David mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit yang malam ini terlihat kelam tanpa di temani Bulan maupun Bintang. Ia menyesap coklat panas yang tadi ditinggalkan oleh kakaknya. Setelahnya Ia merasakan kehangatan melewati kerongkongan nya lalu menjalar ke tubuhnya.
Pikiran lelaki remaja itu saat ini sedang berkelana melantah buana. Bukan tentang masa depannya yang saat ini David pikirkan, tapi tentang masa depan kehidupan kakaknya dan pernikahan wanita itu. Entahlah ada dua kemungkinan yang saat ini Ia pikirkan, tentang masa depan pernikahan kakaknya, Amara.
kemungkinan yang pertama adalah kakaknya yang akan tersakiti dengan berjuang sendirian untuk mempertahankan pernikahannya, tanpa bantuan dari suaminya, Daneil. Melihat dari sikap Kakak Iparnya yang terlihat sama sekali tak peduli dengan usaha Kakaknya, mungkin juga pernikahan ini. Malah lelaki itu seperti menginginkan agar pernikahan ini berakhir. Dan mungkin saja jika Kakaknya menyerah, pernikahan ini akan benar-benar berakhir.
Lalu kemungkinan yang kedua adalah Kakaknya yang berhasil dengan usahanya. Meluluhkan hati suaminya, dan mempertahankan pernikahannya. Hidup bahagia bersama Kakak Iparnya, mengingat devinisi dari Kakaknya, Amara Pernikahan adalah hidup dengan cinta, kasih sayang dan harmonis bersama pasangan dan anak-anak mereka kelak. Belum lagi, Kakaknya selalu mengatakan hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Seperti Ibu dan Ayah mereka yang juga seperti itu hingga ajal menjemput mereka.
Ah, mengingat devinisi dari arti pernikahan menurut Kakaknya tanpa sadar membuat mata David berkaca-kaca. Pantas saja Kakaknya sudah tak seceria dulu. Kakaknya kini lebih banyak tersenyum yang tak sampai mata. Ternyata pernikahan inilah yang menyebabkannya seperti itu.
"Sudah lama menungguku?" Daneil datang lalu duduk di kursi yang bersebelahan dengan David hanya terhalang sebuah meja.
David menggeleng, dibarengi dengan senyum tipis yang tak sampai matanya. Seolah mengatakan jika dia tak masalah harus menunggu.
"Mau coklat panas kak? Biar Aku buatkan kalau Kakak Ipar mau," Tawar David mengangkat gelasnya, kemudian bersiap-siap melangkah berdiri.
"Tidak," sebelum itu, Daneil sudah terlebih dahulu menahannya. Membuatnya mengangguk dan kembali duduk di kursinya.
David mengangguk. Kemudian Ia menatap ke arah pintu utama, memastikan barangkali kakaknya, Amara berdiri di sana. Memantau atau penasaran dengan pembicaraan antara dirinya dan kakak Ipar nya saat ini, mungkin. Tapi tak ada tanda-tanda keberadaan wanita cantik itu, membuat David tersenyum tipis.
"Jadi, apa?" Tanya Daneil membuka percakapan, saat di rasanya adik dari istrinya itu tak kunjung membuka suara.
David mengalihkan pandangannya kembali pada Daneil. "Maaf mengganggu Kak Daneil, kakak pasti saat ini sangat lelah." ujarnya terdengar tak enak karena telah mengganggu waktu untuk Istirahat Daneil.
"Tidak masalah," walaupun yang ingin Daneil katakan saat ini adalah 'ya, kau sangat menganggu. Sangat-sangat mengganggu!'
Mendengar itu David tersenyum tipis. "Terima kasih kalau begitu," ucapnya, menunduk sekilas.
"Kelas berapa kamu sekarang?" Tanya Daneil mencari topik pembicaraan terlebih dahulu. Itu kan yang diinginkan lelaki di sebelahnya saat ini. Mereka berbicara selayaknya adik Ipar dan kakak Ipar yang dekat.
"Aku, aku kelas dua belas." Balasnya.
Daneil mengangguk mendengar itu. "Setelah lulus, mau lanjut dimana?"
"Em... Mungkin Aku akan membantu Paman dan Bibi saja," ujarnya tak yakin.
Daneil mengernyit tak suka. "Membantu berjualan jus?" Tanyanya ragu.
"He'em..."
"Kenapa?!" Tanpa sadar Daneil bertanya dengan sarkas dan nada suara yang kentara tak suka. Hingga membuat David langsung menoleh dan memandangnya aneh. Daneil yang mendapati itu berdehem. "Maksudku kenapa tidak lanjut untuk kuliah?"
