"Sayang, bisa kita bicara sebentar?" pinta Laksamana yang berkesempatan melihat Cleo keluar dari kamar.
Memang hari sudah malam dan melihat bagaimana Cleo yang terus saja menempel pada ibu angkatnya malah membuat Laksamana tak bisa berkata apa-apa dan membiarkannya saja, walau dirinya bahkan ingin sekali memeluk Cleopatra seperti biasanya.
Rasanya hanya dia saja yang tak nyaman di dalam apartemennya sendiri, terkadang memang dia terlalu lemah dan menuruti keinginan Cleo.
"Eh, ada apa?" Cleo yang dipanggil pun mau tak mau menghampiri Laksamana yang rupanya ada di dapur. Dia sendiri merasa kehausan dan akhirnya terpaksa keluar kamar.
Laksa menggeleng sembari tersenyum. Dia mengambilkan gelas dan mengisinya dengan air. Sudah tahu betul memang Cleopatra akan mudah haus.
Sengaja dia menarik pinggang gadis itu agar mau duduk di pangkuannya. Cleo sudah terbiasa dengan physical touch yang dilakukan Laksa padanya.
Dia mengambil gelas itu dan meneguknya sampai tandas. Laksa sendiri sampai terkekeh melihatnya, bagaimana gadisnya memang kehausan.
"Bagaimana Ibumu? Sudah lebih baik?" tanya Laksamana yang akhirnya membuka pembicaraan karena memang dirinya tak mau dibilang tak punya hati apalagi di sisi Cleo.
Pria itu mengambil gelas di tangan Cleo yang sudah kosong dan segera menaruhnya. Menginginkan kesempatan untuk memeluk Cleopatra akan sangat dia gunakan tanpa sia-sia.
Tangannya sudah melingkar di perut rata gadis itu. Sementara Cleo sendiri tengah memainkan ponsel Laksamana yang tergeletak.
"Bunda sudah lebih baik, sekarang tidurnya pun lebih nyenyak dari kemarin."
Laksamana mengangguk saja, tanda dia mengerti dan enggan untuk menanyakan lebih lanjut lagi. Dia masih menaruh separuh rasa kesal di hatinya tentu saja untuk seorang Riana.
Laksa menaruh dagunya di bahu wanita mungil itu. Matanya ikut menatap layar ponsel yang ada di tangan Cleo. Gadis itu bahkan berkonsentrasi untuk memainkan game dengan akun miliknya.
"Kamu serang dulu benteng yang kanan."
Cleo terkekeh mendengarnya, "hehe, kamu pasti kesal karena nanti pasti turun level kalau aku yang main, kan?"
"Tidak apa-apa. Itu terlalu mudah bagiku."
Cleo mengangguk saja mendengarnya. Dia mencoba memainkan game dengan saran dari Laksamana, akan lebih menyenangkan jika dia sampai menang.
"Kamu tidak rindu padaku?"
Mendengar suara lirih Laksamana, segera gadis itu memutar tubuhnya, dia berhadapan dengan Laksamana.
Ah, bahkan hanya dengan duduk di pangkuan Laksamana, dia malah menjadi begitu terlindungi. Seakan Laksamana adalah malaikan untuknya saat ini.
"Kan kita seapartemen, bisa lihat aku terus," jawabnya dengan tertawa kecil.
Laksamana hanya bisa ikut tersenyum maklum, entah kepolosan dari mana sampai gadis itu bisa-bisanya menjawab begitu tanpa tahu maksudnya. Benar-benar menyebalkan namun menggemaskan, sampai dia tak bisa memberikan hukuman aneh pada Cleo.
Laksa segera mengecupi wajah Cleo, menghujaninya dengan ciuman kerinduan. Cup! Cup!
Cleo sampai menutup matanya ketika bibir Laksamana mengenai kelopak matanya. "Astaga, kamu nih suka banget deh cium aku," keluhnya sembari memberengut.
Laksa tak berhenti, dia lebih senang mendengar protesnya Cleo daripada melihat gadis itu murung atau diam saja dan tak mengungkapkan perasaannya.
"Habisnya, terima saja deh. Aku kesal karena kamu malah memilih tidur dengan Ibumu daripada aku."
Laksa berpura-pura merajuk, raut sedih dengan tatapan sendunya tepat mengenai hati Cleo sampai gadis itu terdiam kaku, merasakan tak enak hati. Dia tersenyum meringis. "Hehe, maaf, habisnya … aku terlalu rindu Bunda."
"Jadi kenapa kemarin malah marah-marah? Ya wajar sih, aku tau masalahnya dan kamu pasti juga kesal pada Bunda, kan?" tebak Laksamana.
