Chereads / Menikah dengan Mantan / Chapter 23 - Bab 23

Chapter 23 - Bab 23

Raka berjalan dengan wajah dingin dan tatapan marahnya. Ia sudah membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Kenan yang saat ini hanya berfokus pada Qia pun ragu untuk masuk. "Masuk! Atau mau aku seret masuk, hah!" marah Raka karena Kenan tidak kunjung masuk.

Tanpa berpikir panjang, Kenan langsung menutup pintu mobilnya dengan kuat kemudia ia membuka pintu mobilnya sendiri yang berada tepat di sebelah mobil Raka dan ia pun bergegas menyalakan mobilnya. Raka segera turun dari mobil, tetapi sialnya ia kalah cepat dengan gerakan Kenan hingga mobil Kenan pun sudah melaju meninggalkan kantor.

Dengan cepat Raka kembali ke mobilnya dan masuk ke mobil. Ia segera melajukan mobilnya untuk mengejar Kenan. "Sial! enggak akan aku biarkan kamu pergi begitu saja. Kalau kamu mau pergi dariku, maka aku yang harus pergi, bukan kamu!" marah Raka dan menekan pedal gasnya kuat untuk segera menyusul Kenan. Raka membunyikan klakson setiap kali ada kendaraan yang akan menyalipnya atau ia ingin menyalip kendaraan di depannya. Mobil Kenan sudah sangat jauh hingga ia harus buru-buru. Ia bisa bernapas lega karena lampu merah yang membuatnya kini bisa berada di belakang mobil Kenan. Setelah lampu hijau ia akan segera menghentikan laju mobil Kenan.

Lampu sudah berubah menjadi hijau, ketika jalan sedikit longgar Raka segera mendahului mobil Kenan untuk menghentikannya. Suara decitan ban yang di rem dadakan dan juga suara klakson yang begitu nyaring terdengar. Raka segera turun dari mobilnya dan menemui orang yang berada di dalam mobil. "Kenan. Buka pintunya!" marah Raka sambil mengetuk kaca jendela mobilnya secara kasar. Orang di dalam mobil itu pun membuka mobilnya.

"Ada apa ya, mas? Kenapa anda menghentikan mobil saya?" tanya orang yang membuka pintu mobilnya.

Raka membulatkan matanya kemudian ia mengecek plat mobilnya yang ternyata ia salah mobil. "Ah, pak. Maaf, saya pikir tadi mobil teman saya. Maaf, ya, pak sudah mengganggu perjalanan bapak."

"Lain kali lihat plat mobilnya, Mas. Apa yang mas lakukan bisa membuat orang terluka!" peringat si pria paruh baya yang di hentikan mobilnya oleh Raka.

"Iya, Pak. Terimakasih sudah di ingatkan," ucap Raka seraya tersenyum.

Si pria paruh baya itu masuk dan menutup pintu mobilnya. Kemudian mobil itu pun segera melaju meninggalkan Raka yang saat ini sedang sangat marah. "Aku akan mendapatkanmu! Enggak akan aku lepaskan kamu begitu saja!" ucap Raka dengan sorot mata marahnya.

Di tempat lain, tepatnya di parkiran rumah sakit. Kenan segera turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam. Ia segera pergi ke ruang rawat seperti informasi yang diberikan Bi Munah padanya. Bi Munah sempat menelponnya kembali dan memberikan kabar jika Qia sudah di pindahkan keruang rawat. Ia pun bertanya pada bagian informasi dimana ruang rawat yang di katakan Bi Munah. Setelah mendapatkan informasi, ia pun segera berlari menuju ruang rawat Qia.

Sampai di depan ruang rawat Qia, Kenan segera membuka pintunya dan di sana ia melihat Bi Munah yang duduk di sebelah ranjang Qia. Kenan berjalan masuk dan menutup pintunya kembali. Bi Munah juga sudah berdiri ketika Kenan berjalan masuk. "Bagaiman bi, dengan keadaan Tata?"

"Kata dokter, Mbak Tata mengalami shock hingga ia seperti ini. Tetapi keadaan fisik dan lain-lainnya tidak apa. Dalam beberapa jam lagi, Mbak Tata akan segera sadar," jawab bi Munah.

Kenan menghembuskan napasnya lega mendengar perkataan Bi Munah. Di perjalanan, ia hanya memikirkan Tata, ia takut Tata akan melakukan hal nekat lagi. "Bibi bisa pulang sekarang, biar saya yang jaga Tata di sini," ucapnya sambil menatap bibi.

"Baik, pak," jawab Bi Munah patuh. "Kalau begitu, saya permisi dulu, pak," pamit Bi Munah.

"Iya, Bi, hati-hati," jawab Kenan.

Bi Munah keluar dari rauang rawat Qia dan kini hanya ada mereka berdua saja. Kenan duduk sambil menatap wajah pucat Qia. "Kamu kenapa lagi sih, Ta? Kenapa kamu menjadi wanita yang lemah seperti ini?" tanya Kenan sambil merapihkan helaian rambut Qia yang sedikit berantakan.

Kenan meraih satu tangan Qia dan mengenggamnya, "bangunlah, jangan membuatku khawatir," ucap Kenan sambil mengerakkan ibu jarinya di punggung tangan Qia.

Kenan hanya duduk diam menunggu Qia bangun, hingga beberapa jam beralalu, Kenan keluar dari kamar rawat Qia untuk mebereskan biaya administrasi sekaligus ingin mencuci wajahnya untuk menghilangkan kantuknya. Ia tidak boleh lengah sama sekali, karena Qia bisa saja terbangun dan melakukan hal nekat lagi. Selesai ia mencuci wajahnya, ia melihat ke cermin yang ada di depannya. Raut wajah berantakan dan guratan kekhawatiran yang ia lihat di wajahnya.

