Chereads / Broken wedding / Chapter 16 - enam belas

Chapter 16 - enam belas

Amara mengernyit ketika akan masuk di ruangan suaminya, bertepatan dengan seorang perempuan keluar dari sana. Perempuan dengan penampilan berantakan dan pakaian yang menurutnya terlalu terbuka untuk seorang karyawan. Dan jangan lupakan dandanannya yang sangat berlebihan, seperti wanita penggoda.

Tapi, diantara itu semua. Yang membuat Amara tak suka dengan wanita itu adalah ketika Ia melewatinya, Amara melihat pandangan sinis dan decihan pelan yang kentara sekali ditujukan untuknya. Seolah menunjukan ketidaksukaannya dengannya.

"Menjijikan,"

Mendengar itu, Amara langsung menoleh ke samping. Ah, dia melupakan David. Ternyata adik laki-lakinya itu juga mengamati wanita itu.

"Apa itu tadi juga karyawan Kakak ipar? Bagaimana bisa, modelan seperti itu menjadi karyawan di perusahaan Kakak ipar. Huh, jika nanti aku bekerja di sini. Modelan seperti itu akan langsung aku depak keluar. Dia mau bekerja atau mau menjadi penggoda dengan make up setebal itu," David kembali mengomentari, nada suaranya terdengar tak suka.

"Sudahlah David, ayo masuk!" Amara mengambil langkah terlebih dahulu. Barulah David mengikuti langkahnya dari belakang. 

Tok! Tok!! Tok!!!

"Masuk!"

Mendengar suara itu, Amara dengan segera membuka pintu ruangan suaminya. Kemudian melangkah masuk. Untuk sesaat pandangan gadis itu terperangah, melihat suaminya tengah membenarkan ikat pinggangnya.

"Daneil,"

Amara sengaja memanggil pelan saat dirasa suaminya tak menyadari kehadirannya. Karena lelaki itu yang memang sedang fokus membenahi pakaiannya.

Mendengar panggilan itu, Daneil langsung mendongak. Wajahnya terlihat terkejut untuk beberapa saat melihat siapa yang ternyata mengetuk pintunya. Lelaki itu kemudian berdehem, lalu membenarkan jasnya. 

Pandangan Daneil sedikit menyipit ketika melihat, Amara tak hanya datang sendiri. Wanita yang berstatus istrinya itu ternyata turut membawa adiknya juga. Mau apa mereka? Batin Daneil bertanya.

"Aku mengantarkan makan siangmu," ujar Amara saat melihat Daneil yang tak berucap dan terlihat bingung akan kedatangannya. 

Daneil mengerjap kemudian menerima paper-bag yang Amara angsurkan. "Terimakasih," ucapnya Kaku.

"Duduklah dulu," Daneil bangkit berdiri. Menggiring Amara dan David di sofa yang terdapat di ruangannya.

Amara mengangguk, tersenyum tipis. Ia menurut untuk duduk di sana bersama David. Mata adiknya terlihat tak fokus karena menatap sekeliling ruangan Daneil.

"Ruangan Kakak ipar sangat luas, dan sangat luar biasa." ujar David dengan wajah terpukau.

"Lihat! Pasti senang bisa melihat pemandangan dari atas sini setiap hari," David kembali bangkit, berdiri pada kaca bening yang memperlihatkan pemandangan jalan raya dan gedung-gedung tinggi.

Daneil hanya berdehem, menanggapi ucapan adik dari Istrinya itu.

David menoleh, memandang pada Daneil. Wajah pemuda itu terlihat malu karena terlalu blak-blakan. "Maaf Kakak ipar, Aku terlalu katrok ya?" Tanyanya meringis.

Daneil diam untuk beberapa saat, memandang wajah malu David. Kemudian dia menggeleng. "Tidak juga," balasnya.

"Aku membawakanmu nasi goreng dan brownis keju, kebetulan tadi aku membuat brownis bersama Bibi." Beritahu Amara menghentikan percakapan antara Adiknya dan Daneil.

Daneil kembali memandang paper bag yang sudah Ia letakan di meja. Kemudian Ia mengangguk pelan. "Terimakasih,"

"Kakak ipar!"

Daneil langsung menoleh mendengar panggilan itu.

"Hehe... Apa aku boleh berkeliling di perusahaan Kakak?" Tanyanya malu-malu.

Daneil terdiam untuk beberapa saat. Sebelum kemudian mengangguk.

Mendapati anggukan kepala dari Kakak Iparnya. David memekik pelan. "Kalau begitu, Aku permisi dulu." ucapnya lalu berlalu keluar.

Setelah pintu ruangannya di tutup dari luar. Daneil langsung menghunuskan pandangannya pada satu-satunya sosok yang tersisa. Amara.

"Kenapa ke sini? Dan kenapa membawa adikmu juga?" Tanya Daneil menggeram, menahan umpatan.

Wajah Amara berubah menjadi tanpa ekspresi. Tak ada ketakutan di wajah gadis itu. "Aku mendatangi suamiku, Apa aku salah?" Tanyanya dengan alis naik.

