"Eum ... Mmph ...."
Suara decapan bibir yang saling bertautan terdengar jelas di dalam sebuah ruangan khusus yang tersedia didalam bar-bar mewah yang hanya bisa dipesan oleh orang-orang berkantung tebal. Tidak hanya memesan ruangan khusus, pria-pria yang memiliki uang juga bisa memesan minuman mahal dan juga seorang wanita yang akan menemani mereka.
Tak terkecuali, Valexio Jevan Normandu. Pria itu kini asyik melumat bibir wanita yang menemaninya minum itu dengan menggebu-gebu. Bibirnya terus bergerak melumat bibir wanita itu dengan ganas, tangannya juga tidak tinggal diam, terus bergerak dan membelai lekuk tubuh wanita yang terbalut mini dress hitam ketat. Dan ketika bibir nya mulai bergerak ke leher wanitanya dengan gerakan lembut wanita itu langsung menjaga jarak sedikit.
"Kau tahu peraturan di sini? Kau tidak boleh melakukan lebih kepada wanita-wanita di sini, hanya sebuah ciuman, tidak lebih," ucap Wanita itu lembut.
"Kau sudah sering mengatakannya sejak satu bulan yang lalu," ucap Jevan kesal.
Satu bulan sudah sejak Jevan datang ke bar ini, ia tidak pernah absen datang kemari dan meminta wanita ini yang selalu menemaninya minum, bermesraan walaupun hanya sebatas ciuman saja. Tapi Jevan tidak bisa memungkiri, ia adalah seorang pria yang memiliki gairah cukup tinggi kepada lawan jenis yang menarik perhatiannya. Ia menginginkan wanita ini. Sangat.
"Siapa namamu?" tanya Jevan.
"Kau sudah tahu. Rachee."
"Ayolah, aku tahu itu hanya namamu di bar ini. Aku ingin tahu nama aslimu, aku tidak ingin memanggilmu dengan nama samaranmu." Jevan mencoba membujuknya.
"Kau harus merahasiakannya dan jangan memanggil nama asliku di bar ini, aku tidak pernah memberitahukan namaku kepada para pelanggan lain."
"Pelanggan tetapmu hanya aku. Jadi, namamu?"
"Rachee. Itu namaku."
"Rachee? Nama yang indah, sesuai dengan dirimu."
"Terima kasih atas pujiannya."
"Mulai besok aku tidak bisa sering-sering kemari. Aku akan menggantikan posisi ayahku di perusahaan jadi aku tidak akan punya waktu seperti dulu-dulu lagi."
"Selamat atas jabatan barumu. Kau harus fokus mengurus perusahaan ayahmu ketimbang kemari."
"Apa kau tidak akan merindukanku?"
"Aku memiliki pelanggan-pelanggan lain selain kau."
"Tapi hanya aku yang bisa membuatmu merasa nyaman kan?"
Vega tersenyum tipis, ia mendekatkan wajahnya kepada Jevan dan memberikan kecupan singkat di bibir pria itu.
"Aku akan merindukanmu, tuan Jevan," ucap Vega.
***
"Tuan Valexio Jevan mulai sekarang adalah Direktur baru kita disini."
Kedua mata Vega melotot seakan bola mata nya akan keluar dari tempatnya saat itu juga saat manager perusahaan tempatnya bekerja, Alex Kennath, memperkenalkan pemimpin perusahaan yang baru kepada seluruh karyawan. Apa dunia sangat kecil untuknya? Dari sekian banyak perusahaan yang berganti direktur, apakah harus Jevan yang menjadi direktur baru?
Bagaimana jika Jevan tahu bahwa ia bekerja di perusahaannya? Tidak, bagaimana jika teman-teman kantornya jadi tahu bahwa ia memiliki pekerjaan lain di bar malam? Apa ia harus mencari pekerjaan baru? Tapi di zaman seperti ini mencari pekerjaan sangat susah dan lagi ia butuh banyak uang untuk menghidupi kebutuhan dirinya yang tinggal seorang diri.
***
"Vega, kau terlihat pucat. Apa kau sakit?" Vega langsung mengangkat wajahnya dan melihat Alex berdiri di depan meja kerjanya sedang menatapnya dengan khawatir.
"Tidak, aku baik-baik saja," ucap Vega dengan sebuah senyuman untuk memastikan ucapannya.
"Baiklah. Tolong fokus dengan pekerjaanmu, jangan melamun."
"Ya, maafkan aku."
***
"Vega, kau yakin tidak ingin ikut bersama kami? Manager Alex akan mentraktir kita makan daging yang enak," tanya Yulia.
"Tidak, Yulia. Maafkan aku tapi aku ada urusan, aku harus pergi sekarang. Sampai bertemu lagi."
Vega segera berpamitan kepada teman kantornya dan buru-buru berjalan kearah halte bis. Beginilah kesehariannya setelah pulang kerja kantoran, kembali bekerja di bar malam. Tinggal beberapa langkah lagi Vega sampai di halte tiba-tiba dari arah belakang sebuah tangan menahan pergelangan tangannya dan membuatnya otomatis berhenti berjalan dan segera menoleh kebelakang.
