"Enggak! Kamu masih sakit. Biar aku saja yang keluar. Kalian berdua tunggu di sini!" tegas Raka.
"Enggak Bang, biar aku aja yang ..."
"Udah, biar aku saja. Kamu juga masih sakit," ucap Raka memotong perkataan Qia.
"Aku baik-baik saja Bang," ucap Qia.
"Apa kalian berdua pacaran?" tanya Kenan jengah melihat sahut-sahutan Qia dan Raka.
"Tidak!" jawab Qia dan Raka kompak.
"Udah, Qi, biar aku yang berangkat. Lebih baik kamu bersih-bersih badan. Kamu juga, Ken," ucap Raka kemudian ia berjalan ke arah tempat kunci untuk mengambil kunci mobilnya.
Ia pun keluar dari appartement, kini tinggal Qia dan Kenan saja. Suasana menjadi hening, Qia pun merasa canggung dengan Kenan. "Pak, apa bapak mau saya siapkan air hangat untuk mandi?" tanya Qia takut-takut.
Kenan hanya diam tetapi, matanya terus menatap ke arah Qia membuat yang ditatap menjadi salah tingkah. "Kalau begitu saya permisi dulu, pak," ucap Qia kemudian ia segera berjalan untuk meninggalkan Kenan.
Ketika ia berjalan melewati Kenan, tiba-tiba saja pergelangan tangannya di pegang. Qia terdiam seketika dan Kenan pun langsung mendorong tubuh Qia hingga membentur meja makan. "Pak, bapak mau apa?" tanya Qia takut-takut sambil menatap wajah Kenan.
"Apa kamu lupa denganku?" tanya Kenan membuat Qia terdiam.
"Apa kamu melupakan apa yang sudah kita lakukan hampir sebulan ini?" tanya Kenan dengan suara dinginnya.
"A, apa maksud bapak?" tanya Qia tergagap dan raut wajah tidak percayanya.
"Kamu benar-benar lupa apa yang sudah kita lakukan?" tanya Kenan yang kini menampilkan wajah sedihnya. Ia melepaskan kedua tangannya yang berada di kedua pundak Qia. Ia memalingkan wajahnya tidak mau menatap Qia.
"Apa yang bapak katakan, saya tidak mengerti," ucap Qia yang memang tidak mengerti maksud Kenan.
"Apa kamu marah padaku, karena aku sempat melupakan kamu? Jadi sekarang kamu berpura-pura tidak ingat denganku?" tanya Kenan dengan wajah sedihnya. Qia hanya mampu terdiam dengan perkataan dan raut wajah sedih Kenan.
Kenan kini menatap Qia, tiba-tiba saja ia berlutut. "Maafin aku, Ta. Aku sama sekali enggak bermaksud untuk ninggalin kamu. Waktu itu aku harus pergi untuk melanjutkan study-ku di Jerman. Aku sama sekali enggak tahu tentang kecelakaan yang menimpa keluargamu dan kamu," ucap Kenan menundukkan kepalanya.
"Kak, Ken," panggil Qia dengan suara lirihnya.
Kenan mendongak, "Maafin aku, Ta," ucapnya dengan wajah sedihnya.
Qia yang paling tidak bisa melihat wajah sedih seseorang langsung luluh dengan perkataan Kenan. "Bangun, kak," ucap Qia sambil menarik lengan Kenan.
Kenan pun berdiri dan ia menundukkan kepalanya untuk bisa menatap wajah Qia yang matanya sudah berkaca-kaca. Qia mengerjapkan matanya yang tentu saja air mata yang dia tahan ketika mendengar permintaan maaf Kenan pun keluar. "Jangan menangis, aku ..."
"Tidak suka dengan wanita yang cengeng," ucap Qia bersamaan dengan Kenan. Kenan pun tersenyum mendengar perkataannya yang memang masih diingat baik oleh Qia. Tangannya kini terulur untuk menghapus air mata Qia.
"Jadi, jangan menangis," ucap Kenan seraya tersenyum kemudian ia memeluk Qia membuat yang di peluk hanya mampu mematung.
Cukup lama mereka saling berpelukan hingga Qia pun mendorong tubuh Kenan. "Kita udah enggak ada hubungan apa-apa, Kak. Sekarang hubungan kita hanya sebatas atasan dan bawahan."
"Apa maksud kamu Ta? Kita enggak pernah putus!" tegas Kenan yang tidak suka mendengar ucapan Qia.
"Bagiku Kakak yang enggak pernah ada kabar itu udah menandakan kakak mutusin aku!" jawab Qia tidak kalah tegas.
"Enggak! Selama aku tidak mengatakan kata putus, hubungan kita masih tetaplah sama!" tegas Kenan.
"Kak Ken egois! Kakak selalu mentingin diri kakak sendiri! Tata ... " belum selesai Qia berkata, Kenan sudah membungkam bibirnya dengan bibir Kenan.