Sampai detik ini ia tidak mengetahui dengan apa yang terjadi pada dirinya ini. Sejak awal bertemu dengan Qia sewaktu sekolah dan ia kembali bertemu lagi dengan Qia di perusahaannya, ia selalu merasa harus menolongnya. Kenan sendiri tidak mengerti, kenapa ia bisa tertarik dengan kehidupan Qia. Bahkan dulu dengan pemikirin salahnya ia menerima Qia menjadi kekasihnya dengan alasan supaya para wanita di sekolahnya tidak mengganggunya. Nyatanya, apa yang ia lakukan malah membuat Qia menjadi bahan perundungan wanita yang menurutnya baik dan pendiam tetapi nyatanya bisa melakukan perundungan.

"Aurora," ucapnya menatap cermin di depannya. Ia kemudian tersenyum sinis saat ingat pertemuannya dengan Aurora beberapa waktu lalu. Aurora sekarang sudah bekerja di perusahaan milik orang tuanya yang memiliki hotel bintang lima di beberapa wilayah di Indonesia. Aurora memesan produk-produk dari perusahaan Kenan dan baginya penampilan Aurora sekarang seperti wanita murahan.

Kenan menghembuskan napasnya dan membiarkan begitu saja tentang dirinya yang begitu peduli dengan Qia. Ia keluar dari toilet dan pergi ke ruang perawatan Qia. Ia membuka pintu kamar Qia yang tanpa ia sadari jika Qia sudah tidak berada di tempat tidur lagi. Ketika ia sampai di depan ranjang Qia ia terkejut bukan main, ia pun segera memasukkan handphonenya yang membuatnya tidak memperhatikan ranjang Qia. Ia segera mencari Qia seperti orang kesetanan. Tujuan pertamanya adalah atap rumah sakit.

Jantungnya berdebar tidak karuan, ia juga merutuki kebodohannya karena terlalu lama meninggalkan Qia. Sampai di atas rooftop rumah sakit ia tidak menemukan siapa-siapa di atas sana. Ia pun berlari kepingiran rooftop dan melihat kebawah, apakah Qia ada di bawah atau tidak. Nihil, ia tidak menemukan Qia sama sekali. Kenan pun segera turun dari rooftop dan pergi mencari Qia di segala sudut rumah sakit. Lelah ia mencari ia pun keluar dari rumah sakit dan bertanya pada satpam apakah ada seorang wanita yang menggunakan pakaian rumah sakit keluar dari sini. Satpam menjawab jika tidak ada seorang wanita yang keluar dari rumah sakit menggunakan pakaian rumah sakit.

"Apa ada yang bisa kami bantu, pak?" tanya satpam karena melihat wajah Kenan yang kelelahan dan juga khawatir.

"Calon istri saya menghilang, Pak. Tadi dia ada di kamar rawatnya, setelah saya kembali ia tidak ada di ruang rawatnya. Apa bapak bisa bantu cek cctv rumah sakit, Pak? Karena saya sudah mencarinya ke setiap sudut rumah sakit," ucap Kenan dengan napas tersengal-sengal.

"Mari, pak, ikut saya ke ruangan cctv," ajak satpam pada Kenan. Mereka pun pergi keruangan cctv untuk mengecek keberadaan Qia ada di mana.

Di tempat lain, kini Qia sedang berada di dalam bus untuk menuju kontrakannya. Tidak lama Kenan pergi, Qia sadarkan diri. Ia segera melihat pergelangan tangannya ketika sadar kemudian mengecek segala arah dimana ia berada. Qia perlahan bangun dari tidurannya dengan susah payah. Tubuhnya masih terasa lemas dan kepalanya berdenyut nyeri.

Qia turun dari ranjangnya kemudian melepaskan jarum infuse di tangannya secara perlahan. Namun, walau sudah perlahan darah tetap mengalir deras di punggung tangannya. Qia melepaskan pakaian rumah sakitnya begitu saja dan menekan lukanya agar berhenti keluar. Setelah di rasa berhenti, ia membuka laci yanga ada di sebelah ranjangnya dan memakai pakaian yang ada di sana. Ia mengambil dompetnya dan ketika ia melihat handphonenya itu bukan miliknya. Qia tidak mengambil hendphonenya ia hanya mengambil dompetnya saja dan segera berjalan keluar dari ruangan itu. Ia tidak suka di rumah sakit, rumah sakit baginya adalah mimpi buruk.

Butuh waktu sekitar satu jam akhirnya ia sampai di kosannya. Sampai di kosannya ia lupa tidak ada kunci kosannya. Ia pun keluar dari kosan dan pergi ke rumah pemilik kosan. Lagi-lagi jawaban dari pemilik kosan membuatnya bingung. Calon suaminya sudah mengatakan jika dirinya sudah tidak mengekos di sini lagi. Tadi bagian rumah sakit, kini ibu kosannya yang mengatakan hal semacam ini.

Qia hanya mengiyakan saja walau dalam pikirannya ia sama sekali tidak tahu siapa calon suaminya. Ia berjalan tidak tahu harus kemana, kepalanya juga terasa pusing. Ia tadi akan mengekos lagi, tetapi kamar kos sudah terisi semua. Ia juga tidak memiliki handphone membuatnya benar-benar tidak tahu harus kemana. Pandangan matanya mulai mengabur, kepalanya pun semakin berat dan tanpa sadar ia pun akhirnya jatuh pingsan.