"Dokter, Suster aku enggak perlu pakai ini. Aku khan enggak benar-benar sakit." Fara memohon agar ia berjalan saja.
"Fara, ini prosedur rumah sakit kamu enggak boleh menolaknya."
Aku menjelaskan kepadanya dan akhirnya ia paham. Ia menaiki tempat tidur dorong dan merebahkan tubuhnya menutup kedua matanya. Aku tahu beberapa orang yang kami lewati menatapnya dengan penuh tanda tanya, karena Fara masih mengenakan jilbab miliknya dan aneh memang.
Aku sendiri mengapa bisa memberikan keringanan kepadanya, padahal aku sangat keras dalam aturan rumah sakit disini namun dengan Fara aku tak bisa mengatakan tidak. Aku berjalan di sisi kanan Fara, ia masih memejamkan matanya seakan pasrah dengan hidupnya. Tiba di depan ruang operasi tiba-tiba dua orang wanita dengan mengenakan jilbab dan terlihat kedua matanya sembab karena menangis.
"Fara."
"Mak." wanita setengah baya itu memeluk Fara sambil menangis. Fara memalingkan wajahnya ke arah wanita yang lebih muda.
"Kak Ana." Sambil tersenyum, dan wanita yang dipanggil Kak Ana oleh Fara menangis sesenggukan, suatu pandangan yang aneh yang pernah aku lihat. Tak pernah seperti ini, aku dapat merasakan kedekatan keluarga Fara dan mereka pasti sangat menyayangi Fara.
Aku sangat mengerti dengan perasaan mereka, karena beberapa hari yang lalu ketika Fara memutuskan untuk operasi tak ada satupun keluarganya yang mengetahui keputusan Fara, Fara selama ini tak pernah menceritakan tentang penyakitnya kepada keluarganya terutama kedua orang tua.
Ia tak ingin mereka khawatir dengan dirinya, aku salut dengan apa yang Fara lakukan, walau sebenarnya tak mudah menjalani semua ini dan menanggungnya sendiri. Mereka melepaskan genggaman tangan Fara, mereka berpelukan ketika Fara dibawa masuk keruangan tunggu operasi dan selain dokter serta perawat tak ada yang boleh memasuki ruangan ini.
Hawa dingin menusuk pori-poriku, aku berjalan meninggalkan Fara yang terbaring di atas tempat tidur di sudut ruangan, aku masuk ke dalam ruang preparasi, di sana sudah ada dua orang dokter muda salah satunya Clara. Ia tersenyum dengan puas ketika melihatku masuk ke dalam ruangan dengan pakaian rapi dan lengkap warna hijau, aku hanya tersenyum memaksa melihatnya.
Aku yakin ia berhasil meyakinkan Dokter Aliando untuk ikut dalam misi ini. Aku membuka loker milikku dan mengganti pakaianku. Setelah menunggu hampir dua puluh menit Dokter Aliando telah datang dan rapi dengan pakaian operasi kami berjalan mengikutinya masuk ke dalam ruang operasi yang sangat dingin, lampu dinyalakan ruangan sangat terang. Suara kereta dorong terdengar semakin kencang.
Aku gemetar berusaha menenangkan diri tak pernah aku seperti ini bukankah hanya operasi ringan yang sering aku lakukan bersama dokter bedah lainnya tapi mengapa hari ini aku begitu tak bisa tenang. Begitu terlihat kereta dorong dan Fara telah berganti pakaian dengan kedua mata tertutup, ia sengaja melakukan itu aku tahu.
Karena ketika ia telah berganti pakaian operasi ia harus menanggalkan semua pakaiannya, terutama jilbabnya, ruang operasi harus steril jadi semua yang dikenakan pasien merupakan pakaian yang telah disteril terlebih dahulu agar tak terkontaminasi.
Wajah Fara berwarna hijau pucat, bibirnya membeku, tak bergeming kedua tangannya dilipat di atas perut dan alisnya yang tebal terlihat berdiri karena kedinginan. Rambutnya, aku gemetar memegang jarum suntik untuk membiusnya. Rambut Fara tertutup oleh harnet transparan namun semua mata tak memperdulikannya. Mungkin hanya aku yang yang sangat memperhatikan dirinya.
Wajah itu terlihat manis diatas tempat tidur ruang operasi. Ketika aku menyentuh kakinya sangat dingin dan beku, aku menjepit ibu jari kaki Fara kiri dan kanan dan menyuntikkan obat bius ke dalam tubuhnya. Walau operasi di leher namun tubuh Fara harus di bius total, tak lama berselang aku lihat Fara telah tertidur dengan pulas.
Dokter Aliando memimpin doa sebelum kita memulai operasi ini.
Dan dengan cekatan aku, Dokter Aliando dan kedua dokter muda serta dua orang suster mengerjakan pekerjaan masing-masing dengan cekatan, suara mesin detak jantung mengganggu kosentrasiku ketika kudengar suara napas Fara kembang kempes di mesin detak jantung, berkali-kali suster mengusap keringatku di dahi dan wajahku.
Entahlah aku sangat gugup, dan ketika dokter berhasil membuka leher Fara dan menunjukkan daerah Kelenjar thyroid aku berdoa semoga Tuhan membantu operasi ini dengan lancar, akhirnya semua tangan bergerak dengan cekataan.
