Chereads / Broken wedding / Chapter 17 - tujuh belas

Chapter 17 - tujuh belas

Ting!

Terdengar bunyi berdenting bersamaan dengan terbukanya pintu lift. David masih dengan senyum di bibir dan wajah berseri keluar dari kotak besi persegi itu. Ia senang dapat kembali ke ruangan Kakak Iparnya. Entahlah, David merasa jika Ia menyukai Kakak Iparnya. Menurutnya Daneil adalah sosok yang sangat hebat, karena mampu mengelola perusahaan hingga berkembang sangat pesat. Selain itu, cerita dari kakaknya yang mengatakan jika Daneil adalah sosok suami yang baik turut membuat David kagum. Tanpa sadar David sudah mengidolakan sosok laki-laki itu.

Saat melewati meja sekretaris Kakak Iparnya, David menghentikan langkahnya. Membuat Desy yang memang berada di sana segera bangkit berdiri dan menunduk hormat. Ia sudah tahu, jika laki-laki muda itu adalah adik Ipar dari bosnya. Sebelumnya beberapa menit yang lalu mereka sudah bertemu.

"Apa ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya kemudian, masih membungkuk sopan.

David diam, tak menyahuti pertanyaan dari Desy. Saat ini, yang menjadi pusat perhatiannya adalah paper bag yang berada di hadapan gadis yang menjabat sebagai sekretaris Daneil itu, juga sekotak brownis di sana. David tentu masih ingat, jika paper bag itu adalah paper bag yang sama yang tadi Kakaknya bawa dari rumah. Dan brownis itu adalah brownis buatan Kakaknya tadi siang dibantu Bibinya.

Senyum David sudah luntur sedari tadi. Wajahnya berubah menjadi tanpa ekspresi, dingin. Kedua tangannya di bawah sana mengepal kuat. Marah? Ya, tidak perlu dipertanyakan lagi.

"Ken--kenapa?" Ah, sial! Lidah David terasa sangat kelu untuk bertanya pada sekretaris wanita itu. Saat ini, perasaan kecewa tengah mendominasinya. Tanpa sadar membuatnya bingung juga tak percaya.

Desy yang mengetahui arah pandang David pada meja di hadapannya yang terdapat brownispun, mulai gemetar. Ia takut jika lelaki di hadapannya marah, mengingat makanan yang saat ini ada di hadapannya merupakan bawaan dari kakak laki-laki itu. "Itu tadi Pak Daneil yang memberikan," ujarnya menunduk gugup.

David tersenyum kecut, kemudian mengangguk pelan. "Apa dia ada di dalam?" Tanyanya kemudian menunjuk pintu ruangan Daneil.

Desy mengikuti arah telunjuk David. Kemudian dia mengangguk ragu. "Ada,"

Tanpa kata lagi, David melangkahkan kakinya menuju ruangan Daneil. Sampai di depan ruangan Daneil. David langsung membuka pintunya tanpa mengetuk. Tanpa  sadar Ia membuka pintu itu dengan kasar, hingga menimbulkan suara nyaring. Yang tentu saja mengundang keterkejutan sosok laki-laki yang berada di dalam sana.  

"David," gumam Daneil saat mengetahui siapa biang dari kerusuhan hingga membuatnya terkejut.

Wajah David terlihat dingin, sangat berbeda dengan David beberapa saat lalu yang mengumbar senyum dan wajah bersahabat. Seperti terdapat kemarahan di pancaran bola matanya saat ini. Yang Daneil sendiri tak tahu apa penyebabnya. 

Memejamkan matanya, David kembali menatap Daneil. "Maaf Kak, Aku ke sini ingin mencari ponselku." ujarnya berusaha menekan agar suaranya terdengar biasa saja, meskipun berakhir percuma karena ucapannya tetap terdengar dingin, tak bersahabat.

Daneil mengernyit, mendengar penuturan itu. "Kamu meninggalkannya di sini?" Tanyanya tak yakin jika ponsel lelaki itu berada di ruangannya.

David menghembuskan nafasnya kasar, ia benar-benar mulai muak sekarang dengan wajah Kakak Iparnya. "Sepertinya terjatuh saat Aku duduk tadi," ujarnya.

Daneil mengangguk-angguk. "Okey, kalau begitu." ujarnya mempersilahkan David untuk mencari ponselnya di ruangannya.

David tak membalas lagi. Ia dengan segera berjalan ke arah sofa. Mulai mencari ponselnya, dan menemukan benda pipih persegi panjang itu berada di pinggiran sofa yang tadi sempat ia duduki.