David kembali menghadap ke depan dan mengangguk mengerti setelah mendengar kelanjutan pertanyaan dari Daneil. "Aku hanya tidak ingin terus-menerus merepotkan Paman dan Bibi, untuk kuliah memerlukan biaya yang tak sedikit. Jadi, daripada membuang-buang uang untuk kuliah. Lebih baik Aku tabung uang itu untuk usaha," jelasnya dengan pandangan kepada Daneil bertanya 'Bagaimana Aku benarkan?'
Daneil, menghembuskan nafas. "Pemikiranmu salah,"
"Kenapa?" Tanya David mengernyit bingung.
"Tentu saja salah, kuliah itu penting. Dengan kuliah wawasanmu akan lebih luas. Kamu akan bisa lebih optimal lagi ketika membuka usaha dengan wawasanmu itu. Setidaknya jika kamu gagal dalam usahamu, Kamu memiliki ijazah yang tinggi untuk bekerja di perusahaan yang besar."
David hanya mengangguk mendengar nasihat itu. Tak membenarkan juga tak menyalahkan.
"Akan Aku pikir-pikir lagi, untuk lanjut kuliah atau tidak."
"Kalau yang kamu permasalahkan adalah biaya, Aku akan membiayainya. Yang terpenting Kamu tidak menyia-nyiakannya, dan rajin." tawar Daneil.
Senyum David merekah. "Hahaha... Terimakasih Kakak Ipar, Kamu memang sangat baik. Tapi, Aku benar-benar ingin memikirkannya dulu."
Daneil menganggauk. "Katakan padaku jika Kamu sudah memutuskannya,"
"Tentu, tentu saja." Angguknya.
Setelahnya, hening untuk beberapa saat. Daneil yang terlihat menatap langit tanpa ekspresi, sedangkan David menunduk dalam entah memikirkan apa. Sesekali terdengar hembusan nafas lelaki itu.
"Apa Kakak mencintai Kak Amara?" Tanya David lirih, mendongak. Memandang Daneil dengan pandangan dalam sarat akan jawaban.
Mendengar pertanyaan itu tentu Daneil langsung menoleh. Ia ikut memandang dalam David. Matanya seolah mengatakan agar David mengulangi pertanyaannya.
"Ka--mu bertanya apa?" Tanyanya kemudian.
"Apa Kak Daneil mencintai Kakakku?" Ulang David kini lebih jelas.
Daneil terdiam, menatap lekat wajah David yang sangat mirip dengan istrinya. Adik Istrinya itu memang tampan dan berkharisma di usia remajanya. Ia pun tak menyangkal jika Amara sendiri juga sangat cantik dan anggun. Tapi, sayang Ia tak bisa menerima wanita itu.
"Kenapa bertanya seperti itu?" Bukannya menjawab Daneil malah ikut bertanya.
"Tidak, Aku hanya ingin tahu. Jawab Kak, Apa Kakak juga mencintai Kak Amara?"
Tidak! "ya," ujarnya.
Mendengar itu, David tersenyum sinis. Ah, bohong. Itulah yang David tangkap dari mata Daneil ketika mengatakau. Kakak Iparnya tak mencintai Kakaknya, Amara.
Tapi, David mengangguk seolah percaya. "Terimakasih sudah mencintai Kakaku, Dia sangat baik dan penyayang."
"Ya, Aku tahu itu."
"Boleh Aku minta sesuatu kepada Kakak?"
'Apa?' "tentu saja,"
David lagi-lagi menatap serius Daneil. "Tolong, tolong jaga Kakakku. Bahagiakan dia juga, dia sudah cukup menderita setelah kepergian Ibu dan Ayah Kami." ujarnya bernada permohonan, mungkin sangat memohon.
Daneil terdiam. Lidahnya mendadak terasa sangat kelu untuk digerakkan. Untuk menjawab ya, walaupun itu hanyalah sebuah kebohongan. Karena Tak mungkin untuk Daneil benar-benar menjaga dan membahagiakan Kakak dari Lelaki di sebelahnya. Ia tak mencintai wanita itu.
"Y--ya..." jawabnya akhirnya.
Mendengar jawaban itu David tersenyum. "Terimakasih untuk itu," ujarnya.
"Itu-- sudah menjadi kewajiban ku setelah Kakakmu menikah denganku kan?"
David mengangguk mendengar itu.
"Apa, kita bisa mengakhiri pembicaraan ini? Maksudku, ini sudah tengah malam." Jujur, Daneil mulai merasa tak nyaman dengan pembahasan yang saat ini mereka bahas.