Darah tumpah dari leher Fara, aku tak bisa membayangkan bagaimana Fara nanti ketika terbangun dan melihat lehernya yang cantik terluka dan meninggalkan bekas sayatan. Aku terlalu memikirkannya. Dokter Aliando menatapku, dan aku tak boleh salah dengan semua ini.
Aku melirik jam dinding yang terpajang di dinding sudah pukul setengah empat itu berarti sudah hampir enam jam dan Fara belum juga ada tanda-tanda sadarkan diri. Walau kami telah selesai dengan tugas kami dan leher Fara oleh Dokter Aliando di beri perekat yang nantinya tak akan meninggalkan bekas luka seperti jahitan.
"Eeeennnngggg ...." saat Fara mengerang, aku mengucap syukur.
Suster membersihkan darah yang masih tersisa di leher Fara.
"Baiklah! Pasien telah sadar kalian boleh membawanya ke ruang pasien." Dokter Aliando memberikan intruksi dan salah satu dokter muda menekan tombol pertanda operasi telah selesai dan dua orang pegawai rumah sakit telah siap diluar ruangan.
Suster Maria membawa Fara yang telah berganti pakaian dan menggantung kembali papan nama bertuliskan pasien Fara Azahra 20 th, dr. Stanley Adam S. Sp.THT. sebagai identitas pasien di tempat tidur Fara.
Suster Maria telah menggantikan pakaian Fara. Mereka membawa Fara, aku mencuci tanganku penuh bekas darah dan ku buka sarung tangan karet, ku buang ke dalam tempat sampah untuk peralatan medik setelah operasi, kubuka kran air dan kubersihkan lagi tanganku dengan sabun antiseptik, aku menghela naPas panjang, setelah bersih aku membuka masker yang menutupi mulut dan hidungku. Aku berjalan menghampiri Dokter Aliando, kemudian ia tersenyum dan menjabat tanganku.
"Selamat Dokter Adam. Kita berhasil."
"Terima kasih Dokter."
Aku menjabat tangannya dengan erat dan ia meninggalkan aku sendiri. Aku masih berdiri menatap ruangan ini. Dokter muda dan suster masih sibuk merapikan peralatan medik, Clara hanya menatapku, aku bisa melihat kedua matanya saja karena ia masih mengenakan masker. Aku keluar ruangan duduk di bangku panjang menghembuskan nafas panjang.
Terima Kasih Tuhan ....
"Terima kasih Dokter."
Fara menatapku dengan tajam ia sudah mengenakan kembali jilbabnya. Aku memeriksa kondisi tubuhnya ini adalah kunjungan pertamaku setelah operasi hari itu. Baru kali ini aku bisa menjenguknya setelah beberapa hari aku ada acara di gereja. Ku lirik ia berkali-kali masih dengan memegang buku bacaan. Ku berikan beberapa resep kepada Suster Maria, dan Suster Maria membuka laci mengeluarkan beberapa obat.
"Fara, disuntik dulu ya." Suster Maria sudah memegang jarum suntik berdiri menunggu.
Fara mengangguk, aku senang melihatnya wajah Fara sudah tak seperti kemarin. Aku ingat ibunya berkali-kali mengucapkan terima kasih kepadaku ketika Fara masih belum sadar. Aku sengaja tak menunjukkan bekas penyakit Fara kepadanya, aku tak ingin ibu Fara khawatir tentang Fara.
"Terima kasih Dokter telah membantu anak saya." Ucapan Ibu Fara beberapa hari yang lalu pasca Fara operasi dan belum sadarkan diri.
"Sama-sama Ibu."
Ketika itu aku melirik Fara yang masih terbaring lemas, aku tahu Fara sengaja membuat dirinya seperti ini. Aku seorang dokter aku bisa membaca psikologi setiap pasien yang datang kepadaku. Walau aku tak tahu persis apa yang tengah Fara rasakan, aku tahu Fara ingin mengakhiri hidupnya.
Dan sayang apa yang ia inginkan tak terjadi. Wajar jika sang ibu sangat mengkhawatirkan dirinya. Seharusnya penyakit seperti Fara tak perlu waktu berhari-hari untuk sadar, dalam waktu tiga jam Fara seharusnya sudah sadar dan normal. Tapi sudah dua hari Fara masih belum sadarkan diri. Aku berusaha meyakinkan keluarganya bahwa Fara baik-baik saja, karena akulah yang bertanggung jawab atas kesehatan Fara.
Aku menceritakan ke Ibu Fara bahwa Fara memiliki kondisi yang lemah agar sang ibu tak khawatir dan benar kebohongan ceritaku dapat sedikit menenangkan hati ibu Fara. Aku memandangi Fara yang tersenyum dengan suster Maria, ada apa denganku mengapa aku sangat menyukai Fara ketika ia tersenyum seperti ini.
"Dokter, di sini." Clara tiba-tiba berdiri di sampingku.
"Hei, ada dokter Clara." kataku berpura-pura terkejut dengan kehadirannya.
"Bukankah Dokter ada kelas hari ini."
"Oh..." aku mengangkat tangan kananku dan benar pukul sepuluh lewat lima menit tanpa banyak bicara aku keluar ruangan meninggalkan Fara dengan sangat malu sekali mengapa aku menjadi sangat pelupa seperti ini.
Aku yakin suster Maria sedang menertawakanku. Aku berjalan dengan berlari menuju kampus, bagaimana aku bisa lupa.