"Aku sudah pernah mengatakan jika kamu tidak perlu repot-repot melakukannya," desis Daneil menjawab.

"Kenapa?" Tanya Amara untuk sesaat terdengar pilu. Sebelum kemudian kembali mendongak, menatap mata Daneil.

"Karena Aku tidak suka,"

Menghembuskan nafas, Amara memejamkan matanya pelan. Ia kemudian kembali membuka matanya. "Makanlah," ujarnya kemudian dengan lembut dan senyum tulus.

Daneil berdecih.

Amara mengambil paper bag di atas meja. Mulai mengeluarkan kotak bekal di dalamnya. Ia membukakan setiap tutupnya. Lalu kembali menggeser ke hadapan suaminya.

"Makanlah," ujarnya lagi.

Daneil tetap diam di tempatnya. Hanya menatap malas wanita yang saat ini menata makanan untuknya. Tak berminat sama sekali untuk menyentuh makanan yang tersaji di hadapannya.

"Bisakah kamu berhenti melakukan ini semua?" Tanya Daneil jengah.

Amara menoleh sekilas. "Tidak bisa," jawabnya pelan, kemudian mengambilkan sendok lalu Ia berikan pada Daneil.

"Makanlah," ujar Amara.

"Aku hanya akan memakannya jika Kamu pergi,"

Mendengar itu, tangan Amara luruh. Apa, sebegitunya Daneil tak dapat menerimanya?

Menghembuskan nafas, Amara kembali menatap wajah suaminya yang terlihat tak merasa bersalah sama sekali. "Tapi, Adiku masih di luar. Dia akan curiga,"

Daneil mengedik. Mengangkat salah satu tungkai kakinya kemudian Ia letakan di atas tungkai kakinya yang lain. "Kalau begitu jangan harap aku akan memakannya,"

Memandang Daneil tanpa ekspresi untuk beberapa saat. Amara kemudian memutuskan untuk bangkit berdiri.

"Makanlah," Ia ambil tasnya dan berlalu keluar dari ruangan Daneil. Membuat sosok laki-laki yang ditinggalkan tersenyum tipis, senyum kemenangan.

Baiklah, sepertinya alasan jika Ia harus membeli beberapa kebutuhan dapur bagus. Ia berharap semoga David percaya dan tak masalah untuknya ajak pulang sekarang juga.

Amara keluar dari dalam lift kemudian memandang sekeliling, berharap dapat menemukan sosok Adiknya. Hingga netranya mendapati sosok jangkung itu tengah melihat-lihat lukisan yang memang terpasang di beberapa dinding lobi.

"David!" Panggilnya menghampiri di mana adiknya saat ini berdiri.

David menoleh. Kening pemuda itu mengernyit mendapati kakaknya berjalan ke arahnya. "Kenapa Kakak di sini? Tidak menemani suamimu makan?" Tanyanya penasaran.

"Kakak lupa, jika bahan-bahan memasak di dapur sudah habis. Kita harus pergi sekarang untuk membeli, atau nanti malam kamu tidak makan." beritahunya berbohong.

David mengernyit. "Kenapa bukan Bik Asih?" Tanyanya mengingat jika Kakaknya itu memiliki sosok pembantu.

Mengerjap, bingung mencari jawaban. "Kamu ini, Bik Asih banyak pekerjaan. Jadi, kalau untuk membeli kebutuhan dapur biasanya Kakak." Ia berucap dengan senyum dipaksakan.

David mengangguk, mengerti. "Tapi Aku belum pamit dengan Kakak ipar,"

"Tidak perlu, eh-- maksud Kakak. Tadi Kakak sudah pamitkan,"

Lagi-lagi David mengangguk. "Yasudah," Ia melangkah bersama Kakaknya untuk keluar dari gedung pencakar langit itu.

"Eh!"

Amara menatap adiknya penuh tanda tanya, saat lelaki muda itu tiba-tiba saja berhenti. David dengan muka cemas, merogoh bergantian kantong celana depan juga belakangnya.

"Handphoneku kok nggak ada ya Kak?!" Tanyanya cemas.

Mendengar pertanyaan itu, Amara ikut bingung. "Tadi Kamu letakan di mana?"

"Tadi Aku kantungi,"

"Ingat-ingat lagi,"

"Ah, sepertinya jatuh saat aku duduk di ruangan Kakak Ipar tadi Kak." Seru David.

"Yasudah, biar Kakak ambilkan." Baru saja akan memutar tubuhnya, cekalan di lengannya menghentikannya.

"Biar Aku sendiri Kak," ujar David.

Menghela nafas, Amara mengangguk. "Yasudah cepat,"

"Siap!" Secepat kilat David berlari menuju lift. Masuk di dalam sana untuk sampai di ruangan Daneil.

***

A

mara melirik Adiknya yang tiba-tiba saja menjadi pendiam. Seingat Amara adiknya tadi masih banyak berbicara sebelum kemudian menjadi pendiam sehabis dari ruangan Daneil untuk mengambil ponselnya yang memang benar ada di sana.

Apa ada yang terjadi saat David mengambil ponselnya tadi? batinnya cemas.

