Bagi Vegantashye Racheefa, gadis berusia 25 tahun itu, tak ada yang lebih menyenangkan selain memiliki banyak uang. Hidupnya terlalu pahit kalau dibayangkan sampai saat ini. Bukan masalah besar jika dirinya tak terjebak pada ....
Hal gila yang membuatnya mau tak mau harus menutupinya sekaligus.
Gadis berusia 25 tahun itu memiliki satu dari sekian banyak pekerjaan yang pernah dicobanya. Yaitu, melacurkan diri. Dia ... dijual oleh Ibu tirinya!
Wanita yang katanya memiliki kemuliaan di bawah kakinya. Namun, baginya memiliki neraka di kedua telapak tangannya. Seharusnya Vega mendapatkan kasih sayang, bukannya mendapatkan siksaan.
***
Flashback On
"Jangan bawa aku!!! Jangan! Ibu! Ibu! Aku mohon Bu!" Gadis berusia 22 tahun itu menangis saat dirinya diseret oleh pria bertubuh besar dengan tato yang menumpuk hampir di seluruh bagian tubuhnya.
Maniknya yang berair menatap wanita yang dianggapnya sebagai pelindung setelah kepergian ayahnya, rupanya hanyalah iblis yang berperan menjadi malaikat saat ayahnya masih hidup. Kini, Iblis itu menunjukkan taring lebarnya.
Tangisannya yang meraung-raung diabaikan oleh telinga normal yang mendadak tuli!
Vega yang baru saja pulang dengan membawakan ijazah untuk ditunjukkan kepada Ibunya, kini sudah tergeletak begitu saja di lantai.
Tiba-tiba saja mereka kedatangan dua pria berpenampilan preman dan menyeretnya begitu saja usai Ibunya mengibaskan tangan kepadanya.
"Ibu! Ada apa ini?! kalian siapa?!" teriak Vega yang semakin menjauh, mencoba menghalau tangan-tangan menyeramkan itu.
Tangannya dicekal hebat lantas segera diseretnya tubuh mungil miliknya itu keluar dari rumah dan dibawa entah kemana.
Vega mencoba melepaskan diri sekuat tenaga, menangis dan meraung-raung, memohon ampunan tapi, tidak ada satu pun yang mengacuhkannya. Dia semakin ketakutan saat dirinya duduk di dalam mobil dengan dijepit kedua pria bertubuh besar dan menyeramkan itu.
Vega bahkan sudah kehilangan suaranya saat satu tangan pria itu membekapnya saat ini.
"Jangan berisik kalau kau tak mau kami memperkosamu di sini," ancam pria itu, berbisik dingin.
Keringat dingin mengucur deras seiring ancaman yang terngiang-ngiang di telinga gadis itu.
Dia semakin ketakutan dan memilih untuk diam. Mendengar ancaman yang sangat menyeramkan bukanlah satu dua hal yang bisa dianggap main-main.
Mengingat bagaimana ekspresi Ibunya begitu datar, semakin membuat Vega bertanya-tanya. Dia akan dibawa ke mana, akan diapakan dan akan menjadi apa? Semuanya hanya tersimpan dalam benaknya tanpa bisa disuarakan.
Vega diseret kembali keluar dari mobil. Wajahnya pucat pasi saat melihat tempat apa yang ada di depannya. Tubuhnya sudah gemetar hebat, diiringi dengan perasaannya yang sudah meruang-raung ketakutan.
Rumah bordil?!
Dia tak pernah menyangka dirinya akan dibawa ke tempat jahannam ini. Seumur hidupnya, dia bahkan bersumpah untuk tidak menginjakkan kakinya ke bangunan ini, walau sedetik pun!
"Ka—kalian akan membawaku ke mana?" tanyanya dengan nada gemetar.
"Ikut saja,"
Ditariknya gadis kurus itu dengan tenaga yang tak seberapa, namun Vega tak bisa menolak sedikit pun.
Dia menangis dalam diam. Berdoa dan berharap untuk mendapatkan satu keajaiban. Pikirannya sudah melayang jauh pada hal-hal negatif yang sudah tak mau dibayangkan lagi.
"A—aku mohon ... jangan bawa aku ke sana hiks ... hiks ...," isaknya masih dengan memohon. Langkah kakinya bahkan sudha terseret-seret.
Namun, sekali lagi. Tak ada yang mendengarkannya sama sekali. Tuhan itu jahat!