"Sudah ketemu?" Tanya Daneil.

David menegakkan punggungnya. Kemudian mengangkat ponsel di tangannya. "Sudah," beritahunya.

Daneil hanya mengangguk melihat itu.

"Em... Kak Amara sudah menungguku di lobi, Aku pergi." ujarnya kemudian.

Daneil mengangguk sekilas. Mata Daneil mengikuti langkah adik dari istrinya itu yang keluar dari ruangannya. Entah mengapa, Daneil merasa jika aura laki-laki itu memusuhinya. Padahal sebelumnya laki-laki itu terasa lebih menginginkan untuk mendekat padanya.

David berusaha keras untuk tak merampas dan membanting brownis buatan Kakaknya ketika melewati meja sekretaris Daneil. Di mana di sana gadis muda itu terlihat tengah menikmati brownis rasa keju yang seharusnya Daneilah yang memakannya.

Dengan segera David masuk ke dalam lift. Setelah pintu lift tertutup, David tak dapat menahan dirinya untuk tak memukul dinding lift dan berteriak.

Bruk!

"Aargghhh!!!!!"

Kepala lelaki itu bersandar pada dinding lift. Matanya memanas, hingga jatuhlah kristal bening itu. Dadanya terasa sesak.

David tak bisa membayangkan pernikahan seperti apa yang sebenarnya Kakaknya jalani. Apakah ada kebahagiaan? Atau hanya mengundang duka untuk Kakaknya. Mengingat

David tak pernah menyangka jika selama ini yang Kakaknya ucapkan tentang Daneil hanyalah sebuah kebohongan. Lelaki itu tak menyayangi Kakaknya. Lelaki itu tak sebaik yang Kakaknya ceritakan. Mana ada suami baik yang dengan teganya memberikan makanan yang sudah susah payah dibawakan istrinya kepada sekretarisnya. Jika bukan suami kejam yang tak menyayangi Istrinya.

David menyesali beberapa menit sebelumnya. Di mana Ia sempat mengidolakan sosok suami Kakaknya. Hampir ingin menjadikan lelaki itu panutan untuknya.

Oh, astaga. Apa yang kamu pikirkan David? Dia adalah laki-laki kejam yang dengan jahatnya memberikan makanan yang sudah susah payah kakakmu bawakan kepada sekretarisnya. Berhenti berpikir jika dia adalah sosok hebat. 

Ting!

Dengan langkah cepat, David keluar dari pintu lift. Lelaki itu dengan segera berjalan menuju parkiran, menghampiri di mana mobil Kakaknya berada. Dan dengan segera Ia masuk ke dalam mobil milik kakaknya setelah berhasil menemukannya.

David tak sama sekali bersuara. Ia hanya diam dengan pandangan keluar jendela, tak berani menatap Kakaknya yang Ia tahu pasti bingung melihat perubahan sikapnya. David takut, jika Ia membuka suara. Yang ada hanyalah teriakan, kenapa Kakak membohongiku.

David tahu alasannya, tentu saja. Tapi, tetap saja David merasa sakit. Kenapa kakaknya tak berbicara jujur saja. Setidaknya agar Ia tak salah berpikir jika Daneil itu adalah sosok malaikat. 

***

"Kenapa?" Tanya Siska menunjuk pada David yang saat ini terlihat murung dengan pandangan kosong ke arah televisi. Siska dapat merasakan perubahan sikap dari keponakannya itu selepas pulang dari kantor Daneil.

Amara ikut melirik adiknya, gadis itu kemudian menelan ludahnya pelan. "Mungkin dia capek Bi, tadi dia berkeliling di kantor Daneil." Alibinya, beharap sang Bibi percaya.

Siska mengangguk-angguk, mengerti. "Padahal tadi sudah dikasih tahu untuk tidak usah ikut, sekarang capek berenggut gitu mukanya." Gerutu Siska kesal.

Amara hanya tersenyum tipis. Walaupun Siska menyebalkan dengan terkadang suka mengomel tapi sebenarnya Bibinya itu sangat perhatian. Selalu ada alasan jika dia melarang ataupun marah.

"Bagaimana tadi Daneil?" Tanya Siska mengalihkan pembicaraan. Wanita berusia empat puluh tahunan itu kini sedang mencuci sayuran yang tadi Amara beli, sebelum di masukan ke dalam kulkas.

"Dia terlihat sibuk tadi, Bi." Jawab Amara.

"Ah, tentu saja. Diakan bos besar, tentu saja pekerjaannya pasti banyak. Iyakan Amara?"