David mengangguk. "Ah, iya. Ini sudah sangat malam ya,"
Daneil, mengangguk. Kemudian bangkit berdiri.
"Kak!"
Daneil menoleh.
"Jika Kakak menyakiti Kakakku, Aku akan mengambilnya kembali dan tidak akan memberikan Kakak kesempatan. Walaupun hanya untuk meminta maaf," ujar David, ikut bangkit berdiri. Nada suaranya terdengar dingin kini, sebelum berlalu Ia menepuk bahu Daneil pelan.
Daneil mematung mendengar itu. Entah kenapa, pernyataan dari David seolah ancaman untuknya. Seolah Ia akan menyesal jika menyia-nyiakan Kakak lelaki itu. Cih, kesempatan? Menyesal? Akan Daneil buktikan jika dia tak akan berada di dua kata tersebut. Dia tak akan mengemis kesempatan, apalagi menyesal. Malah, Daneil akan sangat senang jika Amara meninggalkannya.
***
A
mara tentu tak dapat tidur di saat Adik dan Lelaki yang berstatus suaminya saat ini sedang berbicara berdua. Jujur, Ia sangat penasaran apa yang sebenarnya ingin David ucapkan pada suaminya. Apakah lelaki itu Ingin melabrak Daneil atas sikap Daneil kepadanya.
Amara menghembuskan nafasnya, menegakan punggungnya. Ia bengkit berdiri, lalu melangkah pada kaca besar yang menampilkan pemandangan luar.
Gadis itu memanjangkan lehernya, berharap dapat melihat Adik dan suaminya. Tapi, nihil. Ia tak dapat melihat keberadaan kedua orang itu.
Menghembuskan nafasnya, Amara memilih menjatuhkan tubuhnya di sofa yang berada di sana. Matanya kemudian melirik jam di atas balas yang menunjukan tengah malam. Membuatnya menelan ludah, gugup.
'sebenarnya apa yang mereka bicarakan?' tanyanya dalam hati, takut-takut cemas.
Ceklek!
Bertepatan dengan itu, pintu kamar tiba-tiba terbuka menampilkan sosok Daneil. Membuat Amara langsung bangkit berdiri dan berjalan mendekati lelaki itu. Dapat Ia lihat, wajah suaminya terlihat kaku tanpa ekspresi. Membuat Amara semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya David bicarakan dengan Daneil.
"Daneil," panggil Amara pelan pada lelaki itu.
Daneil menoleh sekilas, kemudian berlalu ke arah ranjang.
Amara terpaku di tempatnya. Sebelum, Ia mengikuti jejak suaminya. Berdiri di samping ranjang yang Daneil tiduri.
Merasa terganggu dengan keberadaan Amara, Daneil kembali membuka mata. Ia bangkit, duduk. "Kami tidak membicarakan apapun yang penting, jadi bisa Kamu tidak mengganguku? Besok Aku ada meeting pagi," ujarnya dingin.
"Kamu tidak mau makan dulu, kamu belum makankan? Aku bisa menghangatkannya kalau kamu mau Daneil," Bukannya menyingkir, Amara malah kembali bertanya yang membuat Daneil menipiskan bibirnya kesal.
"Aku sudah makan, bisa sekarang Kamu membiarkanku beristirahat dengan tenang." Desis Daneil menyiratkan ancaman di matanya jika Amara berani kembali mengganggunya.
Amara yang melihat itu, hanya mampu menghela nafas. Gadis itu kemudian menyingkir. Ia berbaring di sebelah ranjang yang Daneil gunakan.
Untuk beberapa saat, pandangan Amara terpaku pada punggung tegap suaminya. Ya, Daneil tak pernah sekalipun tidur menghadapnya. Lelaki itu selalu membelakanginya.
Amara memejamkan matanya yang tanpa sadar meloloskan sebulir air matanya. Sebelum Ia usap dengan kasar air mata itu. Ia tak boleh lemah, atau Daneil akan senang.
Nb.
Tahu nggak, Aku ngetik ini sambil merem melek, ngantuk tahu wkwkwk. Jadi, maaf kalau feel-nya kurang dapet Hem... Jujur aja, Aku ngetiknya pake Hp wkwkwk nggak punya laptop Aku. Dan harus kalian tahu, kalau aku itu kelamaan natap layar Hp itu bikin ngantuk. Bayangin aja untuk bikin satu Part yang panjangnya 1500- lebih itu Aku butuh waktu 2-3 jaman. Nggak bohong, jadi maklumi ya hehe kalau dulu sering bikin part pendek:')