Tuhan itu tak pernah ada untuk menolongnya saat ini. Dia bahkan berjanji menjadi biarawati jika dirinya bisa lolos dari salah satu tempat bergelimang dosa ini.
Vega dikunci di ruangan pengap dan gelap. Penerangan hanya berasal dari jendela yang kacanya bahkan sudah buram tak terpakai.
Vega bingung. Dia meraung, mencoba untuk lepas, memberontak, namun yang ada semuanya tuli. Tak pernah sama sekali mendengarkan penolakannya.
Cklek!
Matanya memandang was-wasa pada sosok yang baru saja membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya.
"Siapa kamu?! kenapa aku dibawa ke sini?!" bentaknya mencoba berani.
Tubuhnya yang berdiri tegang menampilkan sebuah perlawanan dan kewaspadaan. Maniknya menatap tajam sosok wanita dewasa dengan kecantikan dan keseksian yang terpampang jelas di hadapannya. Bagaimana dress merah darah itu bahkan membalut tubuhnya dengan bagian menonjol yang jelas terpampang.
Wanita itu memilih diam. Memandangi sosok Vega yang sudah berantakan dengan sifat arogansinya. Tangannya berlipat di depan dadanya dan juga tubuh langsingnya menyandar di daun pintu. Menonton apa yang sedang dilakukan oleh Vega saat ini.
Satu puntung rokok menyala terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Bibirnya bahkan terpoles lipstick matte dengan warna senada dengan gaun yang dipakainya.
"Aku mohon! Jawab aku Nyonya!!" teriak Vega yang membutuhkan penjelasan dari wanita itu.
Dia paham situasinya, namun berharap bahwa apa yang dipikirkannya salah. Dia tak mamu membenarkan spekulasinya. Hanya, dia ingin mendapat satu pembelaan penuh pada otaknya dulu.
Perempuan itu menghisap rokoknya, mengeluarkan kepulan asap tembakau dari kedua bibirnya.
Matanya masih saja memandang datar gadis bernama Vega itu.
Dijatuhkannya rokok yang masih tersisa setengah itu, lantas diinjaknya dengan ganas dengan stiletto miliknya sampai rokok itu hancur dan bara apinya mati.
Vega masih saja memerhatikannya dengan was-was.
"Tenanglah dulu. Aku mencoba berdiskusi denganmu, dan jangan pakai emosimu. Bisa? Kau sudah menjadi sarjana, pakailah otak cantikmu itu."
Perkataan menusuk yang menyindir latar belakang pendidikannya, membuat Vega akhirnya diam dengan merapatkan bibirnya sampai membentuk satu garis lurus.
Mau tak mau, akhirnya Vega diam membisu.
"Jangan menyela apa yang aku ucapkan. Aku tak mau mengulangi untuk kedua kalinya."
Vega masih diam saja.
"Kau tahu? Kau dijual oleh Ibumu sendiri."
DEG!
Kenyataan yang menampar dadanya kencang. Vega masih mematung, wajahnya memucat dan manik hitamnya membulat penuh. Telinganya bahkan berdenging bukan main.
"Kau dijual untuk menjadi wanita malam, Nona. Ibumu itu haus uang. Menunggu kau dewasa untuk dijual saat Ayahmu telah tiada."
Kenyataan malam itu mampu membuat hati hangat seorang Vega yang harusnya seternag bintang, kini meredup dan dingin seketika. Satu kenyataan yang mampu membuat hatinya hancur lebur, dendam mendarah daging dan hidupnya terbelenggu karena uang.
***
Vega atau yang biasa dipanggil Rachee, mengenakan antingnya yang memiliki permata hijau mahal di daun telinganya. Cuping telinganya dilubangi sampai bisa dipasang tindik dua butir, dan rambutnya tergerai indah.
Tubuh sintalnya sudah melenggak-lenggok memasuki tempat yang menjadi sumber kekayaannya itu.
Matanya menyorotkan satu sinar suram tanpa rasa. Dia duduk di depan bar, mencengkram satu gelas kaca dengan jari-jari yang berhias kuku-kuku bercat merah.
"Kau akan mendapatkan tamu spesial," bisik bartender yang menuaangkan gin pesana Rachee.
Rachee berdecih, dia tak merespon dan memilih untuk menyesap minuman pahit dan membakar tenggorokannya itu. Menikmati pahitnya alkohol yang bisa merusak otaknya dengan tenang namun berbahaya.