"Ah, iya."

"Kapan-kapan Bibi juga mau diajak ke sana,"

"Jangan mulai ya sayang," tiba-tiba saja Banu datang dari arah ruang tengah dan langsung menyahuti ucapan istrinya. Lelaki itu datang untuk minum.

Siska mencebik. "Ikut-ikutan saja Kamu,"

Banu meneguk minuman yang baru saja Ia ambil dari dalam kulkas. Kemudian menatap istrinya yang sibuk mencuci sayuran di wastafel. "Kamu ingin apa ke kantornya Daneil? nggak ada gunanya juga kamu di sana, nggak bisa membantu Daneil."

"Heh! Berani kamu sama aku?!" Tanya Siska galak, saat merasa jika ia diremehkan oleh suaminya.

Melihat itu, Banu mengangkat tangannya. "Nggak sayang, mana berani aku sama singa betina." ujarnya.

"Apa?! Kamu bilang Apa?!" Siska mengacungkan terong ungu pada suaminya, seolah memberi ancaman jika berani berbicara macam-macam.

Banu meringis. "Nggak sayang, aku cuman bercanda. Kamu adalah bidadari tak bersayap ku,"

"Halah, pret!"

Melihat itu Amara tersenyum tipis. Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya memasukan belanjaan yang tadi Ia beli ke dalam kulkas. Sepertinya Amara terlalu banyak berbelanja tadi, hingga banyak belanjaan yang tak kebagian tempat.

"Amara!"

Amara menoleh pada Banu yang memanggilnya, ternyata pamannya itu masih berada di dapur. Amara pikir lelaki itu sudah kembali ke ruang tengah.

"Ada apa Paman?" Tanya Amara kemudian sembari menata telur masuk ke dalam kulkas.

"Adikmu itu kenapa? Tiba-tiba saja menjadi sangat murung, Paman ajak bertanding PS-pun tak mau." ujar Banu bingung.

Amara tahu, Pamannya pasti berpikir jika mungkin saja terjadi sesuatu saat David pergi bersamanya tadi. Mengingat sebelumnya David masih dalam suasana yang baik. Tapi, memang benar seperti itukan.

"Mungkin dia kecapean, Paman. Dia sudah berkeliling di kantor Daneil, lalu Aku mengajaknya berbelanja kebutuhan dapur." jelas Amara tersenyum tak enak.

Banu mengangguk. "Payah, Adikmu itu. Gitu saja langsung murung,"

"Hei! Kamu sendiri juga begitu ya, jangan sok seperti itu." ucap Siska sembari membawa sayuran yang sudah ia cuci pada Amara.

Dengan cekatan Amara memasukkannya ke dalam kulkas. Menatanya rapi.

Banu  memainkan bibirnya, mengejek di belakang tubuh Siska.

"Nanti malam mau makan apa?" Tanya Amara menutup pintu kulkas. Menatap bergantian Bibi dan Pamannya.

"Sayur asem dan ayam tepung sepertinya enak," Siska menyahut.

"Boleh, Paman?" Amara menatap Banu bertanya. Menanyakan apakah lelaki itu setuju dengan menu makan pilihan Istrinya.

"Tidak masalah," jawab Banu.

"Pamanmu itu apa saja suka, tidak perlu ditanya lagi Mara."

Amara hanya membalas ucapan Bibinya dengan senyuman.

"Hem..." Sengaja Banu berdehem keras, bermaksud menyindir istrinya. 

"Sudahlah Paman ingin menemui adikmu dulu, kasihan galau sendirian." Banu kembali berujar pada Amara. Kemudian ia berlalu dari dapur.

"Bik Asih ke mana Bibi?" Tanya Amara karena Ia belum menemukan sosok pembantunya itu sepulangnya dari kantor Daneil.

Siska menoleh. "Bik Asih pamitan sama Bibi tadi, ada urusan di luar sebentar. Cucunya sakit,"

Amara terperangah. "Kenapa bilang sama aku?"

"Kamu tadi masih di luar sedangkan Bik Asih sudah buru-buru karena khawatir." Balas Siska.

Amara mengangguk. "Yasudahlah, biar kapan-kapan Aku menjenguk langsung saja Cucunya."

"Iya,itu lebih bagus."

Nb. Saya tidak pernah lupa untuk mengingkatkan kalian agar selalu mendukung cerita ini dengan memberikan power stone dan berkomentar di setiap kalimat. Review juga ya, terima kasih agar Saya sebagai penulis memiliki penyemangat untuk selalu mengetik cerita ini:')