Qia sempat terdiam ķarena terkejut tetapi, ia langsung mendorong tubuh Kenan. Sayangnya, Kenan lebih kuat darinya. "Tidak akan kulepaskan sebelum kamu menarik kata-katamu," ucap Kenan di sela-sela ciumannya.
Qia masih berusaha memberontak tapi Kenan semakin memperdalam ciumannya. Kenan pun melepaskan ciumannya untuk menghirup napas. Ia tersenyum melihat Qia bibirnya seperti ikan yang sedang membuka mulutnya untuk mengambil makanan.
Dirasa Qia sudah bernapas normal, ia kembali memegang tengkuk Qia membuat sang empunya berusaha menghindar. "Kak, aku enggak mau. Ini .... " lagi dan lagi bibir Qia sudah terbungkam terlebih dahulu oleh Kenan.
Qia berusaha menghindar tapi tetap saja Kenan lebih kuat. Suara seseorang memasukkan pin di pintu terdengar. Kenan berharap Qia segera mengiyakan karena ia takut Raka mengetahui apa yang terjadi. Entah kenapa ia belum mau memberitahukan tentang Qia pada Raka. Ia sendiri bingung harus memulai dari mana.
Menghentikan hubungannya dengan Raka itu tidak mungkin dan meninggalkan Qia juga tidak mungkin. Ia ingat janjinya pada Nathan agar tidak menyakiti Qia dan harus menjaga Qia jika dirinya tidak ada. Entah itu sebuah wasiat karena dirinya merasa waktunya di dunia sudah tidak lama lagi. Namun, itu yang pernah di katakan Nathan padanya.
"Ia kita enggak putus," ucap Qia bersamaan pintu terbuka.
Qia segera berlari ke dalam kamar ketika Raka sudah masuk ke dalam. Raka berjalan ke arah dapur dan di sana ada Kenan yang sedang duduk dan meminum segelas air mineral. "Kamu yakin akan memakan nanas?"
"Hum," jawab Kenan sambil meletakkan gelas minumnya di atas meja makan.
"Apa Qia masih di kamar?"
"Hum," jawab Kenan singkat.
Raka menarik kursi dan duduk di sebelah Kenan. Ia kini menatap Kenan begitu intens hingga membuat orang yang di tatap merasa risih. "Kenapa?" tanya Kenan dengan nada malas.
"Apa kamu memiliki kekasih?"
"Masih saja di bahas, memangnya aku kamu?" tanya Kenana sinis.
"Bagaimana dengan keinginan kakek?"
"Sesuai apa yang pernah kamu katakan. Aku akan menikah."
"Kita berpisah?"
"Iya, mau bagaiman lagi?" jawab Kenan begitu enteng.
"Enggak mau! Aku enggak mau kita berakhir."
"Aku akan menikah, jadi ...."
"Kamu tetap menikah, tapi hubungan kita enggak bisa berakhir. Bukankah kamu tidak mau menikah karena kamu enggak mau hidup seperti Papamu?" tanya Raka memotong ucapan Kenan.
"Aku sudah menemukan orang yang akan ku nikahi. Dia bisa kukendalikan," ucap Kenan dan berdiri dari duduknya.
Raka memegang pergelangan tangan Kenan. "Kamu selalu marah setiap kali aku dengan wanita-wanita lain ataupun lelaki lain. Padahal aku selalu menomor satukan kamu, Ken! Tapi, apa? Sekarang dengan mudahnya kamu mau mengakhir semuanya?" tanya Raka dengan sorot mata marahnya.
"Aku akan menikah," jawab Kenan masih terlihat tenang.
"Kamu sendiri berkata itu kemauan Kakek. Yang artinya kamu tidak mau menikah. Tapi sekarang kenapa seperti ini?" tanyanya tidak percaya dengan kemauan Kenan.
"Semua yang aku lakukan juga untukmu! Kamu hanya tahu aku akan kehilangan harta, tapi nyatanya Kakek juga mengancam akan memecatmu dan memblacklist namamu agar kamu tidak bisa bekerja. Terus, aku harus diam saja kamu di blakclist?" tanya Kenan dengan nada marah.
Raka terdiam dan menatap tidak percaya pada Kenan. Kenan pun hanya menatap tegas pada Raka. Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan mereka berdua. Kenan berjalan mendekati Qia, Qia pun hanya bisa terdiam ketika Kenan berjalan ke arahnya. "Bisa minggir?" tanya Kenan dengan suara dinginnya.
Qia langsung menyingkir dari ambang pintu, Kenan pun masuk ke kamar dan melewati Qia begitu saja. Qia mengerjapkan matanya ketika Kenan melewatinya dengan raut wajah dinginnya kemudian pintu kamar pun di tutup.
"Qi, ini nanasnya," ucap Raka sambil mengangkat plastik yang berisi nanas seraya tersenyum. Qia mengalihkan pandangannya untuk menatap Raka. Ia pun tersenyum ketika menatap Raka yang tersenyum.