Cleo hanya bisa meringis mendengarnya. Dia malah memainkan jari tangan Laksamana yang besarnya dua kali dari pada jarinya sendiri.
Laksamana sampai menelan ludahnya kasar, melihat bagaimana reaksi Cleo yang menggemaskan membangunkan keinginan terdalamnya untuk menyentuh Cleo. Sayangnya dia hanya bisa menggeram, meminta tubuhnya untuk bertahan saat ini karena tak mungkin dia akan menggauli kekasihnya kalau ibunda dari gadis itu masih ada di sini.
"Jangan menatapku begitu," desis Laksamana yang memalingkan wajahnya.
Cleo yang baru saja mengangkat wajahnya, ingin menatap Laksamana sampai mengernyit bingung, tak tahu maksud perkataan dari pria itu.
"Kenapa?"
Huft. Laksamana menghembuskan napasnya perlahan agar dirinya bisa tenang dan gejolak api di dalam tubuhnya bisa perlahan dikontrol agar tak membesar.
"Kalau kamu menatapku begitu, aku tak jamin tak membuatmu mendesah, Sayang," bisiknya sambil menjilat daun telinga Cleo.
Deg!
Cleo terbelalak mendengarnya. Napasnya terhenti sesaat ketika merasakan benda liat yang mengelus telinganya itu. Seketika tubuhnya meremang dan panas, segera dirinya beringsut. Berniat turun.
Grep!
Kembali dia terbelalak sendiri, matanya spontan melihat wajah Laksamana. Dia panas dingin saat melihat mata berkabut itu. Tahu betul kalau Laksamana terpancing karenanya.
"Sam … aku ingin ke kamar," bisik Cleo lirih sambil menundukkan kepalanya.
Laksamana sengaja diam saja, tak menuruti keinginan gadis itu yang memintanya menurunkan tubuh gadis itu.
"Sam … jangan menatapku begitu," lirih Cleo yang semakin merasakan dadanya berdebar hebat.
Laksamana yang berdecih saja, dia melemahkan kaitan di pinggang gadis itu. Menertawakan tingkahnya yang benar-benar lemah tak berdaya di hadapan sang kekasih.
"Bagaimana perutmu? Ada yang aneh?" Laksamana mengalihkan percakapannya.
Cleo menggeleng, dialihkan topiknya oleh Laksamana membuatnya segera melupakan reaksi tubuhnya. Tangannya berlari menyentuh perutnya sendiri. "Kurasa tidak ada yang aneh, aku baik-baik saja. Sepertinya dia belum bisa melakukan apa-apa ya?"
Sontak Laksamana tertawa mendengarnya, tangannya ikut mengelus perut Cleo. "Tentu saja, dia masih amat kecil jadi menendang pun tak akan terasa."
"Wah. Haha, aku tak sabar untuk merasakannya."
Laksamana membuang pandangannya, dia tak bisa berkata kalau anak itu adalah hasil ulah kejahatan Cleopatra. Dia tak ingin membuat risiko dan sebenarnya dia tengah menyalahkan calon bayi yang hadir di tengah-tengah perbuatan keji seseorang.
Drrt … drrt …
Ponsel miliknya yang tergeletak bergetar, Cleo yang pertama melihatnya. Laksa pun melihat nomor asing yang menghubunginya.
"Ada telepon ya? Dari siapa? Kenapa begitu malam dia menghubungi kamu?"
Gadis itu memberondong pertanyaan untuk Laksamana. Laksa sendiri terkekeh, tak menebak kalau Cleo akan secerewet itu.
"Mungkin salah satu teman kelasku, kadang-kadang mereka menghubungiku karena tak bisa mengerjakan tugas."
"Seharusnya mereka datang saja ke sini daripada menelepon tengah malam begini."
"Mereka tak mungkin mau, takut kalau kamu cemburu."
"Eh?" Cleo mengangkat pandangannya, bingung dengan ucapan Laksamana.
Sementara pria itu sudah menurunkannya dan mendudukkannya di kursi. Sementara Laksamana sendiri menjawab panggilan seluler itu dengan agak menjauh dari Cleopatra.
Cleo agak bingung juga melihatnya, mempertanyakan soal siapa yang malam-malam menghubungi pria itu. Agak terlalu aneh untuknya.
"Kenapa tak ada nama kontaknya?" Dia malah bertanya-tanya. Hatinya merasa agak aneh dengan tingkah Laksa yang menjauh.
***
Laksa sudah berada di balkon, melihat pemandangan gedung yang dipenuhi lampu-lampu di sana. Ponselnya sudah dia dekatkan di telinganya.
"Ada apa?" tanyanya, dia tahu kalau nomor itu adalah nomor tangan kanan ayahnya.