimana Dokter, aku enggak salah ngejelasin khan." aku terkesiap sedikit terkejut saat tiba-tiba Fara mengangkat wajahnya, untung saja dia enggak perhatian kalau aku tengah menatapnya intens.
"Hmm.. Yah berdasarkan data yang kamu bawa, aku hanya belum pasti sebelum kamu melakukan chek up lagi. Besok kamu datang lagi ke sini dan kita mulai dari awal, aku hanya hanya ingin mendapat kepastian tentang penyakitmu ini." jelasku padanya, aku menunduk menatap dokumen di hadapanku.
Fara memang benar jika dilihat dari hasil rekap mediknya dari beberapa berkas yang ia bawa. Aku enggak mau gegabah, sebagai dokter aku harus bisa memastikannya dari hasil uji laboratorium terlebih dahulu dan hasil USG baru aku bisa mendiagnosa penyakit Fara.
"Ok Pa Dokter, siap!."
"Untuk sementara aku belum bisa memberikan resep apapun sampai besok, kita chek ulang dari awal ya Fara"
"Baik Dokter. Terima kasih."
Fara berdiri dan meninggalkan aku.
Aku menarik nafas panjang, Tuhan mengirimkan dia kepadaku. Benarkah ini sebuah takdir atau hanya kebetulan semata. Aku tak bisa memejamkan mata, wajah Fara selalu ada dalam pikiranku. Setelah sekian tahun aku tak pernah memikirkan tentang perasaanku, kini dengan tiba-tiba aku merasakan hal aneh dalam hatiku dan aku tak tahu apa sebenarnya rasa ini. Aku tipe laki-laki yang hanya menghabiskan waktu hidupku untuk belajar dan belajar.
Beberapa hari berlalu, Fara menjalani pemeriksaan rutin setiap hari selama sepekan, dan aku semakin bersemangat setiap hari bertemu dengannya. Terkadang aku merasa kangen setiap kali aku datang ke rumah sakit dan belum melihatnya,
Ah Adam.. ada apa dengan dirimu. Gila!
Tak pernah sekalipun aku melihat sosok lain yaitu wanita dalam hidupku, selama hampir aku sekolah dan kuliah ku habiskan waktu ku hanya belajar. Aku tak seperti kebanyakan teman sebayaku yang menghabiskan waktu malam minggu untuk berhura-hura bersama yang lain. Aku mejadi seorang Adam yang kuper yang hanya di rumah belajar, kuliah dan pergi ke gereja setiap akhir pekan bersama kedua orang tuaku dan adikku Agnes.
Aku hampir lupa dengan perasaanku, pernah suatu kali seorang teman wanitaku di kelas waktu itu tingkat tiga, ia dengan berani menyatakan cintanya kepadaku dan tanpa pikir panjang aku menolaknya saat itu juga dan sejak saat itulah tak ada satupun teman wanitaku yang mau dekat denganku, tapi aku tak seperti yang lainnya justru tak membuatku resah aku menikmati kesendirianku dengan buku dan aku menikmati hidupku.
Tapi mengapa harus Fara, gadis berkerudung dan benar-benar tak dapat aku bayangkan bagaimana jika ayah dan ibuku tahu aku jatuh hati dengan pasienku sendiri dan ia seorang muslim. Aku tak dapat membayangkan bagaimana seluruh teman seprofesiku di rumah sakit ini mengetahui tentang perasaanku.
Aku harus bisa lebih menahan diri, karena beberapa hari suster Maria sepertinya mengetahui gelagatku ketika itu tanpa aku sadari aku diam-diam memperhatikan Fara yang ketika itu tengah tertidur pulas di kamar inap dan kebetulan ia sendiri di ruangan itu tak ada pasien lain. Aku tengah malam datang mengunjungi pasien dan tak biasa untung hanya suster Maria yang mengetahuinya.
Malam itu karena beberapa suster dan dokter muda serta dokter jaga bangsal tengah berada diruang istirahat. Aku memberitahu suster Maria agar tak bicara dengan yang lain tentang ini. Malam itu aku nampak bodoh dihadapan Suster Maria, dari tatapan wajahnya ku tahu suster Maria memahami perasaanku.
Aku seorang dokter bedah yang terkenal berhati dingin dan tak banyak bicara tiba-tiba jatuh hati dengan seorang pasien penderita kelenjar HyperThyroid yang notebene pasienku sendiri dan parahnya ia beda keyakinan denganku. Kubenamkan wajahku dalam selimut dan memohon doa semoga Tuhan Yesus memaafkan perasaanku ini.
Dan aku memohon agar ketika esok aku terbangun, aku telah melupakan Fara.
Dibalik selimut aku justru tersenyum sinis, menertawakan diriku sendiri.
What's happen Adam Siahaan?