Wajah Vega langsung berubah pucat saat melihat wajah orang yang menahan tangannya itu.
"Aku benar-benar tidak salah lihat. Kau benar-benar Rachee," ucap Jevan dengan nafas terengah-engah.
***
Vega menatap langit kamar yang gelap itu tanpa berkedip sedetik pun. Ingatannya kembali memutar kejadian yang baru saja ia alami sekitar 30 menit yang lalu. Ia baru saja melakukan seks dengan bos nya, pria yang bukan pertama kali menyentubuhinya tapi anehnya ia tetap merasakan sebuah gairah yang sulit ia jelaskan. Ia menikmati persetubuhan mereka lalui tadi. Jevan bermain dengan sangat lembut, tidak kasar dan sangat hati-hati.
"Apa kau sudah lelah?" Vega menoleh ke samping kanannya, menatap Jevan yang berbaring miring di sebelahnya. Pria itu sedang menatapnya dengan tatapan memuja, menggoda dan penuh gairah. Kedua mata Vega bergerak menatap Jevan mulai dari wajah dan turun ke tubuhnya, pria itu memiliki tubuh yang sangat atletis, tidak heran tubuhnya terasa nyaman berada di bawahnya. Astaga, apa ia sebegitu haus akan seks selama ini hingga ia bisa memiliki pemikiran seperti barusan?
"Aku selalu memimpikan hal ini akan terjadi, Vega," ucap Jevan sambil mengusap bibir bawah Vega dengan lembut.
Vega mengerang pelan, ia mendekatkan tubuhnya ke arah Jevan sehingga membuat tubuhnya berada di atas tubuh pria itu.
"Kau menginginkannya lagi?" tanya Jevan dengan senyum senang.
Vega tidak menjawab pertanyaan Jevan, ia menundukkan kepalanya dan menggerakkan bibirnya menciumi dada bidang Jevan.
"Rachee ...." Jevan mendesah nikmat merasakan bibir Vega melakukan persis seperti yang ia lakukan kepadanya. Bibir Vega bergerak naik ke atas, mencium ringan bibir Jevan yang terus mendesahkan namanya berulang kali itu lalu kembali turun ke bawah.
"Eumph ...." Jevan mengerang pelan saat miliknya tak sengaja bersentuhan dengan milik Vega. Pria itu menggeliat pelan ketika tubuh Vega semakin bergerak turun, bibir wanita itu kini menciumi otot-otot perutnya yang terbentuk dengan sempurna.
Jevan berhenti mengerang, gairah yang melanda di sekujur tubuhnya tiba-tiba saja menghilang ketika menyadari bahwa Vega sudah berhenti mencumbu tubuhnya. Kedua matanya terbuka dan ia bisa melihat Vega turun dari ranjang dalam balutan selimut tipis.
"Aku lapar. Apa di dapurmu ada makanan?" tanya Vega.
"Hanya telur yang ada di dalam kulkas jadi hanya omelet yang bisa aku buat," tutur Vega sambil meletakkan dua piring omelet diatas meja.
Ia menarik bangku yang berhadapan dengan Jevan lalu beranjak duduk di sana. Kedua matanya sedikit menyipit karena melihat sorot mata Jevan yang siap akan memangsanya kembali. Astaga, apa pria ini tidak bisa menahan gairahnya sedikit?
"Tidak pernah ada wanita yang memasak di dapur ini dalam balutan selimut sebelumnya," ucap Jevan sambil menyeringai.
"Aku terlalu malas memakai pakaian kembali atau kau lebih suka jika aku melepas selimut ini selagi memasak tadi?" tanya Vega dengan nada menantang.
"Tentu saja aku akan lebih menyukai itu," jawab Jevan.
Vega tidak menanggapi dan memilih memakan omeletnya, perutnya sudah lapar dan ia tidak ingin pingsan ketika meladeni pria ini di atas ranjang nanti. Sepertinya ia harus ingat untuk mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum meladeni Jevan, pria ini jelas memiliki gairah yang sangat tinggi. Ia tidak jamin 1 atau 2 kali cukup untuknya.
"Aku sudah mentrasfer uang ke rekeningmu. Gunakan uang itu untuk membeli kebutuhanmu dan jika kurang, kau bisa katakan kepadaku," ucap Jevan.
"Terima kasih. Kau benar-benar membantu krisis ekonomi yang aku hadapi,"
"Kita saling membantu jadi tidak perlu berterima kasih. Kita berdua saling di untungkan saat ini."
"Kau benar."
"Boleh aku bertanya kepadamu. Jika kau tidak keberatan untuk menjawabnya nanti?"
"Aku hanya meladeni satu pertanyaan saja."
"Apa kau di sakiti pria pertamamu sampai kau tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun?"
Vega menusuk omeletnya dengan wajah yang kehilangan nafsu makan. Ia terdiam selama 2 menit setelah diberi pertanyaan oleh Jevan.
"Mungkin," ucapnya lalu segera menyudahi makannya.