"Kita ke supermarket dulu ya?" Sengaja Amara bertanya, berharap dapat memancing adiknya untuk bersuara.

"Hem," hanya deheman yang diberikan David. Pandangan lelaki itu tetap keluar jendela.

Amara mengatupkan bibirnya mendengar jawaban dari David. Ia tak kembali berucap.  Sepertinya, mood adik memang sedang tak baik.

Hingga mobil yang Amara kemudikan sampai di parkiran sebuah supermarket. Setelah dirasa pas, Amara mematikan mesin mobilnya. Mengambil tasnya yang ia letakan di kursi belakang.

"Kamu ikut turun atau tidak?" Amara bertanya pada sang Adik.

David tak sama sekali menoleh pada Kakaknya. Ia hanya menjawab pertanyaan Kakaknya gelengan kepala.

Mendapati jawaban itu, Amara hanya mengangguk pelan. Baru saja akan membuka pintu mobil, sebelah tangannya ditahan David. Membuatnya mengurungkan niatnya untuk keluar dari mobil.

"Kenapa? Berubah pikiran mau ikut masuk?" Tanya Amara.

David memandang dalam kakaknya. Wajah yang biasanya terlihat tengil itu terlihat mengeras. Matanya menunjukkan keseriusan. Membuat Amara semakin bingung.

"Kenapa nggak bilang?" Tanya David terdengar pilu.

"Ka--mu ngomong apa? Kakak tidak tahu maksudmu?" Sebisa mungkin Amara menutupi kecemasan yang mendadak menyergapnya.

"Jangan berbohong kak, aku sudah tahu tentang pernikahan kakak."

Mendengar itu, Amara tersenyum kecut. Ah, Adiknya sudah tahu.

"Memangnya apa yang kamu tahu tentang pernikahan kakak?" Tanya Amara lirih.

David tersenyum sinis. "Tentang suami Kakak yang tak semanis cerita Kakak,"

Mendengar itu, wajah Amara mengeras. "Jangan beritahu Paman dan Bibi," ujarnya dingin.

David berdecih. "Kenapa? Aku akan tetap memberitahu Bibi,"

"Jangan! Aku bilang jangan!" Desis Amara.

"Kenapa kak?! Kenapa Bibi dan Paman tidak boleh mengetahui tentang siapa suami Kakak yang sebenarnya?!" Tanyanya marah.

Amara membuang wajahnya keluar jendela. "Karena Kakak tidak ingin mereka sedih dan kepikiran. Biar ini menjadi urusan Kakak," sahutnya lirih.

David mengatupkan bibirnya. "Tap--"

"Vid, Kakak mohon. Jangan beritahu Paman dan Bibi. Ini hanya tentang waktu, Daneil pasti akan berubah. Saat ini mungkin dia belum bisa menerima kakak sepenuhnya karena kita memang hanya dijodohkan, tapi seiring berjalannya waktu Daneil pasti akan berubah dan bisa menerima kakak." jelas Amara penuh dengan permohonan.

Melihat wajah kakaknya, membuat David merasakan sesak. Tak pernah Ia sangka jika nasib kakaknya tak seberuntung yang ia pikir. Oh, kaya tapi jika tidak ada cinta maka apanya yang bahagia. Batinnya tersenyum miris.

"Aku tidak akan mengatakan pada Bibi dan Paman, tapi kakak harus janji untuk selalu mengatakan semuanya padaku." Kata David akhirnya.

Mendengar itu, senyum Amara terbit. "Terimakasih, Kakak pasti bakal mengatakan semuanya sama Kamu." ucap Amara menatap adiknya dengan pancaran kebahagiaan.

David tak membalas. Kemudian menghembuskan nafasnya. "Jadi, mau belanja atau enggak?" Tanyanya jengah.

Amara tersenyum, kemudian mengangguk. "Jadi," balasnya cepat.

"Aku ikut keluar," David sudah terlebih dahulu membuka pintu mobilnya, keluar.

Tak ingin membuat Adiknya yang sudah baik menunggu, Amara dengan segera ikut keluar dari mobil. Mengikuti langkah David yang sudah terlebih dahulu melangkah masuk ke arah supermarket.

Amara mungkin akan membelikan apapun yang adiknya inginkan nanti. Demi apapun, Amara bahkan tak keberatan jika adiknya meminta seisi supermarket itu hanya untuk mengucapkan terimakasih karena sudah sudi merahasiakan tentang pernikahannya yang sebenarnya dari Bibi dan Pamannya.

Walaupun Amara juga sedih karena Adiknya mengetahui yang sebenarnya dan tentu saja turut menjadi beban pikir untuk lelaki muda itu. Tapi, mau bagaimana lagi adiknya sudah mengetahui. Sebenarnya Amara juga penasaran, apa yang sebenarnya terjadi hingga David bisa mengetahui tentang tak harmonisnya rumah tangganya.

***

Nb. Jangan lupakan untuk selalu mendukung cerita ini dengan cara Vote dengan power stone dan komentar di setiap bannya, Review juga ya:')

dukungan kalian adalah semangat untukku^^